BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Golput, Koalisi, dan Oposisi

Golput, Koalisi, dan Oposisi

Written By gusdurian on Rabu, 15 April 2009 | 12.14

Golput, Koalisi, dan Oposisi
Oleh Ichsanuddin Noorsy Mantan Anggota DPR


S ETUJU atau tidak setuju pada kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU), bangsa Indonesia dipaksa menerima kenyataan bahwa buruk rekrutmen akan berbuah buruknya output. Betapa tidak KPUD DKI saja mengakui bahwa karena persoalan administrasi, golongan putih (golput) diduga akan mencapai 40%, sedangkan berbagai pihak menduga sekitar 30%. Saya sendiri belajar dari pilkada di berbagai daerah, baik tingkat I maupun tingkat II dan program uji kandidat sudah sejak awal menyebutkan golput akan berkisar 30%-35%. Tulisan ini akan membahas hal itu, yang kemudian masuk ke kajian koalisi dan oposisi.
Persoalan golput sebenarnya tidak luar biasa. Hampir tidak ada pemilu yang dii kuti 100% pemilih. Di Indonesia golput pada Pemilu 1955 mencapai 12,34%, sedangkan golput pada era Orde Baru digagas oleh Arief Budiman dengan alasan tidak ada partai yang mewakili. Pada Pemilu 1999, jum lah golput sekitar 10,21%. Angka ini meningkat menjadi 23,34% pada Pemilu Legislatif 2004. Pada Pilpres 2004 putaran pertama golput sebesar 21,5% dan pada putaran kedua mencapai angka 23,32%. Pada pilkada di berbagai daerah, rata-rata angka golput lebih dari 30%. Di Jawa Tengah bahkan mencapai 45%.
Di lihat latar belakangnya, golput mempunyai latar belakang lima hal. Pertama, karena persoalan ad ministratif. Pemilih sebenarnya punya minat untuk menggunakan hak suaranya, tetapi tidak terdaftar. Jika melihat kinerja KPU, besar kemungkinan jumlah golput pada kelompok ini cukup signifikan. Kedua, teknis sebagai suara tidak sah. Sebetulnya pemilih termasuk warga negara yang menggunakan hak suaranya. Tapi karena hal teknis seperti kesalahan dalam mencontreng membuatnya menjadi tidak punya suara karena pemilihannya dibatalkan. Pada kelompok termasuk orang yang terpaksa tidak memilih karena kesibukannya. Sering kali orang yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya atau sulitnya memperoleh formulir C-4, yakni pindah tempat pemungutan suara. Ketiga, karena alasan psikologis dan pragmatis. Yang saya maksud dengan alasan psikologis adalah karena tidak puas dengan kinerja partai atau jenuh dengan iklim politik yang berkembang. Bisa juga karena merasa suaranya tidak memberi manfaat. Sementara alasan pragmatis karena malas atau tidak tertarik, bahkan apolitis. Alasan keempat adalah politis. Kelompok ini tidak menggunakan hak pilihnya sebagai wujud protes. Penyebabnya antara lain, karena tingkat kepercayaannya yang rendah terhadap parpol, penyelenggara negara, atau karena kesulitan hidup yang dialaminya dalam periode sebelumnya. Umumnya pemilih seperti ini berada di daerah perkotaan. Kelima alasan ideologis, yakni perbedaan nilai dan sistem yang dia nut pemilih dengan nilai dan sistem pemilu.
Belajar dari pengalaman, kelima alasan itu mengerucut ke bawah. Artinya alasan pertama mencapai jumlah yang besar dan makin mengecil ke alasan kelima. Dari kelima alasan itu, berbagai referensi menunjukkan bahwa membesarnya golput pada alasan ketiga sampai kelima berhubungan erat dengan koalisi dan oposisi suatu pemerintahan, termasuk bobot dan alasan koalisi dan oposisi. Maksudnya, selama koalisinya berlatar belakang psikologis dan pragmatis, maka koalisi lebih bertumpu pada kepentingan parpol dan petingginya. Pada konteks ini aspirasi masyarakat sekadar dihimpun, tapi belum tentu dilaksanakan. Biasanya pemerintahan seperti ini menggunakan berpenampilan yuridis formal, dan hampir tidak punya terobosan bagi optimalnya tujuan bernegara. Demikian juga dengan oposisinya. Sikap oposisi sekadar digunakan untuk mencapai kepentingan sesaat, bahkan untuk kepentingan diri atau kelompok tertentu.
Pada alasan keempat, koalisi dan oposisi berjalan sesuai dengan pemahaman kekuasaan secara sosiologis. Yang bergabung dilatarbelakangi memenuhi aspirasi dan janji politik dan yang beroposisi juga sama. Tapi selama para petinggi politik, para kadernya yang duduk di DPR serta yang duduk di eksekutif tidak mem punyai pendidikan dan pengalaman politik yang mumpuni, koalisi dan oposisi kelompok ini hampir di pastikan menurun menjadi sekadar ke pentingan pragmatis.
Bahkan cen derung oportunis, apalagi jika melihat besarnya biaya politik yang dikeluarkan partai dan para caleg.
Koalisi dan oposisi dengan alasan ideologis m e ru p a k a n p e n g e lompokan politik tersen diri. Setiap pihak memiliki sikap militansi. Contoh yang nyaris mendekati alasan ini adalah pertarungan antara Partai Demokrat dan Partai Repub lik di AS. Sejak Obama bersaing melawan McCain hingga tiga bulan Obama menjalankan pemerintahan nya, Partai Republik terus mengambil jarak. Ini tampak dari masalah dana ta langan US$700 miliar hingga ke stimulus fiskal US$787 miliar.
Perkembangan oposisi Di Indonesia tidaklah demikian. Pada era sistem Parlementer, jatuh bangun kabinet masuk dalam kategori koalisi dan oposisi keempat dan kelima. Di era Orde Baru, oposisi tidak ada walau penyederhanaan partai merupakan wujud koalisi. Oposisi terjadi di jalanan dan makin meningkat sejak orang menyadari bahwa tiga kekuatan sosial politik (PPP, Golkar, dan PDI) sebenarnya sandiwara satu kekuatan politik.
Kesadaran ini muncul pada Pemilu 1987 sebagaimana disuarakan harian Prioritas yang kemudian dibredel. Karena alasan seperti inilah era Soeharto acap kali disebut rezim diktator. Di akhir masa jabatan Soeharto, baru terdengar suara DPR menyampaikan catatan khusus atas APBN yang diajukan pemerintah. Suara itu sayup-sayup karena ABRI memahami pemberian catatan khusus itu sebagai mosi tidak percaya kepada pemerintahan. Di era BJ Habibie, catatan khusus atas APBN muncul lagi. Baik pada masa akhir jabatan Soeharto maupun di era BJ Habibie, adanya catatan khusus atas APBN itu merupakan bentuk oposisi keempat walaupun hanya dilakukan oleh seorang anggota DPR saat itu.
Pemilu 2004 kemarin menghasilkan koalisi dan oposisi. Di DPR terbentuk koalisi kebangsaan dan kerakyatan. PKS, PAN, PPP, PD, dan fraksi kecil membentuk koalisi kerakyatan, sedangkan yang memperoleh jabatan pada pimpinan DPR membentuk koalisi kebangsaan. Koalisi ini kandas hanya karena mereka berebut kursi. Dalam perkembangan lebih lanjut, koalisi terjadi di Kabinet Indonesia Bersatu karena nyaris semua parpol yang berada di dewan memperoleh jabatan menteri, kecuali PDIP yang menjadi oposisi setengah hati, yaitu oposisi psikologis dan pragmatis. Lihat saja berbagai kebijakan yang mestinya diberikan catatan khusus, justru disetujui Fraksi PDIP tanpa upaya membangun investasi politik.
Pada Pemilu 2009 justru akan berbeda. Jika Golkar menjaga martabatnya dan tidak mengikuti kebiasaan pragmatisnya, koalisi golden triangle ditambah Gerindra dan Hanura akan menjadi oposisi klasifikasi keempat, bahkan kelima. Asumsinya adalah utuh dan kuatnya modal semangat juang ABS (asal bukan SBY), ditambah percaya diri untuk bersaing dengan SBY yang membangun koalisi dengan PKS, PAN dan PKB sebagai golden bridge serta mungkin dengan partai-partai guram. Kalau kita ingin sehat berpolitik dalam basis persaingan dan kerja sama, kondisi ini patut dipertimbangkan hingga 2014. Ada alasan ideologis untuk hal ini, yakni siapa sebenarnya yang paling setia dengan konstitusi dan paling mencintai rakyatnya sendiri.
Bersamaan dengan itu, media massa pun bersikap independen dengan wujud memberi ruang bagi oposisi lainnya yang muncul dari LSM atau akademisi. Tanpa hal itu, kita sebenarnya sedang menjalankan demokrasi basa-basi, yakni demokrasi yang cacat prosesnya, rendah efektivitasnya dan lebih digerakkan kekuatan korporasi. Mudah-mudahan biaya mahal demokrasi dan cangkokan ini menjadi cambuk kepada kita untuk lebih menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaulat.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/15/ArticleHtmls/15_04_2009_022_002.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: