BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » MENUJU PEMILU YANG LEBIH DEMOKRATIS

MENUJU PEMILU YANG LEBIH DEMOKRATIS

Written By gusdurian on Selasa, 05 Mei 2009 | 10.28

MENUJU PEMILU YANG LEBIH DEMOKRATIS


NomorT34051541
Edisi34/05
Halaman13
RubrikKolom
SubyekKOLOM TEMPO
25 Oct 1975



Deskripsi
PEMERINTAH SADAR BAHWA PEMILU 1971 MASIH KURANG DEMOKRATIS.
RUU TENTANG PERUBAHAN UU 15/1962 TELAH DI AJUKAN KPD DPR,
UNTUK MEWUJUDKAN KEINGINAN PRESIDEN AGAR PEMILU 1977
DILAKSANAKAN LEBIH DEMOKRATIS.




PRESlDEN dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus yang baru
lalu, mengenai pemilu menyatakan antara lain bahwa pelaksanaan
pemilu 1977 hendaknya makin demokratis dan makin dijamin
diwakilinya semua lapisan masyarakat. Yang tersirat dari pidato
Presiden tersebut adalah bahwa Pemerintah sendiri menyadari
pelaksanaan pemilu 1971 masih kurang demokratis, karena itu
pemilu 1977 harus dilaksanakan lebih baik, dan lebih demokratis.
Keinginan Presiden tersebut dalam kenyataan sekarang akan
terlihat dalam RUU tentang Perobahan UU 15/1969 yang telah
diajukan kepada DPR. Karena itu pertanyaan yang timbul adalah,
apakah RUU tersebut sudah sejalan dengan keinginan Presiden?

Pemilu, kecuali sebagai pelaksanaan azas kedaulatan rakyat, yang
berarti pula pelaksanaan sebagian hak-hak azasi warga negara,
juga bertujuan agar penyegaran pemerintahan dapat berjalan
secara damai dan tertib, karena pemilu pada akhirnya akan
mengisi keanggotaan lembaga negara tertentu. Pemilu juga perlu
untuk menampung kemungkinan perobahan kesadaran hukum rakyat
yang menghendaki pula perobahan wakilnya, serta memberikan
kesempatan kepada mereka yang pada pemilu yang lalu belum
dewasa, untuk mempergunakan haknya sekarang.

Tujuan umum pemilu tersebut akan sama, baik da'ali pemilu 1955,
1971, dan 1977 maupun yang akan datang. Perbedaannya mungkin
terletak pada azas, sistim perwakilan dan pelaksanaannya.

Tinggal Tiga

Tentang azas dalam pemilu 1977 dengan tegas telah ditetapkan
oleh Tap MPR VIII/1973 yaitu langsung, umum bebas dan rahasia.
Hal ini sama dengan pemilu 1971. Bahwa MPR tidak menetapkan
azas berkesamaan seperti pada pemilu 1955 untuk sementara dapat
diterima. Sementara, karena untuk pemilu berikutnya tahun 1982,
sesuai dengan kehendak UUD 1945, seharusnya semua anggota DPR
dipilih melalui pemilu. Pengangkatan hanya untuk anggota MPR
bagi Utusan Golongan. Masalah yang timbul sekarang, apakah
jumlah 100 dari 460 anggota DPR masih tetap akan dipertahankan.
Tidakkah jumlah tersebut terlalu banyak mengingat jumlah yang
seharusnya ikut memilih tidak mempergunakan haknya?

Mengenai sistim, MPR sama sekali tidak menetapkannya. Terserah
kepada Presiden dan DPR. Keinginan Presiden mengenai sistim ini
terlihat dari RUU tersebut. Rancangan itu dapatlah dikatakan
hanya berupa perobahan redaksionil saja terhadap UU 15/1969,
karena memang tidak ada perobahan yang prinsipil. Sekiranya
tidak ada ketentuan dalam Tap MPR tersebut bahwa yang boleh ikut
pemilu 1977 hanya dua parpol dan satu golkar--maka mungkin
Pemerintah akan berpendapat bahwa pemilu 1977 cukup diatur
dengan UU 15/ 1969.

Karena tidak ada perobahan prinsipil, dapat diambil kesimpulan
bahwa Pemerintah tetap berkeinginan untuk memakai sistim
perwakilan seperti apa yang terdapat dalam UU 15/1969, yaitu
sistim perwakilan proporsionil di mana para pemilih tetap akan
menusuk tanda gambar. Perbedaannya hanya kalau dalam pemilu 1971
terdapat 10 tanda gambar, maka pada pemilu 1977 tinggal tiga
tanda gambar saja. Kalau sistim ini juga disetujui oleh DPR
nanti, maka berarti kita telah memprakekkan sistim yang sama
untuk tiga kali pemilu. Dan tidak bisa lain akan menghasilkan
DPR seperti sekarang, di mana hubungan antara para pemilih dan
wakilnya kurang harmonis, di mana rakyat tidak dengan pasti
mengetahui siapa wakilnya. Sehingga Anggota DPR yang sekarang
merasakan kurang sekali kontrol dari masyarakat kepada DPR.

Sistim lain yang lebih menjamin terjalinnya hubungan yang lebih
harmonis antara pemilih dan wakilnya adalah sistim distrik.
Dalam sistim ini para pemilih memilih orang, bukan tanda gambar,
karena itu dia mengetahui betul siapa wakilnya yang dipilihnya.
Sistim ini pernah diperdebatkan pada waktu membahas RUU Pemilu
yang kemudian menjadi UU 15/1969, dan perdebatan mengenai ini
pulalah yang antara lain menyebabkan berlarut-larutnya
pembahasan RUU tersebut. Tetapi pada akhirnya sistim
proporsionil yang disepakati, karena pertimbangan-pertimbangan
tertentu. Kalau pada waktu itu oleh parpol kecil dikhawatirkan
bahwa mereka tidak akan mendapat kursi di badan perwakian
rakyat - bila sistim distrik dipakai--maka dengan hanya dua
parpol sekarang--di mana di setiap parpol ada golongan yang
dulunya merupakan parpol besar-- kekhawatiran tersebut kiranya
tidak beralasan lagi. Karena itu pertanyaan yang dapat
dialamatkan kepada DPR: tidakkah sudah saatnya sistim distrik
dipakai dalam pemilu 1977 nanti?

Suatu pemilu yang demokratis tidak hanya tergantung dari azas
dan sistim perwakilan yang tepat, tapi banyak ditentukan oleh
pelaksanaannya. Bagaimana menghidupkan suasana aman hagi para
pemilih, sehingga terwujud azas bebas dan rahasia, semuanya
tergantung dari pelaksanaan. Dan pelaksanaan ini tergantung
banyak dari pelaksananya. Berbicara mengenai pelaksana ini,
dapatlah dibandingkan apa yang terdapat pada pemilu 1955 dan
1971. Dalam pemilu 1955 pelaksananya terdiri dari orang-orang
non Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini benar-benar- bertindak
sebagai wasit. Sebaliknya dalam pemilu 1971 pelaksananya adalah
Pemerintah sendiri. Bagaimanakah sebaiknya dalam Pemilu 1977?
Untuk benar-benar dapat terlaksana pemilu yang makin demokratis,
dan mencegah anggapan negatif karena pada akhirnya pemilu ini
akan mengisi keanggotaan MPR yang salah satu tugasnya adalah
memilih Presiden dan Wakil Presiden, maka sebaiknyalah
pelaksanaan pemilu terdiri dari orang non Pemerintah, dan
Pemerintah di sini benar-benar bertindak sebagai wasit.

Apakah Apakah

Selain hal tersebut, maka pemilu yang makin demokratis dapat
pula diwujudkan dengan menentukan bahwa saat pemilu dilaksanakan
dinyatakan sebagai hari libur, bukan seperti pada tanggal 3 Juli
1971 yang lalu. Dengan demikian Pemerintah benar-benar memberi
kesempatan kepada para pemilih untuk mempergunakan haknya. Dan
sejalan dengan hal tersebut, maka tidak perlu ada lagi tempat
pemungutan suara di kantor-kantor seperli tahun 1971. Semua
pemilih yang berhak, memilih wakil-wakilnya berdasarkan wilayah
tempat tinggalnya.

Dari penjelasan di atas apakah keinginan Presiden untuk
terlaksananya pemilu 1977 yang lebih demokratis dari pemilu 1971
akan terpenuhi dengan RUU tentang perobahan UU 15/1969 tersebut?
Apakah pemilu yang lebih demokratis akan tercapai dengan hanya
mengadakan perobahan ala kadarnya dari UU 15/1969?

Dalam hal ini kiranya perlu diingat bahwa demokrasi selalu
berkembang. Hari ini seharusnya lebih baik dari kemarin dan
besok seharusnya lebih baik dari hari ini.


http://www.pdat.co.id/tempo/view_article.php?article_id=72096
Share this article :

0 komentar: