BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Melihat Lubang-Lubang Kecurangan

Melihat Lubang-Lubang Kecurangan

Written By gusdurian on Selasa, 05 Mei 2009 | 10.14

Melihat Lubang-Lubang Kecurangan


NomorT1522MELYH
Edisi15/22
Halaman24
RubrikNasional
SubyekPEMILIHAN UMUM 1992
13 Jun 1992



Deskripsi
Banyak perbaikan dilakukan dalam pemilu kali ini. Namun, partai yang kalah
tetap tak puas. Kedudukan birokrasi yang kuat tak menjamin perubahan.




ADA satu senjata pamungkas yang selalu dielus-elus partai politik sejak kampanye
lalu. Ketika kotak-kotak mulai dibuka, hasilhasil perhitungan bermunculan, dan
mereka tak puas, senjata itu akan dilepaskan. Senjata itu bernama "kecurangan
pemilu". Bisa dipastikan, tuduhan partai politik atau yang kalah, bahwa pemilu
kali ini tetap belum bisa jujur dan adil, akan semakin berhamburan dalam
pekan-pekan ini.

Lagu pemilu curang itu dinyanyikan bukannya tanpa sebab. Alex Asmasoebrata, Ketua
PDI Jakarta, umpamanya, yakin sekali bahwa massa PDI yang datang berkampanye di
Parkir Timur Senayan jumlahnya sekitar tiga juta. "Mustahil PDI kalah di Jakarta,"
katanya kesal, seraya mengomel bahwa manipulasi di Jakarta adalah yang paling
sinting dan paling nekat. Kampanye PDI yang membludak, baik di Jakarta maupun di
daerah, rupanya membuat partai yang mengklaim memperjuangkan wong cilik ini punya
harapan besar untuk menang.

Demikian pula halnya dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Trauma bahwa
pemilu pasti diwarnai kecurangan masih mengendap. "Dari berbagai laporan yang
masuk, PPP tetap khawatir bahwa pelaksanaan pemilu sama seperti yang lalu-lalu,"
kata Buya Ismail Hasan Metareum, Ketua Umum PPP. PPP memang mempunyai trauma cukup
berat. Tahun 1987, mereka mendata 5.200 kasus pelanggaran. Bahkan 13 pengurus
wilayah yang setingkat propinsi menolak membubuhkan tanda tangan untuk mengakui
hasil pemilu. Hanya karena lobi dari pusat, persoalan ini bisa dibereskan,
sekalipun sampai saat terakhir pengurus di Bali masih menolak.

Isu kecurangan ini juga dipelihara baik-baik oleh partai sebagai salah satu bentuk
pertanggungjawaban pada massanya jika nanti ternyata penampilannya dalam pemilu
loyo. Di panggung-panggung kampanye, teriakan kecurangan selalu bersemburatan
keluar dari pidato para juru kampanye yang berapi-api. "Kalau sampai ada
kecurangan, kita akan menuntut!" teriak jurkam, yang disambut dengan gegap-gempita
oleh massanya.

Di Malang, bahkan ada usaha untuk saling menantang dalam sebuah kampanye dialog
dengan mahasiswa. Seorang juru kampanye PDI sempat berucap, "Apakah Saudara
sanggup bersiap kembali, jika nanti tanggal 9 Juni terjadi kecurangan?" Sang
mahasiswa balik bertanya, "Apakah PDI juga tetap mendukung kami jika nanti kami
marah dan turun ke jalan?"

Suasana yang menghangat ini tentu saja membikin Menteri Dalam Negeri Rudini
sedikit kepanasan dan jengkel. "Kita sudah berusaha sekuat tenaga, tapi belum
apa-apa sudah ada semangat curiga. Ya sudah, Panitia Pemilihan tak usah kerja
lagi," katanya. Bisa dipahami kalau Rudini jengkel. Dialah yang paling bertanggung
jawab atas pelaksanaan pemilu kali ini. Posisinya adalah sebagai Ketua Lembaga
Pemilihan Umum (LPU).

Ia berharap, partai tidak terlalu terpengaruh emosi dan trauma masa lalu ketika
mereka mendapati banyak kecurangan. Demikian juga soal massa kampanye yang hadir.
"Itu tak bisa dijadikan ukuran," katanya dalam sebuah wawancara khusus dengan
TEMPO.

Rudini mempunyai cukup alasan untuk berharap bahwa pemilu kali ini akan berjalan
lebih jujur dan lebih adil. Serangkaian tindakan memang sudah dilakukan untuk
menambal berbagai kebocoran pada pemilu yang lalu-lalu. Dan kalau tambalan ini
benar-benar efektif, pemilu membaik kualitasnya, apa yang jadi senjata parpol ini
dalam sekejap akan berubah menjadi sekadar kambing hitam.

Berbagai perbaikan yang sudah dilakukan itu dirinci oleh Sekretaris LPU,
Harisoegiman. Paling sedikit ada lima hal yang tak dilakukan pada Pemilu 1987.
Pertama Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu ikut mengawasi pendaftaran
pemilih. Kedua, penyediaan saksi dipermudah dan diperluas. Sekarang saksi
diperbolehkan berasal dari desa lain yang bertetangga. Ketiga, pelaksanaan
kampanye dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama, sedangkan dulu ditentukan
Panitia Pemilihan tanpa musyawarah. Keempat, formulir disederhanakan sehingga
lebih mudah diisi oleh pemilih. Kelima, pemilih yang sudah terdaftar mendapat
kartu kuning. Mereka bisa menuntut seandainya tak mendapat surat panggilan ke
tempat pemungutan suara (TPS), dan juga lebih mudah mengurus kartu AB yang
memungkinkan pemegangnya untuk mencoblos di TPS mana saja.

Selain itu, ada tambahan lagi dari Rudini. Untuk memudahkan memonitor
perkembangan, para saksi yang pulang dari TPS akan diberi lampiran formulir model
CA-1. Formulir ini sangat penting karena memuat secara rinci hasil perhitungan di
TPS yang sebelumnya ditandatangani oleh para saksi. "Jadi, praktis partai bisa
melakukan perhitungan versi mereka sendiri. Jika semua formulir CA-1 ini mereka
kumpulkan dari saksi-saksinya di seluruh Indonesia, mereka juga akan bisa
menghitung hasil secara nasional. Kalau ternyata berbeda dengan yang dipunyai
Pemerintah, bisa dicek, mana yang benar. Kalau saya yang salah, akan saya akui,"
kata Rudini.

Sampai di sini gambaran tampaknya ideal. Namun, di sisi lain ada lubang-lubang
yang menganga sehingga bisa menjungkirbalikkan hasil. Kata kunci untuk ini adalah
"saksi". Dalam sistem pemilu kali ini, saksi adalah peran kunci yang luar biasa
pentingnya bagi partai politik. Sebab, sekali kotak suara sudah dihitung dan
disegel, para saksi sudah menandatangani berita acara perhitungan, hasil
perhitungan ini akan terus bergulir tanpa bisa diusik. Peluang manipulasi yang
dulu-dulu sering terjadi agak kecil kemungkinannya. Selain para saksi juga sudah
mengantungi lampiran CA-1 seperti yang sudah disebut tadi untuk pengontrol, di
tiap tahap nantinya, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat,
pengawasan relatif cukup ketat karena orang-orang parpol terwakili di sana sebagai
saksi.

Masalah saksi menjadi soal pelik karena bagi parpol bukan perkara mudah untuk
menyediakan saksi paling sedikit dua kali lipat dari semua jumlah TPS yang ada.
Bagusnya memang dua orang tiap TPS, sehingga yang seorang lagi bisa menjadi
cadangan. Karena jumlah TPS saat ini tercatat 291 ribu lebih, idealnya harus ada
masing-masing hampir 600 ribu saksi dari PDI dan PPP. Dan sejauh ini PPP dan PDI
baru berani mengklaim bahwa mereka baru mempunyai saksi sekitar 80 persen dari
jumlah TPS, sungguh jauh dari ideal dua kali lipat. Rata-rata persoalan mereka
adalah di daerah terpencil, bukan kota-kota besar yang cukup melimpah. "PPP Jawa
Timur bisa menyediakan 60 persen dari seluruhnya saja sudah bagus," ini adalah
sebuah contoh dari Ketua PPP Jawa Timur, H. Soelaiman Fadeli.

Manakala tak ada saksi di TPS, saksi pengganti bisa dipungut dari orang yang
hadir. Namun, mereka tak bisa dianggap mewakili dan tak akan membubuhkan tanda
tangannya, karena persyaratan untuk menjadi saksi tidaklah sembarangan, harus
dengan surat keputusan dari pimpinan daerah, bahkan disumpah pula. Saksi "cabutan"
ini hanyalah pelengkap agar jumlah saksi sesuai dengan persyaratan, tiga orang.
Jelas, saksi seperti ini tak akan berpengaruh apa-apa.

Alasan lain mengapa saksi menjadi sangat strategis adalah soal waktu. LPU ingin
perhitungan suara tidak tersendatsendat dan harus menunggu berbagai proses
pada tingkat yang lebih tinggi. Maka, kalau ada masalah pada proses perhitungan
suara, hal itu harus segera diselesaikan pada kesempatan pertama. "Saksi kan
melihat sendiri semuanya, jadi kalau ada masalah, ya harus diperbaiki saat itu
juga. Kalau tak puas, bisa dihitung ulang," tutur Harisoegiman, Sekretaris LPU.
Maka, bisa dibayangkan, betapa besar kerugian yang mungkin diderita partai jika
tak punya saksi. Maka, tak heran jika PPP dan PDI saat ini sibuk mengadu mengenai
calon-calon saksi mereka yang"digarap" agar tak hadir di TPS, dan sebagainya.

Kebocoran lain yang juga mungkin bisa timbul adalah kartu AB yang menurut partai
sulit dikontrol. Banyak laporan tentang kartu AB yang diobral untuk orang
tertentu, sehingga ia bisa mencoblos beberapa kali.

Gugatan yang juga selalu muncul dari partai adalah soal hari libur. Selalu tiap
kali penyusunan aturan main, mereka menuntut agar pamilu yang cuma sekali dalam
lima tahun itu dijadikan hari libur. Namun, Pemerintah punya pemikiran lain,
"Pemilu itu krida nasinal tapi bukan hari raya nasional," kata Harisoegiman.

Sebenarnya, PPP dan PDI punya alasan jelas untuk menuntut libur. Selama ini banyak
pemilih yang wajib memilih lewat TPS di dekat kantor masing-masing. Pegawai
negeri, BUMN, atau pegawai perusahaan besar yang dekat dengan Pemerintah, jelas
akan mendapat perintah agar mereka semua memilih Golkar. Biasanya, sebelum pemilu
berlangsung, ada serangkaian "santiaji" untuk mamastikan bahwa kesetiaan
para pegawai ini tak luntur.

Tidak dijadikannya pemilu sebagai hari libur juga membuat murid SMA memilih di
sekolah masing-masing. Uniknya, tahun ini sebenarnya mereka sudah selesai ebtanas,
urusan dengan sekolah juga sudah beres, mereka tinggal menunggu pengumuman 12 Juni
nanti. Namun, toh di beberapa sekolah mereka diharuskan datang ke TPS. "Takut,
karena kalau nggak nyoblos Golkar bisa nggak lulus," kata seorang siswi.

Selain soal saksi, juga ada lubang lain lagi. Salah satu yang pertama dikeluhkan
adalah tidak adanya orang parpol yang duduk dalam kepanitiaan. Masalah kepanitiaan
ini juga sudah sering digugat parpol, mengingat dalam perjalanannya dari TPS, lalu
ke kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat, suara yang diperoleh selalu
dijumlahkan dan tentu saja dilakukan oleh panitia. Rudini sendiri menegaskan,
dalam tiap tahap itu selalu ada saksi. Namun, dalam penilaian PPP, orang
partai yang duduk di sana kurang berperan, "Karena mereka bukanlah unsur
organik dari panitia. Mestinya, kalau mau lebih adil, ya partai diikutsertakan
betul-betul. Bukan cuma saksi," tutur Buya.

Contoh lain yang bisa menjadi kelemahan adalah Panitia Pendaftaran Pemilih.
Beberapa kasus menunjukkan panitia pendaftaran ini sering semaunya mendaftar orang
yang dianggap pro-Golkar. Maklum, tak ada orang parpol yang aktif di sini
sekalipun sekarang sudah diawasi langsung oleh Panwaslak. Satu contoh menarik
dialami oleh calon anggota DPR dari PDI, Laksamana Sukardi. Panitia pemungutan
suara di tempat tinggalnya mendesak agar dua anaknya yang masih di bawah umur -- 9
dan 7 tahun -- ikut didaftar. Ketika Sukardi menolak, sang petugas menyebut, "Tak
apa, Pak, gunakan saja, toh ini demi Golkar," kata Sukardi menirukan si petugas.
Sukardi sampai sekarang belum pasti betul apa motivasi si petugas, "Atau
mungkin saya dikira ABRI karena nama depan saya Laksamana," katanya.

Melihat masih banyaknya celah itu, Ismail Hasan Metareum cukup prihatin. Ia tak
meragukan itikad baik Rudini untuk menyelenggarakan pemilu yang lebih baik.
"Tetapi para pelaksana di lapangan tampaknya kok tak melaksanakan instruksi,"
katanya.

Ini memang tak semudah membalik telapak tangan. Satu lagi kata kunci di sini
adalah monoloyalitas Korpri pada Golkar. Patut diingat bahwa para petugas
dilapangan yang notabene anggota Korpri mau tak mau termasuk kader Golkar. Jelas
ada tabrakan kepentingan yang menghantui para"kader Golkar" itu.

Itu sebabnya, ada pemikiran untuk membuat Korpri menjadi netral seperti ABRI.
Rudini sendiri cenderung mengatakan, "Mungkin satu saat nanti Korpri loyal pada
Pemerintah yang sah. Untuk soal politik, ia bebas. Kalau perlu, termasuk massa
mengambang. Berani taruhan, rakyat yang berkembang ini akan mendorong ke arah
sana," katanya.

Yopie Hidayat, Wahyu Muryadi, Dwi Setyo Irawanto, Sri Pudyastuti, dan Iwan Qodar
(Jakarta)


http://www.pdat.co.id/tempo/view_article.php?article_id=6872
Share this article :

0 komentar: