BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kepuasan Pekerja, Keuntungan Perusahaan

Kepuasan Pekerja, Keuntungan Perusahaan

Written By gusdurian on Selasa, 05 Mei 2009 | 11.46

Kepuasan Pekerja, Keuntungan Perusahaan
Jalal
Aktivis Lingkar Studi CSR
Entah kebetulan atau tidak, kontes Britain's Got Talent beberapa minggu sebelum Hari Buruh Sedunia menampilkan Susan Boyle, yang menjadi sangat terkenal--lebih dari 47 juta orang telah melihatnya di YouTube--karena menyanyikan I Dreamed a Dream. Lagu tersebut salah satu nomor paling penting dalam opera Les Miserables, karya Claude Michel-Schonberg dan Alain Boublil, yang didasarkan pada novel klasik berjudul sama dari Victor Hugo. Les Miserables bercerita mengenai orang-orang yang berupaya keluar dari penderitaan berkepanjangan akibat kondisi buruk sekitar Revolusi Prancis.
Dalam lagu itu, Fantine, seorang buruh pabrik dan orang tua tunggal, berkeluh kesah soal mimpinya yang dibunuh oleh kenyataan hidup: "Dulu saya bermimpi bahwa hidup ini akan sangat berbeda dibandingkan dengan neraka di mana saya tinggal sekarang, jauh berbeda dibanding yang dulu tampak, tapi kini hidup telah membunuh mimpi itu." Fantine putus asa karena upahnya tak memadai untuk membiayai Cosette, anaknya yang sedang sakit. Ia menjual hartanya yang tak seberapa, juga rambutnya, lalu melacurkan diri. Tragisnya, semua usaha itu juga tak cukup karena Cosette ada di tangan Thenardier, yang lintah darat. Tak tahan atas kondisi sangat buruk itu, Fantine ambruk. Kali ini bukan hanya mimpinya yang mati. Jiwanya melayang dalam penderitaan luar biasa.
Potongan drama tersebut menyelinap ke benak jutaan aktivis buruh di seluruh dunia setiap mendekati 1 Mei. Mereka melihat bahwa banyak sekali rekan mereka yang masih juga berada dalam kondisi mirip Fantine, walaupun perjuangan telah mereka lakukan selama beberapa dekade. Ada banyak cerita yang bahkan lebih buruk daripada nasib Fantine, sehingga perjuangan mereka serasa semakin berat. Bagaimana mungkin, pikir mereka, sebuah pertumbuhan ekonomi yang tampak dahsyat luar biasa ternyata hanya membawa sedikit--kalaupun ada--perbaikan kondisi untuk buruh. Lebih buruk lagi, manakala krisis terjadi, mereka pulalah yang pertama dikorbankan.
Tidak mengherankan apabila gerakan buruh menjadi sangat apatis terhadap retorika peningkatan kesejahteraan yang datang dari pemilik modal maupun manajemen yang mewakilinya. Karl Marx dulu menyatakan keuntungan untuk pemilik modal memang datang dari pencurian nilai lebih yang sesungguhnya jadi hak buruh. Karena itu, memang selalu ada pertentangan kepentingan antara pemilik modal dan pekerjanya. Dalam kondisi kesejahteraan yang buruk, teori tersebut kemudian menjadi sangat menarik, termasuk jalan keluar yang harus ditempuh oleh buruh: revolusi. Maka Hari Buruh Sedunia selalu dibanjiri warna merah dan slogan-slogan revolusioner.
Walau teriakan-teriakan buruh kemudian menguap ke udara seiring dengan berlalunya 1 Mei, sesungguhnya teriakan itu menjadi pertanda adanya hubungan yang belum harmonis antara perusahaan dan pekerjanya. Selama ketidakadilan dan tekanan hidup lainnya masih dirasakan, slogan-slogan revolusioner akan terus mewarnai unjuk rasa. Pertanyaannya, apakah memang perusahaan akan dirugikan kalau membayar pekerja dengan baik, dan menyediakan berbagai sarana kehidupan yang layak.
Alex Edmans dari Wharton School Universitas Pennsylvania adalah orang yang membuktikan pada 2008 bahwa pendirian banyak ahli manajemen sumber daya manusia beraliran tradisional itu salah besar. Dalam pemikiran tradisional, buruh adalah sama dengan faktor produksi lainnya, sehingga harus diperlakukan sebagai obyek efisiensi biaya, seperti bahan baku. Buat para penganutnya, kepuasan para pekerja sesungguhnya hanya terjadi manakala bayaran dan fasilitasnya berlebih untuk pekerjaan yang tidak berat, yang akan merugikan perusahaan. Namun, Edmans berpendapat lain. Ia menganalisis data yang diekstrak dari "100 Best Companies to Work For in America" pada kurun 1984-2005 dan mendapati bahwa perusahaan-perusahaan tersebut jauh melampaui kinerja nilai saham perusahaan-perusahaan lain.
Penelitian yang diganjar Moskowitz Prize--penghargaan tertinggi untuk penelitian kuantitatif yang menghubungkan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dengan kinerja keuangannya--itu secara meyakinkan membuktikan bahwa perusahaan yang dicintai pekerjanya dalam jangka panjang menangguk keuntungan dari peningkatan harga saham lebih tinggi 4 persen setahun dibanding kinerja rata-rata. Pasar saham dalam jangka pendek tampak belum menghargai perusahaan-perusahaan tersebut. Bahkan banyak pialang yang masih terjebak menghindari saham-saham perusahaan itu. Tak mengherankan, saham Costco tak begitu gencar diperdagangkan di lantai bursa, padahal Costco merupakan salah satu perusahaan paling menguntungkan.
Untuk mereka yang tak memiliki cukup kesabaran untuk memegang saham dalam jangka panjang, Edmans juga memberikan kabar baik. Jelas, perusahaan-perusahaan itu juga terbukti mendapatkan pekerja terbaik, tingkat absen yang rendah, pergantian yang jarang, dan motivasi kerja yang tinggi. Jumlah paten, produk baru, kontrak baru, serta laporan analis yang sifatnya positif jauh lebih banyak diperoleh. Hasilnya, kinerja keuangan nonsaham perusahaan-perusahaan itu juga lebih tinggi dibanding rata-rata. Detail penelitian itu sedemikian menakjubkannya, sehingga hampir tak mungkin orang yang membacanya bisa berkesimpulan selain bahwa pekerja yang puas adalah pekerja yang produktif.
Dalam Les Miserables, Cosette cukup beruntung. Wali kota sekaligus industriwan Jean Valjean bersumpah di telinga Fantine ketika sakratulmaut menjemput perempuan malang itu: "Dan akan kubawa ia ke dalam terang kehidupan." Valjean memenuhi janjinya. Cosette mendapati semua prasyarat kebahagiaan diupayakan oleh Valjean sejak saat pertama ia diadopsi. Bahkan, untuk memenuhi janjinya kepada Fantine, Valjean nekat menerobos barikade militer, kembali bertarung dengan Javert, musuh bebuyutannya, "hanya" untuk menyelamatkan Marius, pria yang dicintai Cosette.
Ada ratusan juta Cosette di dunia ini. Mereka adalah anak-anak buruh, yang status kesehatan dan pendidikannya sangat bergantung pada pendapatan yang diperoleh orang tuanya. Para pengusaha dan manajer sumber daya manusia sesungguhnya bisa memilih untuk menjadi Valjean, tanpa perlu menerobos barikade militer. Yang harus mereka upayakan adalah tingkat kesejahteraan yang memadai untuk orang-orang yang bekerja di perusahaannya. Kalau mereka tak ingin menjadi Valjean, mungkin penelitian Edmans cukup untuk menjadi pengingat bahwa kesejahteraan dan kepuasan pekerja itu berkorelasi positif dengan keuntungan perusahaan. *
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/05/Opini/krn.20090505
Share this article :

0 komentar: