Hukum Besi Popularitas dan Politisi Peselancar
Zaman bergulir, Orde Baru pun telah hampir sebelas tahun tumbang.Demokrasi menjadi nilai dasar yang menggelora di setiap sudut Nusantara.
Bahkan kita sudah mencapai ambang pintu pemilu ketiga pasca tumbangnya Orde Baru. Namun, entah kenapa selalu saja perbaikan itu tak bisa diikuti dengan sepenuh hati dan hampir selalu dirusak oleh para elite politik.
Tak perlu upaya untuk mengendus- endus kebusukan itu bak anjing pelacak, karena baunya terpapar di udara. Bahkan dalam beberapa situasi,kebusukan itu menjadi sesuatu yang biasa hingga mencapai titik dianggap kewajaran. Sebagai konsekuensi logisnya demokrasi bangsa ini –yang idealnya merupakan bentuk pemerintahan untuk kepentingan rakyat– dibajak hanya untuk kepentingan segelintir elite. Mungkin memang sudah menjadi tabiat dasar para politisi bangsa ini menaruh kepentingan bangsa di nomor ke sekian setelah kepentingan pribadi dan golongan. ***
Degradasi pelaksanaan demokrasi di negeri kita ini kian kentara, terlebih dalam masa-masa kampanye ini. Demokrasi hanya terpaku pada angka statistik di mana segala keputusan dan kebijakan politik dirumuskan hanya sekadar berdasarkan suara mayoritas.Demokrasi ditentukan hanya melalui tangan segelintir elite yang membawa nama rakyat,padahal di dalam dirinya tersimpan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok.
Alhasil, sistem politik kita cenderung didominasi politikus-politikus yang hanya ingin ambil untung. Saya ibaratkan mereka sebagai politikus peselancar (surfer politician) yang gemar melakukan manuvermanuverpolitikdiatasombakuntuk memaksimalisasi keuntungan.Mereka sangat jauh dari tipe politikus yang kita tunggu,yaitu politikus tipe nelayan yang tenang dalam mengarungi ombak serta mampu menyesuaikan diri terhadap gelombang.
Sosok seperti inilah yang kita harapkan menjadi negarawan. Namun apa lacur, memang di mana-mana yang baik itulah yang langka. Tidak heran apabila banyak putusan-putusan yang dibuat politikus dianggap hanya menguntungkan individu dan kelompok tertentu dan tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang terkandung dalam demokrasi.Dari pembuatan undang-undang misalnya, banyak putusan politik yang dibuat wakil rakyat direvisi atau dibatalkan –oleh Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga gawang Konstitusi– di kemudian hari karena terungkap bahwa lebih mementingkan kepentingan kelompok baik itu kelompok politik maupun kelompok kepentingan lain.
Pejabat publik yang bermental surfer politician ini akan berpolitik dengan cara politik demokrasi biaya tinggi (high cost democracy).Maka pada waktu menjabat, mereka terpaksa melakukan tindakantindakan yang korup.Hal ini dikarenakan sebelum menjabat,mereka telah mengeluarkan cost yang sangat besar agar terpilih.
Sementara jumlah gaji yang mereka terima sebagai pejabat publik pastilah tidak akan sanggup mengganti berbagai biaya yang telah dikeluarkan. Soal jumlah yang dikorup itu bergantung pada seberapa banyak cost yang dihabiskan selama kampanye. Semakin besar dana yang dikeluarkan, semakin besar tantangan mereka untuk melakukan korupsi. Taruhlah seorang kandidat mengeluarkan dana total Rp10 miliar.
Ketika terpilih sebagai pejabat nantinya, dia akan terus dibayangbayangi bagaimana cara mengumpulkan kembali uangnya yang habis untuk kampanye itu dalam tenggat lima tahun jabatannya itu, yangdalambahasabisnisinidisebut return on investment. Sebagai gambaran, gaji plus tunjangan anggota DPR tak akan melebihi Rp200 juta.
Hal-hal tersebut kemudian diperparah dengan berlakunya sentimen- sentimen politik primordial. Karena itu,muncul asumsi bahwa seseorang tidak mungkin menjadi presiden apabila dia bukan berasal dari golongan etnis atau agama tertentu.Saya ada contoh konkret.
Ada seorang teman purnawirawan, dia sudah menghitung bahwa dia punya cukup uang untuk “dibuang” dalam pemilu, dia juga punya koneksi yang luas untuk mendukungnya, citranya pun cukup baik karena terkenal tegas dan bersih.Namun,dia tidak mencalonkan diri untuk menjadi Presiden dengan mengatakan bahwa kalau saya orang Jawa dan beragama Islam maka saya pun akan nyalon untuk menjadi presiden. Kenyataan ini tentu harus diperbaiki.
Padahal, kita baru saja melihat pertunjukan akbar yang melewati semua nilai-nilai primordial itu.Barack Obama muncul sebagai presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat. Dia terpilih menjadi presiden karena memiliki visi dan misi yang lebih baik dari pesaingnya. Tetapi di Indonesia,presiden tidak mungkin berasal dari golongan minoritas karena pemilih kita cenderung emosional, sentimental, dan relatif belum memiliki pendidikan politik yang baik. ***
Demokrasi pada hakikatnya merupakan sistem yang menghormati hak-hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama di dalam politik.Namun,apa yang terjadi dengan sistem politik di negeri kita? Sistem politik di negeri kita ini oleh para politikus dianggap layaknya sebuah mobil. Masih ingatkah Anda semua dengan iklan sebuah merek mobil yang cukup tersohor pada masa lalu?
Tanpa bermaksud melakukan iklan terselubung untuk mobil itu, kita mungkin ingat benar kalimat “Ada bapak, ibu, teteh, uwak, bibi, dan lain-lain.” Dalam iklannya, mobil itu bermaksud mengatakan mampu membawa sekeluarga masuk ke dalamnya. Mobil itu menasbihkan dirinya sebagai kendaraan serbaguna yang cocok untuk kebutuhan sebuah keluarga orang Indonesia kebanyakan.
Persis iklan mobil tadi, semua anggota famili mulai ayah, ibu, tante, kakak, adik, menantu, keponakan, bahkan sampai saudara tiri sekalipun bisa masuk dalam partai politik (parpol) asalkan mendapat izin dari petinggi-petinggi parpol. Tak percaya?
Lihat saja jabatanjabatan pada parpol yang banyak diisi orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petinggi- petinggi eksekutif di negeri ini mulai bupati,gubernur,bahkan presiden dan pejabat tinggi dan pemerintahan lainnya. Demikian juga halnya jika ayah atau ibunya menjadi petinggi pemerintahan dan petinggi parpol maka akan ada sederet calon anggota legislatif, baik itu DPRD kabupaten/ kota, DPRD provinsi, DPR RI, dan DPD yang merupakan kerabat dari petinggi pemerintahan dan parpol.
Semuanya berebut untuk memiliki jabatan politik, masalah kemampuan tentu bisa dinegosiasikan, lagi pula apa yang tak bisa diselesaikan dengan uang pada sistem politik di mana idealisme,etika,dan moral sudah ditinggalkan. Apakah ada yang salah dengan pola rekrutmen politik seperti ini?
Sebenarnya tidak ada yang dapat disalahkan. Setiap parpol tentu akan dengan senang hati menempatkan figur yang merupakan anggota keluarga pimpinan parpol dan pejabat pemerintahan, karena hal itu dianggap berpotensi menambah perolehan suara dalam pemilu, apalagi pejabat pemerintah tersebut tentunya dengan senang hati akan memanfaatkan fasilitas dinas dan pengaruhnya untuk menyukseskan kerabatnya itu.
Akan tetapi,mekanisme rekrutmen politik dengan sistem iklan mobil ini memiliki sejumlah kelemahan. Pertama,dengan mengakomodasi kepentingan para petinggi parpol untuk menempatkan anggota keluarga mereka di daftar caleg, berarti parpol telah mempersempit kesempatan bagi kaderkader yang memulai kariernya dari bawah.Kedua, parpol masih mengandalkan popularitas figur dibanding kemampuan (capability) dan integritas (integrity) calon.
Inilah salah satu faktor mengapa parpol banyak yang menggunakan pesohor sebagai caleg,karena popularitas dalam demokrasi kita adalah hukum besi,sedangkan kompetensi dan integritas bisa menjadi nomor tiga belas. Saya pun kembali bertepekur. Saya mencoba menilai ulang konsep iklan mobil itu, kalau dipikir-pikir, mungkin demokrasi kita sudah lebih jauh lagi dari sang mobil yang pada masa jayanya nyaris tak punya pesaing dari aspek keunggulan.
Jika di mobil itu hanya keluarga yang lebih tua yang diikutkan, di Indonesia bahkan sampai anak, cucu,bahkan cicit ikut-ikutan merasa punya “darah biru”dan merasa berhak untuk ikut “memainkan”nasib 220 juta lebih rakyat Indonesia,yang seharusnya sudah sedari dulu besar.(*)
Taufiequrachman Ruki
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/226242/
Hukum Besi Popularitas dan Politisi Peselancar
Written By gusdurian on Minggu, 05 April 2009 | 12.40
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar