Kesantunan Politik
Semua orang dalam berkompetisi selalu ingin menjadi pemenang.Tak hanya dalam permainan olahraga,apalagi dalam permainan politik.
Hans J Morgenthau mengistilahkan esensi politik adalah the struggle for power, perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan. Hasrat ini lantas mendorong orang melakukan pelbagai upaya hingga menghalalkan segala cara. Tak banyak orang yang saling menghargai di saat rivalitas kian memanas.
Karena itu,muncul peragaan aneh dari mereka yang tak dapat menerima kekalahan, dari sakit jiwa hingga kehilangan nyawa. Penulis acap menyebut fenomena ini sebagai “gila politik”atau “politik gila”.Tipis perbedaan di antara keduanya. Sudah waktunya bangsa ini belajar menerima kekalahan sebagai konsekuensi kompetisi di ruang demokrasi. Sebab, itulah salah satu ukuran demokrasi.
Dan yang lebih penting,demokrasi tak berarti tanpa saling menghargai.Artinya, sisi rivalitas mesti dijadikan sesuatu yang wajar, dan penghargaan atas perbedaan itu akan mampu menciptakan kompetisi sehat di tengah panasnya suhu politik nasional. Apa yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) patut diapresiasi sebagai bagian dari pembangunan iklim demokrasi di Indonesia.
Ihwalnya,setelah Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Khusus Partai Golkar memutuskan untuk mencalonkan Jusuf Kalla (JK),SBY-JK berbicara secara personal, yang intinya dua hal.Pertama, berkomitmen menuntaskan jalannya pemerintahan hingga Oktober dengan sebaik mungkin. Kedua, berkesepa haman untuk saling berkompetisi secara sehat.
SBY juga memberikan ucapan selamat kepada JK sebagai kompetitornya dalam pemilihan presiden (pilpres). Hal serupa dilakukan Barack Obama. Bedanya Obama merangkul John McCain setelah pilpres.
Obama, sebagai presiden terpilih AS, mengajak mantan rivalnya itu membicarakan rencana kerja sama menghadapi krisis keuangan dan tantangan nasional lainnya. Walau berbeda, esensinya sama, yaitu pentingnya kesantunan politik dalam menyuburkan iklim demokrasi.
Dialog
Dialog antarkepentingan yang terjadi antara SBY dan JK yang sampai saat ini masih memegang amanat mengomandani pemerintahan mesti dievaluasi sebagai terapi atas tapak tilas proses demokrasi langsung di Indonesia yang masih berwarna politik balas dendam dan anarkisme.
Pada saat bersamaan, ini menjadi pelajaran berharga bahwa pelbagai keputusan politik sudah saatnya dihargai sebagai keputusan demokrasi. Inilah gambaran politik inklusif sebagai strategi menopang kedewasaanberdemokrasibangsa. Paling tidak, ia harus diawali dari sejauh mana menata mentalitas para pemimpin menerima kekalahan politik.
Karenanya, pertama dan utama, politik inklusif akan berkembang oleh faktor kepemimpinan. Pada konteks ini,kepemimpinan yang baik (good leadership) lebih terkait dengan kapasitas dan kapabilitas kolektif untuk mengompromikan dan mempersatukan pelbagai disparitas sosial.
Kapasitas tersebut tidak harus bertumpu pada individu tertentu,namun dapat juga dalam bentuk kapasitas organisasi maupun gerakan. Dengan ungkapan lain, regenerasi kepemimpinan yang moderat sekaligus pluralis membutuhkan satu capacity building yang mendukung orientasi tersebut. Krisis kepemimpinan yang sekarang melanda berbagai organisasi maupun kelompok sosial berpengaruh terhadap proses konsolidasi demokrasi dan cita-cita tatanan sosial yang inklusif dan pluralis.
Pembelajaran Demokrasi
Ditilik dari aspek legitimasi,sesungguhnya pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memengaruhi, mengarahkan,dan mengajak masyarakat dengan spektrum yang luas.Pemimpin seperti inilah yang memiliki legitimasi massal dalam praktik demokrasi. Dalam aspek manajerial, pemimpin sesungguhnya orang yang mampu bergerak menuju tujuan bersama,bukan pemimpin yang suka memerintah kepada bawahannya atau mantan rivalnya.
Dari apa yang terjadi antara SBY dan JK,dapat dipetik tiga pelajaran berikut. Pertama, pembelajaran demokrasi. Selama ini kepemimpinan bangsa kita masih jauh dari idealita dan etika seperti itu.Runtuhnya rezim, katakanlah dari Orde Lama ke Orde Baru, dan selanjutnya ke Orde Reformasi, bahkan dalam rezim transisi menuju pelembagaan demokrasi dewasa ini,warna “politik balas dendam” tidak bisa dimungkiri.
Pada posisi ini,pembelajaran politik dari dialog SBY-JK menjadi semacam percontohan etika kepemimpinan. Dilihat dari aspek partisipasi, dialog antarkepentingan dijadikan alat untuk menjauhkan diri dari “pemenjaraan rival” yang selama ini dipraktikkan karena alasan powerphobia. Karena itu seluruh potensi yang dimiliki oleh rivalnya tak boleh dikubur.
Sebaliknya, didayagunakan demi kepentingan bangsa ke depan. Itulah makna “menang tanpa ngasorake” dalam falsafah Jawa.Jadi,memimpin adalah mengajak,bukan memerintah. Kedua, penghargaan atas diferensiasi kepentingan.Dalam politik, perbedaan kepentingan dan persaingan merupakan situasi wajar yang dihadapi semua bangsa dalam berdemokrasi.
Karenanya,mesti dipahami bahwa berbeda jalan politik tidak berarti bermusuhan. Ketiga, hadirnya politik inklusif. Ia menghindari aspek win-lose solution(menang-kalah),sekaligus menolak kontestasi politik sebagai rivalitas dalam peperangan yang masih berprinsip siapa kalah, dia harus tunduk; dan siapa menang dialah yang berkuasa.
Politik inklusif menghindari pula apa yang disebut zero sum game (nol sama) sebagai ekspresi ketakrelaan menerima kekalahan. Karakter inklusif dalam demokrasi mengedepankan aspek winwin solution (sama-sama menang). Pihak yang menang akan menghargai rivalnya dan mengajak bekerja sama dalam pelbagai kebijakan struktural.
Sebaliknya, pihak yang kalah menerima kemenangan rival politik dan mengakui supremasi kepemimpinan nya. Dengan begitu, masing-masing pihak akan merasa sama-sama menang. Dengan itu pula tercipta agregasi kepentingan dengan semua elemen rakyat. Politik inklusif memberdayakan rakyat dengan memberi kesempatan menyatakan pendapat untuk memberi masukan.
Tak membedakan siapa pun dan apa pun profesinya, politik inklusif memberikan inspirasi melampaui batas (beyond the limit) demarkasi kultural dan struktural. Biasanya seorang penguasa enggan menyapa dan mengakrabkan diri dengan rakyat.Tetapi tipe pemimpin dengan pola politik inklusif akan senantiasa terbuka terhadap siapa pun dan selalu berorientasi solutif terhadap perbedaan.
Di sisi lain, terwujudnya rivalitas produktif.Memaknai kontestasi politik sebagai bagian dari sebuah proses demokrasi yang, baik menang maupun kalah,harus diterima secara sportif.Rivalitas produktif mendorong pemenang menghargai yangkalahdanmengajaknya bekerja bersama dalam agenda ke depan.
Sebaliknya,yang kalah akan menerima apa pun hasilnya,sembari mengakui supremasi pemenangnya.Di titik ini,tidak ada politik balas dendam maupun politik balas jasa. Sebaliknya, politik kerukunan dan kebersamaan sebagai bentuk kedewasaan berdemokrasi. Memang tidak mudah membangun demokrasi bangsa ini.
Apalagi demokrasi negeri transisi di tengah kronisnya permasalahan.Memang tidak mudah menjadi pemimpin yang mengayomi dalam masyarakat yang plural.Semua pihak bertanggung jawab mengemban misi politik inklusif,khususnya di domain style of leadership.
Para elite politik, calon negarawan dan rakyat dituntut saling percaya. Pada 8 Juli nanti,elite berkontes di medium politik secara adil dan rakyat yang menentukan pilihan siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden. Apa pun hasilnya dan siapa pun yang menang, semua pihak harus saling menghargai. Kita butuh pemimpin,bukan penguasa! (*)
Dr Ali Masykur Musa
Anggota FPKB DPR,
Ketua Umum Alumni
Universitas Jember
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/233991/
Kesantunan Politik
Written By gusdurian on Rabu, 29 April 2009 | 11.38
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar