BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tiga Juta Anak Kesulitan Mendapatkan Pendidikan

Tiga Juta Anak Kesulitan Mendapatkan Pendidikan

Written By gusdurian on Selasa, 14 April 2009 | 11.54

Tiga Juta Anak Kesulitan Mendapatkan Pendidikan
Pemerintah dinilai bersikap diskriminatif terhadap anak miskin dan tertinggal.
Jakarta - Sekitar 3 juta anak Indonesia kesulitan mengakses layanan pendidikan formal alias sekolah reguler. Mereka terdiri atas 2,6 juta pekerja anak, 15 ribu anak yang lahir di daerah transmigrasi, dan sekitar 2.000 anak yang tersebar di 18 lembaga pemasyarakatan anak.
Selain itu, ada anak-anak korban perdagangan manusia, anak-anak yang tumbuh di daerah konflik, anak-anak yang hidup di lokasi pelacuran, anak dengan HIV/AIDS, dan anak putus sekolah karena kemiskinan.
"Mereka susah mengakses pendidikan formal reguler, mulai dari susah biaya, budaya, waktu, hingga jarak tempuh. Ada pula sekolah yang enggan menerima anak-anak dengan HIV/AIDS dan anak-anak pelacur," kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Ekodjatmiko Sukarso, Sabtu lalu.
Anak-anak itu, kata Eko, bisa ditampung di layanan pendidikan khusus yang dilakukan oleh masyarakat. Pendidikan jenis ini memberikan kelonggaran untuk siswa, dari waktu belajar, tenaga pengajar, kurikulum, hingga tempat belajar. Pekerja anak bisa bersekolah di pendidikan khusus ini pada waktu malam setelah bekerja seharian. Mata pelajaran yang diajarkan juga disesuaikan dengan kebutuhan.
Selain pemberian keterampilan sesuai dengan potensi lokal, kata Sukarso, kebanyakan anak ingin belajar keterampilan, seperti bahasa Inggris dan komputer. "Tujuannya agar anak bisa bertahan hidup dengan keterampilan yang dimiliki, bukan hanya pintar mata pelajaran tertentu saja," ujarnya.
Sabtu lalu, Eko meresmikan pendidikan layanan khusus daerah terpencil di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Sekolah ini menampung anak-anak pulau yang tidak memiliki dana untuk bersekolah, serta anak yang rumahnya jauh dari sekolah formal terdekat. "Jarak antarsekolah lebih dari 10 kilometer, padahal tidak ada transportasi umum di Pulau Bawean," kata dia.
Pendidikan layanan khusus, kata Eko, tidak memaksa siswa belajar seluruh mata pelajaran yang diwajibkan di sekolah forma. Tenaga guru disesuaikan dengan kebutuhan. Kebanyakan pengajar merupakan penduduk setempat yang dibayar dengan dana swadaya masyarakat.
Selain itu, ada dana hibah Departemen Pendidikan Nasional yang diberikan kepada pengelola atau yayasan. Besar bantuan yang diberikan untuk pengelolaan pendidikan layanan khusus berkisar Rp 30-100 juta. Hingga kini ada 196 lembaga atau yayasan, 18 lembaga pemasyarakatan anak, dan 14 sekolah Indonesia di luar negeri yang menjadi penyelenggara pendidikan layanan khusus yang terdaftar dan mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Pengamat Pendidikan Utomo Dananjaya meminta pemerintah lebih serius melayani kebutuhan pendidikan layanan khusus. Selama ini, kata Utomo, pendidikan jenis ini dilakukan masyarakat lewat yayasan atau lembaga swadaya masyarakat. Padahal, itu mestinya adalah tanggung jawab pemerintah.
"Pemberian tanggung jawab kepada lembaga atau masyarakat tidak cukup. Juga tidak ada jaminan pendidikan akan terus berlanjut," kata Direktur Institute of Education Reform ini kemarin.
Utomo menilai pemerintah saat ini lebih bangga memberikan layanan pendidikan khusus untuk anak yang cerdas, sedangkan pendidikan untuk anak miskin cenderung diabaikan. "Pemerintah bersikap diskriminatif kepada anak miskin dan tertinggal," katanya. REH ATEMALEM SUSANTI

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/14/Nasional/krn.20090414.162388.id.html
Share this article :

0 komentar: