BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menanti Keampuhan Pilot Project

Menanti Keampuhan Pilot Project

Written By gusdurian on Selasa, 14 April 2009 | 11.51

Menanti Keampuhan Pilot Project
Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Pajak sepakat mempercepat penyidikan kasus penggelapan pajak PT Asian Agri. Dua kasus dijadikan pilot project.
GELAR perkara itu berakhir menjelang magrib. Selama tiga jam, Jumat pekan lalu, tim dari Departemen Keuangan dan Kejaksaan Agung bertemu di gedung Kejaksaan Agung. Mereka membahas ”posisi hukum” sepuluh tersangka perkara manipulasi pajak PT Asian Agri yang diduga merugikan negara Rp 1,4 triliun.
Rencana ekspose perkara penggelapan pajak superjumbo itu sebelumnya sempat tertunda beberapa kali. Dalam pertemuan tertutup pekan lalu itu hadir, antara lain, Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia Nasution, anggota staf ahli Menteri Keuangan, Marsillam Simandjuntak, Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution, Direktur Intelijen dan Penyidikan Pajak Tjiptardjo, Kepala Subdirektorat Penyidikan Pajak Pontas Pane, serta sejumlah penyidik pajak.
Dari Kejaksaan Agung, selain Jaksa Agung Hendarman Supandji, hadir petinggi seperti Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga, Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, serta sejumlah jaksa prapenuntutan. Total jumlah keseluruhannya 20-an orang. Kepada Tempo, Marwan Effendy mengaku diminta hadir oleh Jaksa Agung. ”Untuk melihat apakah dalam kasus penggelapan pajak PT Asian Agri itu terdapat unsur korupsinya,” katanya.
Seusai gelar perkara, didampingi Darmin Nasution, Hendarman menggelar jumpa pers. Menurut Hendarman, hasil ekspose telah menyepakati penyidikan perkara Asian Agri dipercepat. Kedua lembaga itu telah memilih dua dari sepuluh tersangka yang akan dijadikan crash program atau program percepatan. ”Sudah ada persepsi yang sama,” kata Hendarman.
Persepsi yang sama itu menyangkut soal unsur-unsur pasal yang disangkakan. Direktorat Jenderal Pajak membidik para tersangka dengan Pasal 39 ayat 1 huruf c jo Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Pasal ini menyatakan siapa yang menyampaikan surat pemberitahuan pajak yang tidak benar sehingga merugikan negara bisa dipenjarakan hingga enam tahun dan didenda hingga empat kali jumlah pajak yang tidak dibayar.
Pembahasan soal unsur ini berlangsung alot. Itu lantaran mereka harus satu paham dulu perihal unsur ”setiap orang”, unsur ”dengan sengaja”, unsur ”menyampaikan surat pemberitahuan atau keterangan yang isinya tidak benar”, serta unsur ”dapat merugikan keuangan negara”. ”Akhirnya kami menyepakati pembuktian berdasarkan konstruksi penuntut umum,” kata Hendarman. Dua kasus disepakati ditindaklanjuti dalam waktu satu bulan.
Pertemuan yang terjadi di ruang rapat Gedung Utama Kejaksaan Agung itu diawali dengan pemaparan tim penyidik Direktorat Pajak atas perkembangan penyidikan kasus penggelapan pajak oleh sejumlah perusahaan di Asian Agri. ”Termasuk memaparkan posisi hukum sepuluh tersangka yang telah disidik itu,” ujar sumber Tempo di Kejaksaan.
Setelah pemaparan selama sekitar setengah jam itu, kedua pihak saling mengutarakan ”ganjalan” yang selama ini terjadi dalam menangani kasus kakap tersebut. ”Delegasi” Direktorat Pajak, misalnya, menyampaikan unek-unek mereka dalam memenuhi sejumlah ”petunjuk”. Misalnya yang terkait dengan penghitungan kerugian negara. Menurut Direktorat Pajak, angka-angka itu baru akan dibeberkan di pengadilan. Namun pihak jaksa tidak sepakat, ”Karena kami harus yakin dulu dengan fakta hukum yang ada,” ujar sumber itu.
Pihak Kejaksaan juga mengkritik Direktorat Pajak tentang pemaparan ekspose yang mestinya jelas, runtut, dan mudah dimengerti. Tapi, menurut sejumlah jaksa, isi berkas perkara itu tidak membeberkan fakta-fakta tersebut.
Menurut sumber Tempo, melihat gelagat diskusi yang bisa jadi makin panas, Abdul Hakim Ritonga menengahi dan meminta kedua belah pihak berfokus pada tugas dan kewenangan masing-masing. ”Tugas jaksa memberikan petunjuk, dan tugas penyidik melengkapi petunjuk itu,” kata sumber itu mengutip perkataan Ritonga.
Marwan Effendy lantas melontarkan usul. Menurut dia, perkara Asian Agri tidak bisa diselesaikan sekaligus untuk sepuluh tersangka dalam waktu dekat. ”Harus ada prioritas,” katanya. Prioritasnya pada perkara yang bisa cepat selesai. Akhirnya rapat yang ditemani camilan kue dan air mineral itu memutuskan penyidikan dua tersangka dari sepuluh tersangka disegerakan.
Siapa dua tersangka itu, baik Hendarman maupun Ritonga memilih tidak membeberkannya. ”Saya tidak bisa bilang,” ujar Ritonga saat ditemui di kantornya sehari setelah pertemuan tersebut. Yang pasti, kata Ritonga, dua tersangka itu adalah direktur dari dua perusahaan kelompok Asian Agri, anak perusahaan grup PT Raja Garuda Mas, perusahaan yang dimiliki taipan Sukanto Tanoto.
Dua nama itu bisa jadi ada di antara daftar delapan nama yang dicekal Direktorat Imigrasi terkait dengan kasus pajak ini. Mereka adalah Tio Bio Kok alias Kevin Tio (Direktur Asian Agri Group), Willihar Tamba, Laksamana Adiyaksa, dan Semion Tarigan (ketiganya karyawan Asian Agri Group), Suwir Laut alias Liu Che (Corporate Affairs), Eddy Lukas (Direktur Asian Agri), Andrian (Direktur PT Tunggal Yunus Estate dan PT Mitra Unggul Pusaka), serta Lee Boon Heng (General Advisor Asian Agri), yang berkebangsaan Malaysia.
Kejaksaan dan Direktorat Pajak sepakat memilih dua tersangka itu karena keduanya hanya bertanggung jawab pada satu perusahaan. ”Beberapa tersangka lain memegang tiga hingga empat perusahaan,” kata Hendarman. Dengan kesepakatan ini, tidak akan ada lagi bolak-balik berkas perkara antara Direktorat Pajak dan Kejaksaan. Mereka akan menyelesaikan berkas itu bersama-sama. ”Harapan kita bisa langsung P-21,” ujarnya.
Sebelumnya, berkas pemeriksaan kasus Asian Agri ini selalu bolak-balik Direktorat-Kejaksaan. Selalu ada saja yang kurang di mata Kejaksaan. Menurut sumber Tempo, ini tak pelak membuat hubungan kedua lembaga kurang harmonis. ”Karena ada saling curiga,” ujar sumber tersebut.
Ritonga mengakui memang ada persepsi yang berbeda di antara kedua belah pihak. Pada beberapa hal, misalnya, Direktorat Pajak menganggap berkas tersebut telah cukup bukti, sementara bagi Kejaksaan belum. ”Ini yang istilahnya sampai lebaran monyet enggak bakalan ketemu,” katanya.
Soal kerugian negara, Direktorat Pajak hanya menyebut kerugian Rp 1,4 triliun. Padahal angka itu, menurut Ritonga, adalah hitungan global atau kerugian oleh Asian Agri sebagai grup. Sedangkan di bawah Asian Agri masih ada perusahaan-perusahaan lain. ”Harusnya mereka mengurai kerugian itu berdasarkan orang per orang ini,” katanya.
Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Mochammad Tjiptardjo memastikan timnya siap bekerja sama dengan Kejaksaan. Pihaknya juga akan menindaklanjuti dua berkas yang disepakati hingga keluarnya surat dakwaan. ”Sembari bekerja sama dengan Kejaksaan, tim juga akan melengkapi 19 berkas lain,” katanya.
Yan Apul, pengacara Asian Agri, tak memandang kesepakatan Kejaksaan dan Direktorat Pajak memprioritaskan penyidikan pada dua tersangka itu sebagai ”kemajuan”. Di mata Yan, ini justru bukti pemeriksaan yang dilakukan Direktorat Pajak kurang berhasil. ”Kalau berhasil, mestinya 21 berkas itu yang diserahkan, bukan cuma pilot project,” katanya.
Menurut Yan, Asian Agri masih berkeinginan kasus pajak itu diselesaikan melalui jalur perdata atau jalur normal. ”Kalau sekarang, sudah melalui jalur ekstra, melalui pidana,” ujarnya. Yan mengatakan Direktorat Pajak memang memilih penyelesaian pidana. Asian Agri, ujarnya, juga sudah tiga kali menulis surat ke Direktorat Pajak meminta surat ketetapan kekurangan pajak yang harus dibayarkan. ”Hanya, surat itu tidak pernah dibalas.”
Gelar perkara yang pertama kali dihadiri Jaksa Agung ini juga tak membicarakan keterlibatan pemilik Asian Agri, Sukanto Tanoto. ”Itu nanti, belum sampai ke situ,” ujar Hendarman saat ditanyai wartawan.
Soal pemanggilan Sukanto, Yan menilai tak ada relevansinya. Menurut dia, nama Sukanto tidak ada dalam daftar perusahaan itu. Pernyataan Yan ini bertolak belakang dengan akta pendirian perusahaan-perusahaan di bawah Asian Agri.
Dalam akta pendirian PT Asianagro Abadi, misalnya, tercatat Sukanto Tanoto—pengusaha Asia terkaya 2006 versi majalah Forbes—sebagai salah satu pemiliknya. Demikian juga dengan akta pendirian PT Tunggal Yunus Estate, PT Hari Sawit Jaya, dan PT Inti Indosawit Subur, sebagian perusahaan di bawah PT Asian Agri, yang diduga melakukan manipulasi pajak. Sukanto tercatat sebagai pemiliknya.
Ramidi, Rini Kustiani, Agoeng Wijaya
Dugaan Awal Manipulasi
Berdiri sejak 1979, Asian Agri adalah subgrup bisnis PT Raja Garuda Mas, perusahaan yang dimiliki Sukanto Tanoto. Perusahaan ini bergerak pada produksi serta pengolahan kelapa sawit, karet, dan kakao. Menguasai 150 ribu hektare kebun kelapa sawit yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan, Asian Agri memiliki belasan anak perusahaan, seperti PT Dasa Anugerah Sejati, PT Asianagro Agungjaya, dan PT Asianagri Hilir.
Rp 1,5 triliun
Penggelembungan biaya
Rp 232 miliar
Kerugian ekspor fiktif
Rp 889 miliar
Manipulasi penjualan
Rp 2,62 triliun
Total manipulasi
Rp 786 miliar
Total kerugian negara
Jejak Kasus Asian Agri
Desember 2006
Vincentius A. Sutanto menyerahkan data dugaan manipulasi pajak Asian Agri ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
16 Januari 2007
Tim Pajak menggerebek kantor Asian Agri di Medan dan Jakarta. Dokumen raib.
14 Mei 2007
Direktorat Jenderal Pajak menemukan bukti awal pidana pajak. Kerugian negara Rp 786 miliar. Lima anggota direksi jadi tersangka. Tim Pajak menemukan 1.133 dus dokumen Asian Agri di pertokoan Duta Merlin, Jakarta.
25 September 2007
Direktorat Jenderal Pajak mengumumkan temuan bukti-bukti asli. Kerugian negara menjadi Rp 794 miliar. Mulai dilakukan pemanggilan tersangka.
7 Januari 2008
Sukanto Tanoto mengirim surat ke Presiden meminta perlindungan.
25 April 2008
Tim Pajak menetapkan 12 tersangka dan mengirim tujuh berkas pemeriksaan ke Kejaksaan. Total kerugian negara menjadi Rp 1,3 triliun.
Mei 2008
Kejaksaan mengembalikan berkas perkara ke Direktorat Jenderal Pajak. Alasannya: harus diperjelas soal pembuktian kerugian negara.
12 Juni 2008
Asian Agri mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Jakarta Selatan atas penyitaan yang dianggap tidak sah.
1 Juli 2008
Pengadilan Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Asian Agri, menilai penyitaan tidak sah.
16 September 2008
Direktorat Jenderal Pajak menyita ulang sebanyak tujuh truk dokumen Asian Agri.
Oktober 2008
Tim Pajak kembali menyerahkan 14 berkas pemeriksaan, termasuk tujuh berkas hasil revisi, ke Kejaksaan.
November 2008-Januari 2009
Bolak-balik berkas dari Direktorat Jenderal Pajak ke Kejaksaan.
8 Januari 2009
Direktorat Jenderal Pajak memperpanjang masa cegah-tangkal terhadap delapan pengelola perusahaan Grup Asian Agri.
Maret 2009
Kejaksaan mengembalikan 14 berkas hasil pemeriksaan ke tim Pajak.
3 April 2009
Kejaksaan Agung, Departemen Keuangan, dan Direktorat Jenderal Pajak melakukan gelar perkara. Disepakati akan berkonsentrasi pada penyelesaian dua berkas tersangka.
Ramidi (Sumber: Riset, Departemen Keuangan)
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/04/13/HK/mbm.20090413.HK130034.id.html
Share this article :

0 komentar: