Kekerdilan Konstitusionalisme Prosedural
Dilihat dari sudut konstitusionalisme, pemilu bukanlah pesta tata negara, bukan juga pesta politik.Pemilu diharuskan untuk diselenggarakan karena hanya dengan cara itulah kekuasaan rakyat didemonstrasikan secara konkret untuk menemukan sejumlah kecil orang yang, dapat dipercayakan, mewakili mereka mengelola kekuasaan—yang sesuai kodrat politiknya—ada di tangan mereka.
Mereka yang sedikit inilah yang, dalam sistem politik dan pemerintahan apa pun, merupakan pembentuk tatanan. Itu sebabnya pemilu diperlukan dan pelaksanaannya tidak hanya harus didasarkan pada hukum, tetapi juga pada tata krama sosial.Tanpa memadukan kedua nilai itu, maka nilai pemilu tidak lebih dari sekadar sebagai sebuah alat politik yang melahirkan otokrat.
Kalau dilihat sedikit agak rumit dari sejarahnya, maka pemilu didambakan orang pada zamannya dahulu kala karena cara ini menandai pergeseran besar dalam peradaban. Bila sebelumnya menempatkan setiap individu dalam posisi naturalis,pemilu membawanya ke status civilis,atau dalam bahasa yang lain from status to contract— menurut pandangan Rousseau.Sebab itulah pemilu mesti diletakkan sepenuh-penuhnya sebagai sebuah alat yang memuliakan manusia.
Prosedur
Sebagai sebuah prosedur, pemilu sejatinya merupakan persoalan besar karena dua hal. Pertama, apakah prosedur yang merupakan inti dari tatanan berpemilu terbangun secara demokratis atau tidak. Demokratis bukan sekadar menunjuk pada adanya prosedur itu sendiri, melainkan apakah prosedur itu senafas dengan rasa dan persepsi keadilan atau tidak.Kedua, rasa dan persepsi keadilan, kalaupun bukan merupakan jantungnya, soal ini memiliki timbangan yang penting, karena berakar pada “hak”setiap orang.
Sedemikian pentingnya pengakuan dan jaminan terhadap hak setiap orang, akibatnya ilmuwan konstitusionalisme di mana pun akan mengingatkan setiap eksponen yang penyelenggara pemilu, bila tatanan hukum dan politik penyelenggaraannya berseberangan dengan due process of law.
Karena urgensi due process of law itulah yang mengakibatkan Inggris,segera setelah revolusi gemilangnya pada tahun 1688, melembagakan habes corpus act. Keadaban pemilu bukan terletak pada banyaknya rakyat yang ikut serta di dalamnya.Keadabannya terletak pada apakah pemilu itu diselenggarakan secara demokratis atau tidak.
Demokratis atau tidak, sekali lagi, tidak ditentukan oleh banyaknya rakyat yang ikut atau tidak ikut,tetapi pada apakah tatanannya memungkinkan mereka untuk secara bebas menyatakan sikap atau tidak. Sebagai sebuah hak konstitusional, setiap warga negara bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak mereka.
Hal terpenting adalah prosedur, sekali lagi, seperti telah dikemukakan di atas,yang diakui merupakan elemen dasar dari gagasan dan harapan ini, karena hanya dengan cara seperti itulah keadilan— di dalamnya hak setiap individu bertengger—memiliki makna.
Karena itu, prosedur dibangun bukan untuk, apalagi hanya demi, prosedur atau konstitusionalisme itu sendiri. Prosedur diperlukan agar tatanan,apa pun kategorinya, termasuk tatanan berpemilu, memungkinkan hak-hak konstitusional setiap individu diekspresikan secara bebas.
Demi Bangsa
Di sinilah ditemukan dua hal yang selain saling berhubungan juga saling bertentangan. Demi bangsa pemilu mesti dilaksanakan, demi bangsa pula hasil pemilu mesti diterima, betapa pun pelaksanaan pemilu itu sendiri,seperti ramai diwartakan pada saat ini, penuh kekurangan yang kategorinya luar biasa fundamental. Celakanya, tidak mudah bagi siapa pun untuk mengoreksi kekurangan itu.
Bukan karena tidak ada jalan konstitusional untuk tujuan itu, melainkan lebih dari itu. Prosedur koreksi terhadap pemilu penuh dengan restriksi. Perolehan suara, alat bukti dan jangka waktu pengajuan permohonan, serta subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan, yang semuanya merupakan konsekuensi prosedural, merupakan restriksi yang luar biasa berat.
Permohonan subjek hukum hanya akan dikabulkan kalau angka-angka yang dimohonkan untuk dikoreksi, dinilai oleh MK, dapat mengubah komposisi perolehan suara. Bukan sekadar berubah, melainkan berubah dari kalah menjadi menang. Untuk sampai ke level itu diperlukan serangkaian alat bukti.Nilai pembuktian dari alat bukti tersebut tergantung pada otentisitasnya.
Kalau alat bukti, ambil misalnya alat bukti surat,merupakan rumusan yang dilakukan sendiri oleh subjek hukum, pasti ditolak MK. Kalaupun alat bukti yang dimiliki cukup otentik pun,tidak serta-merta permohonan dapat dikabulkan. Hal itu karena masih ada soal lain, yaitu apakah angka-angka tersebut cukup untuk mengubah komposisi perolehan suara dari kalah menjadi menang atau sebaliknya.
Jika tidak,maka sekali lagi,angkaangka itu tidak memiliki nilai apa pun.Masa pengajuan permohonan juga merupakan restriksi lain yang tidak kalah kejamnya. Di situlah letak dilema konstitusionalisme prosedural.Padahal, mungkin saja kekeliruan distribusi suara benar-benar ada.Tetapi tatanan prosedural, karena sifatnya, tidak memungkinkan kekeliruan tersebut dikoreksi.
Belenggu prosedur seperti ini memang menyakitkan karena akan ditandai, bukan saja sebagai salah satu soal yang mengurangi postur penghargaan atas hak-hak konstitusional setiap warga negara, tetapi dapat dibelokkan sedemikian rupa ke arah delegitimasi pemilu. Apalagi harus diakui bahwa tanpa atau kalau bukan karena hak-hak itu tidak akan ada pemilu.
Menariknya, dilema ini, begitulah umumnya, selalu terselesaikan berkat kebesaran jiwa mereka yang tersingkir. Penyikapan Al Gore atas kekalahannya, yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung dalam pemilu Amerika Serikat satu dasawarsa yang lalu,adalah sebuah pelajaran besar. Itulah postur konstitusionalisme prosedural.Ada kebesaran, sekaligus ada pula kekerdilannya.
Kedua hal itu melebur menjadi satu pada saat yang sama. Satu hal yang pasti, konstitusionalisme tidak dipersembahkan kepada siapa yang tersingkir atau siapa yang menang. Konstitusionalisme dipersembahkan kepada bangsa.Hanya orang-orang besar yang membuat sebuah bangsa dapat terus bernafas untuk tetap hidup,dan sekali lagi,hidupnya hanya demi kemuliaan manusia.(*)
Margarito Kamis
Doktor Hukum Tata Negara
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/233988/
Home »
» Kekerdilan Konstitusionalisme Prosedural
Kekerdilan Konstitusionalisme Prosedural
Written By gusdurian on Rabu, 29 April 2009 | 11.39
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar