BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » LBH Pers Akan Advokasi Prita

LBH Pers Akan Advokasi Prita

Written By gusdurian on Minggu, 31 Mei 2009 | 12.30

LBH Pers Akan Advokasi Prita

”Undang-undang ini membuat publik trauma menyampaikan pendapat.”

*JAKARTA* - Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) akan mengadvokasi
Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang menjadi tersangka kasus
pencemaran nama baik melalui surat elektronik. “Tim kami tengah
mengumpulkan informasi dan siap memberi pembelaan,” kata Direktur
Eksekutif LBH Pers Hendrayana kepada /Tempo/ kemarin.

Prita, warga Vila Melati Mas Residence, Serpong, menjadi tahanan titipan
Kejaksaan Negeri Tangerang di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang
sejak 13 Mei lalu. Ia mendekam di Paviliun Menara, ruang tahanan khusus
titipan yang menunggu persidangan.

Pengacara PT Sarana Mediatama Internasional, pengelola Rumah Sakit Omni
Internasional Alam Sutra Tangerang, Risma Situmorang, mengatakan pangkal
kasus ini adalah pemeriksaan Prita pada 7 Agustus 2008. Awalnya ia
didiagnosis menderita demam berdarah dengue lantaran saat diperiksa
dokter Inda, dokter jaga di Unit Gawat Darurat, trombositnya hanya 27 ribu.

Dokter Inda meminta agar pasien dirawat. Keesokan harinya, dokter rawat
inap, dr Hengky, mendapati trombosit Prita mencapai 181 ribu alias
normal. Lima hari kemudian, kata Risma, Prita memaksa pulang dan pindah
perawatan ke RS Internasional Bintaro. Pada 15 Agustus 2007 dia menulis
surat di sebuah milis berjudul “Penipuan yang Dilakukan oleh RS Omni
Internasional Alam Sutra”.

Dalam surat itu, ia mengaku dipaksa rawat inap dengan bukti trombosit
mencapai 27 ribu. Ia juga meminta bukti hasil laboratorium, tapi
ditolak. “Padahal sudah dijelaskan, hasil itu tidak valid dan tidak
pernah dicetak,” katanya.

Pihak rumah sakit sudah memperingatkannya bahwa tulisan itu tidak benar.
Akhirnya RS Omni menggugat perdata ke Pengadilan Negeri Tangerang.
Mereka menuntut Prita membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 384 juta.

Menurut Risma, rumah sakit dirugikan karena kasus ini. “Banyak kerja
sama yang dibatalkan,” ujarnya. RS Omni juga menuntut kerugian imateriil
sebesar Rp 500 miliar untuk memulihkan nama baik rumah sakit dan Rp 20
miliar untuk pemulihan nama baik dr Inda dan dr Hengky.

Dua pekan lalu, kata Risma, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan RS
Omni dan menyatakan Prita terbukti melawan hukum. RS Omni naik banding
karena pengadilan hanya menjatuhkan hukuman ganti rugi materiil Rp 384
juta dan imateriil Rp 50 juta untuk rumah sakit dan Rp 25 juta untuk
masing-masing dokter.

Rumah sakit juga menempuh jalur pidana dengan Pasal 310 KUHP tentang
pencemaran nama baik dan UU Teknologi Informasi. “Itu hak orang untuk
menempuh jalur hukum,” kata Risma.

Sebaliknya, Hendrayana menyesalkan sikap kepolisian yang dinilai tak
memahami latar belakang Prita menulis pengalamannya melalui /mailing
list/. “Prita kan ibarat mengadu. Akar masalahnya adalah ketidakberesan
pelayanan publik, bukan niat untuk mencemarkan nama baik institusi
tertentu,” ujarnya.

Menurut Hendrayana, aturan ini akan berdampak buruk terhadap iklim
kebebasan berpendapat di Indonesia. “Undang-undang ini membuat publik
trauma menyampaikan pendapat.”

Menurut catatan /Tempo/, sudah ada dua orang yang jadi korban
undang-undang ini. Selain Prita, korban lainnya adalah Narliswandi alias
Iwan Piliang, seorang wartawan yang dituduh mencemarkan nama baik
seorang anggota DPR.

Selain LBH Pers, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) juga
siap membela Prita. “Kami tengah mendalami kasus ini dan siap memberi
advokasi,” kata Dedi Ali Ahmad, Koordinator Advokasi PBHI.

PBHI berpendapat keluhan Prita dijamin oleh UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Adapun UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 69/Menkes/PER/III/2008
tentang Rekam Medis tertanggal 12 Maret 2008 menjamin bahwa
pasien/konsumen berhak meminta rekam medis.

Anggota Sub-Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Nurkholis, meminta keluarga Prita mengadukan kasus ini ke
Komnas HAM agar bukti-bukti yang lebih lengkap bisa diperoleh. “Kalau
hanya itu (surat elektronik) yang jadi alasan penahanan, itu
berlebihan,” katanya. Menurut dia, jawaban rumah sakit atas keluhan itu
di milis yang sama sudah cukup.

Gugatan perdata rumah sakit terhadap Prita juga dinilai oleh Nurkholis
amat ganjil. “Kalau rumah sakit merasa rugi, si ibu itu juga sudah rugi
akibat pelayanan yang dialaminya,” katanya.

Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menampik berkomentar soal
kasus ini. “Tanya Kapolda saja,” kata dia kemarin. Adapun Kepala
Kejaksaan Negeri Tangerang Suyono tidak bisa dimintai konfirmasi. “Bapak
sudah tidur,” ujar istrinya saat dihubungi /Tempo/ via telepon. *FERY
FIRMANSYAH| REZA MAULANA| JONIANSYAH| ISTI
*

*http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/29/headline/krn.20090529.166561.id.html
Share this article :

0 komentar: