BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kekalahan Partai Islam pada Pemilu 2009

Kekalahan Partai Islam pada Pemilu 2009

Written By gusdurian on Rabu, 15 April 2009 | 12.13

Kekalahan Partai Islam pada Pemilu 2009
Oleh Yanuar Arifin Pengamat politik pada Center For Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Ketika ideologi agama sudah dibawa masuk oleh partai tertentu ke ranah politik praktis, partai tersebut seakan terbentur oleh karang besar bernama nasionalisme.
'P ARTAI nasionalis berjaya, partai Islam kecewa'. Barangkali ungka pan ini pantas kita lontarkan ke publik setelah melihat perhitungan suara sementara pemilihan umum legislatif tahun 2009. Berdasarkan hitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga pukul 15.20 WIB pada tanggal 12 April, partai berbasis massa nasionalis mendominasi perolehan suara. Secara berurutan adalah Partai Demokrat (20,35%), Golkar (14,30%) dan PDI Perjuangan (14,23%).
Sementara itu sejumlah partai politik dengan basis massa Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bintang Reformasi (PBR), dan Partai Amanat Nasional (PAN), hanya PKS dan PAN yang memperoleh suara signifikan. Perolehan suara kedua partai itu menurut data KPU mencapai 8,48% dan 6,49% suara. Partai berbasis massa Islam lainnya, perolehan suaranya stagnan, bahkan cenderung turun. Penyebabnya tak lain adalah menyeberangnya konstituen partai Islam tersebut ke partai berhaluan nasionalis. Ini dibuktikan dengan hilangnya setengah suara dari pemilih partai Islam PKB di Jatim. Kini Partai Demokratlah yang berjaya di provinsi itu.
Bila diperbandingkan dengan hasil pemilihan umum tahun 2004 lalu, partai-partai Islam memang patut kecewa. Partai berbasis massa Islam seperti PPP dan PKB yang pada Pemilu 2004 lalu mampu mengumpulkan 8,15% dan 10,57% suara, untuk sementara hanya memperoleh 5,19% dan 7,02% suara. Bahkan partai-partai Islam lama seperti PBB dan PBR tidak masuk dalam deretan sepuluh besar. Partai-partai politik itu kalah bersaing dengan partai politik pendatang baru seperti Gerindra dan Hanura.
Kekalahan partai berideologi Islam pada perhelatan pemilihan umum legislatif tahun ini seakan sudah bisa kita prediksi sejak awal. Berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya, seperti tahun 1999 dan 2004, belum ada satu pun partai politik Islam yang mampu mengungguli partai besar dengan basis massa nasionalis. Padahal background masyarakat Indonesia mayoritasnya beragama Islam. Namun dalam dunia politik, latar belakang seperti ini tak dapat berbicara banyak. Ketika ideologi agama sudah dibawa masuk oleh partai tertentu ke ranah politik praktis, partai tersebut seakan terbentur oleh karang besar bernama nasionalisme.
Lantas adakah kesalahan pada partai politik yang gencar mengusung ideologi Islam? Pada satu sisi, partai politik Islam bisa saja dibenarkan dengan alasan ideologi yang dibawanya. Pasalnya, partai-partai tersebut sejatinya mengakomodasi aspirasi dari rakyat yang menjadikan agama Islam sebagai ideologi tunggal. Namun di sisi lainnya, partai tersebut juga berdiri pada tempat yang salah. Haruslah disadari bahwa bangsa Indonesia secara sosiologis merupakan bangsa yang masyarakatnya plural. Karena itu bukan hanya jadi milik umat Islam, melainkan juga milik seluruh rakyat Indonesia dengan latar agama, ras, suku, dan ideologi yang beragam.
Pluralitas adalah sebab mengapa bangsa Indonesia memilih untuk menggunakan sistem politik multipartai. Menurut Hatta, tujuan digunakan sistem multipartai yang ditandai dengan pembentukan partai-partai politik berdasarkan Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945 adalah untuk mengakomodasi kantong-kantong aspirasi seluruh rakyat Indonesia yang plural itu.
Suara umat terpecah Pembentukan partai politik Islam yang tidak peka terhadap realitas sosiologis masyarakat Indonesia tersebut tentu menjadi suatu kesalahan besar. Akibat yang timbul pun sangatlah fatal. Partai-partai politik berideologi Islam itu secara mudah akan tumbang ketika harus berbenturan dengan realitas sosial masyarakat Indonesia. Terlebih, dalam tubuh umat Islam sendiri, jauh sebelum sejumlah partai politik Islam didirikan, dalam perjalanan sejarahnya selalu mengalami dinamika dan gejolak perpecahan.
Maka bagi sejumlah partai politik Islam yang ada seolah menjadi legitimasi dan pembenaran bahwa benih perpecahan umat Islam sejatinya sudah terjadi sejak negeri Indonesia ini didirikan. Faktanya, puluhan bahkan ratusan aliran ajaran Islam tumbuh subur berkembang di negeri ini. Banyaknya jumlah partai politik Islam yang lahir apabila kita cermati adalah representasi dari aliran-aliran ajaran Islam yang jumlahnya juga banyak. Dengan demikian, suara umat Islam pun sesungguhnya tidak satu, tapi terpecah amat banyak. Keterpecahan suara ini tentu menjadi suatu kesalahan yang semakin melemahkan kekuatan partai-partai Islam yang ada.
Kesalahan lainnya yang menyebabkan partai Islam selalu kalah adalah karakter gerakan yang ditampilkannya. Ambillah misal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai Islam dengan basis massa Islam terbesar pada saat sekarang. Karakter keras dan cenderung formalistis dalam memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar ideologi negara Indonesia tentu saja akan bertubrukan dengan Pancasila yang menjadi ideologi bangsa Indonesia.
Hasrat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam juga tidak ketemu dengan asas nation state yang memayungi keragaman agama di negeri ini. Pendek kata, perjuangan umat Islam yang bercirikan gerakan ideologis-formalistis ini sebagaimana dikatakan M Imdadun Rahmat hanya akan membuat hubungan antara Islam dan pihak-pihak pendukung paham kebangsaan menjadi tidak harmonis. Ketidakharmonisan ini pada ujungnya bisa membuat partai Islam yang ada tersingkir karena selalu dianggap sebagai ancaman bagi partai-partai berhaluan nasionalis.
Berbagai kesalahan fundamental di atas harusnya mulai diperhatikan oleh para elite parpol berideologi Islam. Pelbagai upaya perbaikan harus segera diambil oleh pengurus partai untuk membesarkan partainya. Kalau perlu, partai politik Islam itu menjalin koalisi yang kuat sejak sekarang agar kekuatannya kembali diperhitungkan partai nasionalis. Kekalahan yang dialami seyogianya harus diterima dengan lapang dada. Kekecewaan tak harus dilampiaskan dengan perilaku anarkistis yang justru bakal merusak tatanan negara.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/15/ArticleHtmls/15_04_2009_022_003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: