BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Proyek Roro Jonggrang TI KPU

Proyek Roro Jonggrang TI KPU

Written By gusdurian on Selasa, 05 Mei 2009 | 11.42

Komisi Pemilihan Umum
Proyek Roro Jonggrang TI KPU

Tabulasi nasional pemilu yang dihimpun sistem teknologi informasi (TI) Komisi Pemilihan Umum (KPU) berakhir, Senin lalu. Tercatat 13.207.508 suara masuk dari 171-an juta suara. Menjelang batas akhir perhitungan, para calon anggota legislatif (caleg) dan tim sukses tekun menyimak angka-angka lewat 26 monitor komputer di lobi Ruang Flores, Hotel Borobudur, Jakarta Pusat.

Mereka memegang kertas, sesekali membuat catatan. Padahal, data yang masuk sangat pelit. Target KPU menampilkan hingga 80% dari total suara secara nasional dipastikan gagal. Para pengunjung juga tak beranjak ketika jaringan sempat terputus pada pukul 14.00 hingga 14.30 WIB.

Sedianya, perhitungan riil KPU itu bisa dijadikan panduan oleh para elite partai politik (parpol) untuk menjajaki koalisi. Namun tabulasi KPU kalah cepat dari hiruk-pikuk manuver koalisi. Tak ada data riil, data hitung cepat (quick count) lembaga-lembaga survei sudah cukup menjadi pedoman untuk merembukkan koalisi.

Lambatnya tabulasi komputasi itu diakui anggota KPU, Abdul Azis. "Kami akui bahwa dari segi penayangan memang lambat," katanya. Sebagai solusinya, KPU segera melakukan perhitungan manual secara nasional. KPU Pusat pun berupaya memasukkan data secara manual dengan mengoreksi hasil pemindaian yang tidak akurat.

Namun langkah itu tidak banyak menolong. "Setiap perbaikan melewati proses yang lama, karena setiap perubahan ada konsekuensinya. Dari semua yang sudah masuk, 40% belum tayang," Azis menjelaskan. Dia mengakui, perhitungan tidak memenuhi target.

Hal itu terjadi karena proses pengerjaan di daerah tidah mulus. Menurut dia, beban kerjanya begitu besar. Azis menolak anggapan bahwa keterlambatan itu terjadi karena kesalahan memilih metode intelligent character recognition (ICR). Metode ICR ini, kata Azis, sangat sederhana dan bisa diterapkan dengan mudah di masyarakat.

Masyarakat cukup menulis dengan angka benar di formulir C1. Namun, di lapangan, sistem yang dianggap sederhana itu mengalami beberapa sandungan yang berakibat fatal. Misalnya, pengisian pada satu kolom lebih dari satu angka. Sehingga pemindaian pun menghasilkan data yang tidak akurat. Misalnya, ada caleg yang tiba-tiba memperoleh lonjakan ratusan juta suara.

Azis mengakui, sosialisasi rekapitulasi TI di tingkat bawah tidak maksimal. "Karena berkaitan dengan proses-proses penyiapan infrastruktur. Disesuaikan dengan pemilihan teknologi, pengadaan jaringan, dan sebagainya," Azis menambahkan. Sosialisasi terhadap operator di tingkat kabupaten hanya dilakukan dua kali.

Ditambah kemungkinan hadirnya dua orang yang berbeda dalam pelatihan. Sementara itu, sosialisasi di tingkat PPS hanya mengandalkan buku panduan yang disertakan dalam pengiriman logistik pemilu. Masalahnya, apakah mereka sempat membaca buku petunjuk itu? "Bisa jadi tidak dibaca karena beban kerja mereka sangat besar," tutur Azis.

Server yang digunakan memang warisan Pemilu 2004. "Kami tidak bisa menelantarkan barang-barang itu dan kemudian beli. Itu bagian dari efisiensi," katanya. Sebenarnya server itu masih berfungsi dengan baik. Hanya saja, KPU tidak mengantisipasi besarnya minat masyarakat.

Dalam perhitungan KPU bersama tim BPPT, Azis menerangkan, dengan kecepatan 128-500 kbps, itu sudah memadai. "Kami pikir cukup," katanya. Kenyataannya, server tidak mampu melayani antusiasme masyarakat yang tinggi. "Kami memang tidak menduga antusiasme masyarakat begitu tinggi, sehingga ada kekurangan pelayanan server," ujarnya.

Lantas KPU meminjam enam server dari BPPT. Totalnya mencapai 30 unit, dua hari menjelang target penayangan 80%. Tapi pentumbuhan data tetap lelet. Kendati penayangan tabulasi di Hotel Borobudur berakhir, akan dilakukan penayangan di website dan media center KPU hingga 9 Mei.

"Kami tidak bisa pasang target. Semuanya tergantung kinerja teman-teman di daerah dan di sini. Nanti malah membebani," Azis berkilah. Persoalan TI KPU itu, katanya, bermula dari lambatnya pengucuran anggaran. Baru pada 21 Januari 2009, dana pengadaan jaringan turun.

"Pada 27 Januari 2009, kami baru bisa melakukan pengadaan," kata Azis. Pemasangan jaringan berikut pengadaan hardware dilakukan pada bulan Maret. "Satu bulan waktu yang mepet. Dan ketika sudah siap, baru teman-teman BPPT masuk," katanya.

BPPT digandeng karena lembaga ini dinilai memiliki pengalaman dan kompetensi di bidang teknologi. Alasan lain, sebagai lembaga pengkajian ilmiah, selanjutnya BPPT dapat mengolah data hasil pemilu menjadi data akademis.

Faktor keterlambatan turunnya anggaran memang diakui Dalail, Kepala Biro Logistik KPU. Pengajuan anggaran dilakukan sesuai dengan prosedur. "Pada waktu menagih ke Depkeu, mereka bilang, dana belum juga turun. Kami juga bingung," tuturnya.

Anggaran itu sesuai dengan permintaan KPU berikut tim perencanaan dalam pengadaan TI. Untuk tabulasi tingkat pusat, anggaran pengadaan jaringan mencapai Rp 18 milyar (terealisasi Rp 14 milyar). Penyediaan integrator Rp 2,5 milyar, penyediaan perangkat Rp 2,5 milyar, dan penyediaan komputer 150 unit senilai Rp 1,2 milyar. Menurut Dalail, keterlambatan turunnya anggaran itu membuat persiapan TI KPU kurang matang.

"Tiga hari sebelum hari-H saja baru mendapat tempat di Borobudur. Yang jelas, persiapan sangat kurang. Idealnya, setahun sebelumnya sudah dipasang seluruhnya," kata Dalail. Pelatihan operator di daerah sangat kurang. Sosialisasi di tingkat PPS pun minim. "Operator yang ada di kabupaten/kota tidak begitu tahu persis harus berbuat apa," katanya.

Terkait keterlambatan tabulasi itu, Ketua Tim TI KPU, Husni Fahmi, tak banyak berkomentar. Ia meminta agar tenaga operator di daerah ditambah, supaya proses pemindaian bisa berjalan cepat. "Kami benar-benar minta bantuan agar teman-teman di daerah diperkuat tenaga tambahan. Mereka yang selama ini bekerja telah berupaya keras, lelah, sehingga memerlukan bantuan tenaga," ujarnya.

Menurut Roy Suryo, caleg dari Partai Demokrat untuk daerah pemilihan Yogyakarta, sistem ICR itu merupakan sistem yang bagus dan proven. Namun, yang jadi masalah, waktunya mendesak. "Terlalu berani," katanya. Roy mengibaratkannya dengan proyek 1.000 candi dalam semalam, dalam kisah Roro Jonggrang. "Saya tahu persis bahwa ini proyek Roro Jonggrang," tuturnya.

Pada dasarnya, server yang digunakan tidak bermasalah. Masalahnya, menurut Roy, justru terjadi di bagian hulu, yakni pada bagian entry data. Artinya, pemasukan dan kelancaran data di tingkat pusat sangat bergantung pada entry point yang ada di daerah. "Dan saya yakin, perhitungan scanning ini nggak akan selesai. Makanya, harus diambil plan B dengan segera melakukan perhitungan manual," katanya.

Rohmat Haryadi dan Sukmono Fajar Turido
[Nasional, Gatra Edisi Khusus Beredar 30 April 2009]

http://gatra.com/artikel.php?id=125668
Share this article :

0 komentar: