MENILAI GOLPUT, DULU DAN SEKARANG
NomorT02120620
Edisi02/12
Halaman15
RubrikNasional
SubyekGOLONGAN PUTIH 1982
13 Mar 1982
Deskripsi
GOLPUT YANG KINI MENJADI PEMBICARAAN HANGAT RUPANYA MENGUNDANG
BERMACAM TANGGAPAN. ADA YANG MENGATAKAN MOTIVASINYA MURAHAN,
TIDAK SERIUS, ATAU SUDAH MASUK KE DESA. (NAS)
RIDWAN SAIDI, 40 tahun, anggota DPR dari F-PP, Sekjen HMI
1969-1971.
Saya sendiri mempunyai sikap politik menolak golput sejak Pemilu
1971. Selaku Sekjen HMI, ketika itu saya menyerukan agar semua
anggota menggunakan suaranya untuk menaati aturan permainan yang
sudah disepakati. Terlepas apakah aturan itu memuaskan atau
tidak.
Pandangan saya soal golput berbeda dengan pemerintah. Pemerintah
menganggap, golput menenung penguasa. Saya tidak mengutuknya.
Cuma memberi warning. Bukankah golput sendiri juga merupakan
peringatan bagi UU Pemilu yang belum sesuai dengan kedaulatan
rakyat? Tapi tidak bisa, menghadapi ketidakbenaran dengan
ketidakbenaran. itu sama-sama gila.
Potensi golput hanya pada kelompok yandijamah media massa.
Mereka disatukan oleh pandangan yang sama, bukan oleh figur
seseorang. ini ijtihad (upaya) politik. Bukan dituntun oleh
imam, tapi oleh nalar belaka.
Jumlahnya sedikit. Tapi ini kelompok yang menarik perhatian.
Apakah golput karena ada orang ngambek? Tidak sepenuhnya begitu.
Pembangunan politik tidak pernah tertolong oleh sikap
ngambek-ngambekan. Kalau golput benar sekedar memberi
peringatan, yanyoblos dong sembari memberi peringatan. Golput
seharusnya berperan sebagai dinamisator, bukan sebagai mandor.
Kalau perwujudan politik nanti jelek, jangan lantas menangisi
susu yang tumpah.
HARUN AL RASID, Lektor Kepala Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum
UI.
Orang yang abstain atau tidak memilih dalam pemilu tidak bisa
dikatakan melanggar hukum. UU Pemilu sendiri tidak mewajibkan
warga negara untuk memilih. Negara kita'menganut asas voluntary
voting, memilih dengan sukarela. Ini berbeda dengan misalnya
Australia yang menganut asas compulsory voting: pemilih
diwajibkan menggunakan hak pilihnya.
Tapi kalau ada orang yang menyuruh orang lain untuk golput, itu
bisa ditafsirkan sabotase. Tentu ada latar belakang politiknya.
Banyaknya orang memberikan suara dalam pemilu bisa berarti
kesadaran hukum semakin tinggi.
Kalau ternyata golput besar, pemerintah harus segera mawas diri.
Tapi bisa juga, seorang tidak memilih karena merasa tidak ada
wadah yang mewakilinya. Cuma di lndonesia, itu tidak bisa
menjadi alasan. Semua golongan secara formal sudah diwakili oleh
parpol dan Golkar. Namun bisa saja tetap ada golput. Buktinya,
Pak Hatta almarhum, pernah juga mengatakan tidak akan
menggunakan hak pilihnya.
HARRY TJAN SILALAHI, 48 tahun Direktur CSIS, anggota DPA.
Masalah golput lebih bersifat pernyataan saja dibanding
kenyataan dan pengaruhnya dalam pemungutan suara. Suara yang
akan masuk dalam pemilu nanti diperkirakan 90 persen. Sebagai
pencerminan politik, pernyataan semacam itu tidak akan berarti
apa-apa. Di negara yang sudah maju, golput jauh lebih besar.
Bisa di atas 40 persen. Sedang di Indonesia, sekitar 10 persen.
Dari kira-kira 10 persen itu, yang sadar politik dan sengaja
tidak mau memberikan suara kurang dari sat persen. Lainnya
mungkin suara tidak sah, tidak tahu, lalai dan lain-lain.
Di negara berkembang seperti Indonesia, memilih lebih bersifat
kewajiban. Walau tidak ada paksaan, rakyat merasa ewuh (risih)
untuk tidak datang memberikan suara. Lain sekali dengan negara
maju yang sistem politiknya sudah mapan. Di sana memilih berarti
mendukung kawan dan menghukum lawan.
Kecilnya kemungkinan rakyat ikut golput terutama karena sifat
mereka lebih terikat dengan kelompoknya. Bukan dengan pemimpin.
Artinya, agak susah para pemimpin itu mempengaruhi anak buahnya.
Tambah lagi, rakyat jua mempunyai beberapa "bapak buah".
Solidaritasnya lebih besar dengan kelompok daripada kepada
pemimpin.
ARIEF BUDIMAN, 41 tahun, pencetus golput 1971 dan dosen
Universitas Satya Wacana, Salatiga.
Golput adalah indikator proses politik yang tidak benar. Sebagai
gerakan politik, ia tidak mempunyai kekuatan. Golput
mempertahankan kemerdekaannya yang terakhir dengan diam.
Sebagai gerakan moral, golput sekarang semakin besar. Ini bukan
ditentukan oleh kampanye, tapi terutama oleh perkembangan
politik. Tapi motivasinya berbeda antara golput 1971 dan 1982.
Namun dasarnya sama yaitu tidak mungkin untuk memilih.
Dulu saya dikatakan sakit hati. Saya merasakan, proses politik
kok jadi begitu. Dus, tidak memilih rasanya lebih baik daripada
memilih. Dan golput sebenarnya menggerogoti kecil-kecilan proses
keabsahan pemilu. Karena pemilu sendiri merupakan proyek untuk
memenangkan keabsahan.
Pemerintah tahu, golput tidak mempunyai kekutan. Ia tidak akan
menang dalam pemilu. Apalagi sekarang, proses politik lebih
menyuburkan golput itu. Namun golput kini sudah campuran. Bukan
hanya orang yang idealis seperti 1971.
ABDURRAHMAN WAHID, 42 tahun, Pengasuh Pesantren Ciganjur Jakarta
Selatan, Sekretaris I PB-NU.
Golput 1971 adalah suara kalangan intelektual dan budayawan,
sehingga tidak mencapai papan pantul di bawah. Dalam Pemilu
1982, golput lebih banyak berupa kekecewaan para politisi
praktis dan aktivis gerakan massa yang "kalah bertanding" Juga
para pemimpin rohanl yang dlkecewakan para politisi praktisnya.
Sulit untuk menganggap golput dalam Pemilu 1982 sebagai hukuman
atas sistem politik yang gagal didemokratisasikan. Kekecewaan
memang sebab sederhana. Pada ujungnya baru ditemukan muara yaitu
penilaian terhadap sistem politik. Tapi itu masih nanti, bukan
dalam pemilu ini.
SUMISKUM, bekas Wakil Ketua DPR dari F-KP, pengamat politik.
Golput sekarang tambah besar. Cuma suaranya kurang vokal. Alasan
adanya golput: pemerintah terlalu menekankan pendekatan
stabilitas. Sedang pendekatan demokrasi kurang diperhatikan.
Yang golput dari dulu polanya sama. Yaitu orang yang merasa
tidak sesuai dengan kebijaksanaan penguasa. Mereka dipersatukan
oleh kesamaan perasaan kecewa itu. Ini wajar selama mereka tidak
menyatakan sikap politiknya dengan kekerasan. Kalau sudah begitu
namanya pemberontakan.
Pemerintah menghantam golput berarti ia mengakui ada gelombang
yang tidak senang terhadap kebijaksanaannya. Kelompok golput
akan tetap berkembang karena melihat organisasi politik formal
sekarang semakin mirip atau mendekati corak jawatan pemerintah,
makin kehilangan otonominya sebagal parpol--Golkar. Kedaulatan
politiknya bergeser dan berpindah dari anggota kepada pemimpm.
HARDJANTHO SUMODISASTRO, 55 tahun, Ketua DPP PDI, Wakil Ketua
DPR.
Ikut golput berarti melewatkan kesempatan yang terbaik dalam 5
tahun sekali. Gejala ini sudah masuk sampai ke desa-desa. Tidak
memilih memang hak seseorang. Tapi sebagai warga negara, golput
berarti tidak bertanggungjawab. Sebab, kalau mereka ingin
memperbaiki nasib, caranya bukan begitu. Jangan kendaraan ini
dirusak. Mari masuk dan memperbaiki bersama.
Tapi banyaknya suara yang masuk bukan satu-satunya ukuran pemilu
berhasil. Yang penting, berasas luber, tenang, aman dan tidak
menimbulkan perpecahan nasional.
ABDUL MADJID, 65 tahun, bekas Ketua DPP PDI dan bekas anggota
DPR.
Golput bisa menunjukkan sikap politik tertentu yaitu menampik
tiga tanda gambar dalam pemilu, di samping tidak cocok dengan
aturan permainan. Tapi toh pemerintah tidak dapat menindaknya.
Dalam pemilu nanti, golput akan meningkat dan lebih berani. Kita
harus mengajarkan agar mereka berani walau belum tentu
memberontak. Tidak bisa dikatakan bahwa golput adalah orang yang
kesadaran politiknya kurang. Justru sebaliknya: hanya orang
sadar politik yang bisa golput.
CHALID MAWARDI, Ketua GP Ansor, Anggota DPR, Wakil Sekjen
DPP-PPP.
Hak pilih merupakan panggilan bagi warga negara untuk
bersama-sama ikut menyusun kehidupan politik. Jadi golput secara
sadar adalah tindakan negatif. Jumlahnya akan meningkat karena
persiapan pemilu oleh kontestan agak mengecewakan .
Golput 1971 timbul karena mempersoalkan sistem pemilu. Dalam
Pemilu 1977, golput muncul karena kekecewaan atas penciutan 10
partai menjadi 3 wadah, dan pembangunan lebih menitikberatkan
pertumbuhan dan menomorduakan pemerataan. Golput 1982 lebih
disebabkan oleh kekecewaan terhadap kepemimpinan kontestan.
Sedang protes soal UU Pemilu dan UU Susunan anggota DPR/MPR itu
hanya alasan klise dan tidak menonjol. Kelihatannya, motivasi
golput kali ini agak murahan.
http://www.pdat.co.id/tempo/view_article.php?article_id=51027
MENILAI GOLPUT, DULU DAN SEKARANG
Written By gusdurian on Selasa, 05 Mei 2009 | 10.16
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar