Memutus Siklus Perkabungan Massal
Khudori
Pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian
Tragedi Situ Gintung di Cireundeu, Ciputat, Tangerang, Banten, telah berlalu. Ratusan nyawa melayang dan puluhan korban lainnya hilang. Tidak terhitung kerugian harta benda dan tekanan psikologis yang muncul. Kini, sekian hari berlalu, ironi itu kembali berulang: saling lempar tanggung jawab. Pemerintah pusat menyalahkan pemerintah daerah. Sebaliknya, pemda menuding pemerintah pusatlah sebagai penanggung jawab. Bahkan, untuk menggampangkan masalah, tragedi Situ Gintung dikategorikan bencana alam.
Debat yang tak perlu haruslah dihindari. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan "bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain, berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor". "Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam, antara lain, berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit". Merujuk pada definisi itu, tragedi Situ Gintung tidak masuk kategori bencana alam.
Dalam undang-undang yang sama, bencana didefinisikan "peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis". Merujuk pada definisi itu, dalam konteks tragedi Situ Gintung, ada tiga sebab tanggul ambrol: faktor internal (kondisi tanggul), faktor eksternal (karena bencana lain, seperti gempa bumi, gunung meletus, angin topan, dan tanah longsor), dan faktor manusia (pembangunan sekitar tanggul, alih fungsi lahan, pembabatan hutan, dan yang lain).
Situ Gintung ambrol bukan oleh faktor tunggal. Dari sisi usia, Situ Gintung amat renta. Umurnya 76 tahun. Situ warisan pemerintah kolonial Belanda tersebut nyaris tanpa perawatan memadai, sehingga fungsinya terus menurun dari waktu ke waktu. Luas situ yang semula 31 hektare, karena sedimentasi atau pendangkalan kini tinggal 21,4 hektare. Saluran air yang semula 5-7 meter, karena marak berdiri permukiman, tinggal satu meter. Semula situ dibangun untuk persediaan air, perikanan, dan pengendalian banjir. Selama zaman Belanda, Situ Gintung baik-baik saja karena dirawat dan dimonitor terus-menerus.
Konyolnya manusia lebih suka menyalahkan hujan (faktor eksternal) sebagai penyebab situ jebol. Penyebab versi ini, antara lain, diyakini Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Pitoyo Subandrio. Hujan di kawasan Situ Gintung pada 27 Maret 2009 (113,2 milimeter per hari), saat situ jebol, memang tertinggi di kawasan sekitarnya. Tapi curah hujan ini jauh lebih kecil ketimbang hujan pada 10 Februari 1996 (180 mm per hari), atau kurang dari separuh dari hujan pada 1 Februari 1997 (275-300 mm per hari). Tapi saat itu Situ Gintung aman-aman saja. Artinya, seperti diyakini Kepala Bidang Mitigasi Bencana BPPT Sutopo Purwo Nugroho, ada faktor lain--selain curah hujan--yang membuat situ jebol. Hujan hanyalah pemicu.
Hujan tak layak disalahkan. Justru tangan manusialah yang suka mengeksploitasi alam mendorong bunuh diri lingkungan (ecological suicide). Pada zaman Belanda sudah ada larangan dalam radius 1 kilometer tak boleh ada bangunan atau rumah. Tapi, dalam 30 tahun terakhir, kian banyak rumah dibangun di sekitar Situ Gintung. Bangunan rumah-rumah mewah bahkan menempel di badan situ. Laporan utama Tempo (12 April 2009) dan serial tulisan Koran Tempo (2-11 April 2009) telah memotret kondisi riil di Situ Gintung: tanah dikaveling-kaveling dan digunting-gunting hingga luas situ menciut. Ini membuat beban yang disangga situ semakin berat. Saat air hujan melimpah, hanya soal waktu situ jebol.
Kesalahan tidak hanya pantas diarahkan kepada manusia yang membangun rumah di sekitar situ. Pemerintah dan instansi yang berwenang memberi izin pendirian bangunan juga punya andil besar dalam jebolnya situ. Kalau pemerintah Belanda bisa melarang, mengapa pemerintah sekarang justru lembek? Hutan di hulu situ yang gundul membuat air hujan menjadi air larian (run off). Air hujan langsung masuk ke sungai dan Situ Gintung. Keseimbangan alam terganggu akibat ulah manusia pembabat hutan.
Tragedi Situ Gintung harus jadi momentum untuk memutus siklus perkabungan massal akibat bencana. Sebagai wilayah yang terletak di lintasan ring of fire, Indonesia identik dengan bencana. Bencana, kecuali gempa dan angin topan, tidak terjadi tiba-tiba. Bencana, seperti banjir dan tanah longsor, seperti kasus Situ Gintung, selalu diawali oleh tanda-tanda sebelumnya. Banyak yang percaya salah satu tanda Situ Gintung akan jebol adalah adanya erosi buluh (piping). Perkembangan pengetahuan dan teknologi sangat memungkinkan manusia untuk melakukan mitigasi dalam bentuk antisipasi dan prevensi.
Dari sisi perangkat lunak, sebenarnya siklus perkabungan massal akibat bencana bisa dicegah. Indonesia setidaknya sudah memiliki peta rawan yang relatif lengkap. Peta tanah longsor sudah dikerjakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Peta rawan banjir ada di Departemen Pekerjaan Umum serta Badan Meteorologi dan Geofisika. Peta rawan tsunami juga sudah dibuat. Dari sisi teknologi, ahli-ahli Indonesia sudah cukup menguasai. Bahkan alat-alat deteksi itu telah dibuat oleh anak negeri sendiri. Dari sisi aturan, juga sudah ada UU Nomor 24 Tahun 2007. Pertanyaannya, lalu apa yang kurang? Barangkali political will.
Bila dibandingkan dengan negara-negara maju di Eropa, seperti Prancis, Jerman, Inggris, bahkan Irlandia yang relatif miskin, Indonesia memang jauh tertinggal dalam mitigasi bencana. Di negara-negara itu, sistem peringatan dini tentang banjir, gempa, atau tsunami tertata baik, bahkan dilengkapi peta evakuasi (evacuation plan) dan sosialisasi. Bahkan, untuk meningkatkan tanggung jawab publik, pejabat terkait harus siap mempertanggungjawabkannya di depan tribunal bila terjadi bencana dan menelan korban jiwa. Banjir, misalnya, wilayah yang kena banjir akan divalidasi bersama tim independen, apakah zona pembangunan untuk permukiman ada di luar wilayah rawan banjir dan genangan atau tidak. Hasilnya, pemberian izin bangunan akan ekstrahati-hati karena ada pertanggungjawaban publik bila terjadi banjir, genangan, dan tanah longsor di kemudian hari.
Di Indonesia, pertanggungjawaban publik atas bencana hampir tak ada. Tsunami, banjir, dan longsor yang banyak menelan korban jiwa, harta, dan menimbulkan trauma warga selalu dianggap dan dikategorikan sebagai musibah/bencana alam. Terminologi musibah/bencana alam merujuk pada pengertian sesuatu yang berada di luar jangkauan (baca: kemampuan) manusia. Istilah kerennya force majeure. Akibatnya, tidak ada satu instansi atau pihak atau pejabat pun yang bisa dimintai pertanggungjawaban publik. Tanpa pertanggungjawaban publik, perkabungan massal akibat bencana tak akan berakhir.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/14/Opini/krn.20090414
Memutus Siklus Perkabungan Massal
Written By gusdurian on Selasa, 14 April 2009 | 11.32
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar