Pemilu sebagai (De)Stimulasi Ekonomi
Oleh Dr Andi Irawan Ekonom Universitas Bengkulu
Semakin besar biaya dan investasi politik uang dalam pemilu dan pilpres, maka berkonsekuensi pada semakin besar hadirnya pemilu sebagai destimulus ekonomi kita dalam 3-5 tahun ke depan.
B ANYAK pihak yang berpendapat bahwa anggaran yang dikeluarkan me lalui pesta demokrasi tahun ini berman faat positif sebagai stimulus ekonomi. Betapa tidak, dana yang bergulir pada Pemilu 2009 diperkirakan mencapai Rp29-30 triliun. Dana tersebut berupa government spending yang berasal dari APBN (13,5 triliun) dan sumbangan pemerintah daerah seluruh Indonesia (APBD) untuk pembiayaan pemilu sekitar Rp1-2 triliun. Sisanya merupakan political spending yang dikeluarkan peserta pemilu untuk kampanye para calon anggota DPR/DPRD, DPD, dan calon presiden sebesar Rp14-15 triliun.
Saya rasa kita bisa maklum terhadap analisis yang menyatakan bahwa pemilu merupakan stimulus ekonomi. Karena, memang demiki anlah kalau kita melihat dalam perspektif myopic dengan range dampak sepanjang 2009 ini saja. Hal itu karena belanja pemilu berdampak pada bergeraknya kegiatan-kegiatan ekonomi berikut. Pertama, menciptakan pelu ang bisnis dunia usaha. Usaha dan kegiatan ekonomi yang mendapatkan spillover positif dari pemilu ini adalah. 1. Bisnis media kampanye dan perleng kapannya (banner, brosur, jasa boga, dan lain-lain), serta biro konsultasi politik, lembaga survei, rumah produksi, dan televisi. 2. Tekstil dan produk tekstil (TPT).
Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia, dampak tarikan demand dari kegiatan pemilu menyebabkan jumlah order untuk produk TPT pada tahun ini bisa menembus angka Rp5 triliun. Omzet yang besar tersebut karena kontribusi dari banjirnya pesanan industri tekstil untuk pembuatan kaus, dan spanduk. 3. Sektor transportasi dan perhotelan. Pelaksanaan pemilu menyebabkan keper gian banyak orang menjadi lebih sering untuk kepentingan kampanye. Sektor perhotelan juga mendapat imbas positif karena banyak orang atau calon legislatif yang lebih sering melakukan pertemuan di hotel.
Kedua, di sisi lain, pengeluaran pemilu ini juga berperan langsung meningkatkan konsumsi langsung masyarakat melalui politik uang. Karena, disinyalir 50-60% pemilih masih rentan terhadap politik uang. Masih banyak pemilih yang cenderung memilih peserta pemilu yang bisa menunjukkan posisi sebagai yang paling 'dermawan' sejak awal kampanye sampai pada detik-detik terakhir sebelum masuk bilik suara dengan cara bagi uang secara langsung, sembako, dan lain-lain.
Namun, ketika dampak ekonomi itu kita buat range waktu yang cukup panjang, sekitar 3-5 tahun bahkan lebih, kesimpulan kita akan berubah 180 derajat. Dengan melihat dam pak pemilu terhadap ekonomi kita setidaknya dalam 3-5 tahun ke depan, pemilu sesungguhnya berperan sebagai destimulus ekonomi, mengapa? Anggaran yang di keluarkan itu, baik yang berasal dari kantung pribadi maupun dari para sponsor bagi peserta pemilu menjadi biaya investasi yang tentu saja tidak dikeluarkan sebagai aktivitas philantropi entitas politik atau politisi tersebut. Biaya in vestasi harus bisa kembali bukan hanya sekadar balik modal, tetapi tentu saja termasuk dengan return dan profitnya.
Hal itulah yang kemudian menimbulkan aktivitas rent seeking selama lebih kurang 5 tahun ke depan, yakni sepanjang masa kerja para politisi tersebut sebagai pejabat publik dalam rangka mengembalikan modal dan mendapatkan keuntungan dari investasi politik yang ditanamnya di pasar politik. Ada beberapa cara yang dilakukan untuk itu, yaitu dengan menerima fee dan upeti dari setiap pihak yang menjadi mitra usaha pemerintah dalam menjalankan proyek pembangunan yang didanai APBD. APBD secara langsung melakukan markup pada proyek pengadaan (procurements), mengakali APBD (tapping the treasury), menjual pengaruh politik (sale of political influence) kepada politisi, birokrat, atau pengusaha, dan memperdagangkan pelayanan publik (sale of public services).
Artinya, semakin besar biaya dan investasi politik uang dalam pemilu dan pilpres, maka berkonsekuensi pada semakin besar hadirnya pemilu sebagai destimulus ekonomi kita dalam 3-5 tahun ke depan. Kalau perilaku ini tidak bisa diminimal kan, demokrasi menjadi kehilang an relevansi untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
Untuk itu memang harus ada solusi meminimalkan tingginya biaya pemilu ini dengan cara. Pertama, harus ada langkah-langkah yang berke lanjutan dan terprogram, baik dari pemerintah, par tai politik maupun entitas masyarakat madani untuk mengubah preferensi politik rakyat sebagai pemilik vote dalam rangka menghilangkan permisivitas mereka t e rh a d a p ' p o l i t i k uang'.
Kedua, untuk meminimalisasi proses kontraktual dan transaksi politik yang tidak sehat antara peserta pemilu dengan sponsor dan penyandang dana, ke depan perlu perluasan audit dan investigasi dana pemilu yang tidak hanya ditujukan kepada dana yang diterima parpol secara kelembagaan, tetapi juga kepada pengurus/ fungsionaris dan para calon anggota legislatif secara individual.
Ketiga, menyatukan jadwal penyelenggaraan pemilu dan pilpres agar biaya politik yang dikeluarkan parpol dan peserta politik menjadi bisa ditekan pula. Turunnya biaya politik akan mengurangi perilaku rent seeking dari para pejabat publik yang terpilih melalui pesta demokrasi tersebut.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/10/ArticleHtmls/10_04_2009_006_002.shtml?Mode=1
Pemilu sebagai (De)Stimulasi Ekonomi
Written By gusdurian on Sabtu, 11 April 2009 | 13.18
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar