BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Rakyat Lebih Frustrasi daripada Caleg

Rakyat Lebih Frustrasi daripada Caleg

Written By gusdurian on Rabu, 15 April 2009 | 11.46

Rakyat Lebih Frustrasi daripada Caleg
Oleh A. Fatichuddin *

MENARIK menyimak tulisan Djoko Susilo (JP, 13/4): ''Dukungan Senilai Sebungkus Rokok.'' Dari satu sisi, sekilas bisa dimaknai bahwa rakyat tak memiliki konsistensi positif, bahkan cenderung tak bermoral.

Rakyat tak mengerti mekanisme politik dan kiprah politisi. Rakyat lantas menjadi bodoh, tak mau diajak baik, terbukti mau memilih hanya karena sebungkus rokok.

Sayang, banyak caleg yang kurang memahami kondisi rakyat sekarang. Kalau Djoko (dalam konteks ini saya melihat Djoko sebagai politisi dan legislatif, bukan sebagai pribadi) bilang banyak caleg frustrasi, saya sebagai rakyat malah bilang: rakyat lebih frustrasi.

Coba kita simak kondisi berikut. Berbagai usaha dilakukan para petinggi parpol dan caleg menghadapi pemilu legislatif. Bukan hanya memajang gambar dengan berbagai slogan dan janji-janji. Sikap bunglon pun tak segan dilakukan: senyum sana-sini, menjadi sangat khusyuk ketika sowan ke para kiai, dan mendadak jadi rusak ketika bertemu para korak. Kepada tokoh agama berjanji memperjuangkan pembangunan moral keagamaan, kepada korak berjanji melindungi tradisi amoral.

Dalam mengesahkan undang-undang (UU), mereka hanya melihat kepentingan kelompoknya, bukan kepentingan bangsa. Politik uang yang nyata-nyata dilarang disiasati cara pemberiannya, lalu disebut sebagai biaya politik, bahkan sedekah politik. Kalau disebut sedekah politik, bukannya bersalah, melainkan justru mendapat pahala.

Terkesima

Kalau merujuk pada janji-janji, kita melihat betapa caleg adalah sosok pejuang kemanusiaan yang luar biasa. Bayangkan, siang malam selama berbulan-bulan bekerja keras, bahkan dengan mengeluarkan uang teramat banyak, demi memperjuangkan ''kepentingan rakyat''. Ada yang lebih dari Rp 2,5 miliar untuk caleg DPR, dan sekitar Rp 300 juta untuk DPRD kabupaten. Tak berlebihan bila ada yang menyebut bahwa caleg adalah manusia setengah dewa.

Orang boleh terpana kalau melihat perjuangan para caleg itu untuk kepentingan dakwah. Juga boleh terkesima kalau untuk memperjuangkan kepentingan rakyat di saat manusia semakin terseret dalam pusaran kapitalistik individualis. Namun bagi masyarakat yang tahu seluk beluk dewan, tak heran melihat ulah caleg yang demikian gigih. Kalau mereka berhasil, sekitar Rp 40 juta akan diterima setiap bulan untuk anggota DPRD kabupaten. Tentu untuk tingkat provinsi lebih banyak, apalagi pusat. Penghasilan sebesar itu hanya diperjuangkan dalam hitungan bulan.

Beda dengan bisnis lain yang memerlukan waktu belasan tahun. Belum lagi bagi legislatif yang ''keruk sana-sini''. Buktinya, setelah KPK tegas, tak sedikit ''legislatif yang terhormat'' menilap uang rakyat ratusan miliar. Modusnya macam-macam. Apalagi ''legislatif yang tak terhormat''.

Rakyat juga tahu ulah caleg menjelang pemilu. Semalam suntuk mereka menumpahkan air mata, memohon kepada Tuhan agar terpilih. Namun malam berikutnya, setelah terpilih, mereka menumpahkan kegembiraan dengan berjingkrak ria. Semalam mereka memeluk erat Tuhan, malam berikutnya bisa memeluk setan.

Ketika harus berhadapan dengan eksekutif, rakyat kembali menjadi korban. Banyak bantuan yang semestinya diterima rakyat utuh, ternyata harus ''dipotong''. Memang, bantuan itu diterimakan melalui rekening bank. Dan, bukti transfer senilai jumlah bantuan. Tapi, tidak selesai di situ. Penerima bantuan harus memberikan ''ucapan terima kasih''. Kalau tidak, jangan berharap ada bantuan lagi.

Demikian juga ketika berhadapan dengan aparat yudikatif. Tidak sedikit rakyat yang kemudian menjadi objek aparat untuk mendulang finansial. Dan itu tak terbantahkan ketika sejumlah jaksa tertangkap soal penyuapan, bahkan soal narkoba. Belum lagi sejumlah hakim dan polisi.

Lengkap Sudah

Melihat kondisi itu, lengkap sudah penderitaan rakyat. Mereka seolah bagai tokoh dalam cerita fiksi, sementara para petinggi negeri bagai penulisnya. Mau dikemanakan atau diapakan, terserah penulis.

Marah Rusli leluasa memisahkan cinta sejati Siti Nurbaya dengan Syamsul Bahri, dan dimasukkan dalam pelukan orang yang amat dibenci: Datuk Meringgih. Demikian juga Romeo dan Yuliet. Keduanya harus mengakhiri hidup dengan bunuh diri sebelum meraih pelaminan akibat perjalanan cinta mereka diamat-sulitkan oleh penulisnya, William Shakespeare.

Jadi, kalau ditimbang-timbang, rakyat jelata lebih frustrasi daripada para caleg. Namun, ternyata yang dikhawatirkan malah sebaliknya. Sejumlah rumah sakit jiwa (RSJ) lebih cenderung siaga menghadapi para caleg ketimbang rakyat. Itu berarti, ketahanan mental rakyat jelata diyakini lebih tangguh ketimbang para caleg. Karena itu, politisi hendaknya tidak salah dalam menilai rakyat yang sesungguhnya cukup paham terhadap ulah machiavellis politisi. Jangan heran bila rakyat kemudian memandang pemilu sekadar sebagai ajang pertarungan kepentingan pribadi. Bukan sebuah perjuangan untuk kepentingan rakyat.

Jangan heran pula bila rakyat tak lagi mau membela parpol tertentu sekalipun diseret ke ranah ideologi. Apalagi membela caleg, kecuali dengan imbalan sesaat. Frekuensi ''pekik-pekik'' yang mereka lakukan sambil mengepalkan tangan sebanding lurus dengan imbalan yang diperoleh. Bukan misi ideologi atau pembelaan terhadap tokoh yang kini nyaris hilang di mata rakyat.

Karena itu, hemat saya, apa yang dilakukan rakyat dalam pemilu sebatas ekspresi ketidakpercayaan rakyat terhadap politisi. Bukan sebagai kesengajaan menyebal dari hukum. Toh, hukum untuk siapa, kini teramat sulit dijawab. Akhir kata: Selamat menempuh hidup baru bagi yang terpilih maupun yang tak terpilih.

*A. Fatichuddin, koordinator Komunitas Rakyat Jelata (KRJ)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=63554
Share this article :

0 komentar: