BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » "Heuristika Ketakutan" bagi Pemilih

"Heuristika Ketakutan" bagi Pemilih

Written By gusdurian on Selasa, 07 April 2009 | 14.08

"Heuristika Ketakutan" bagi Pemilih

Toto Suparto

Pemilu legislatif kian dekat, pemilih seharusnya sudah menentukan partai politik dan calon anggota legislatif secara tepat. Kekeliruan mencontreng bakal membuat kehidupan berbangsa dan bernegara kian tercoreng.

Saatnya menolak politik uang karena hanya membuat politisi senang, apalagi kelak aspirasi rakyat akan mereka buang. Saatnya pula pemilih menepis iming- iming janji, kemudian sungguh- sungguh berpijak pada suara hati.

Suara hati merupakan kesadaran moral dalam situasi konkret, di mana dalam situasi itu kita bisa memilih untuk melakukan yang benar dan tidak boleh melakukan yang buruk. Suara hati menyadari untuk mutlak melakukan tindakan pilihan itu. Berpijak pada suara hati membuat kita merasa bernilai.

Ada tiga unsur penting dalam suara hati, yakni kesadaran moral, kemutlakan, dan rasa aman. Kesadaran moral merupakan kesadaran seseorang atas tindakannya sendiri, apakah itu suatu tindakan yang baik atau buruk. Dasar kesadaran moral ini yang membuat seseorang akan merasa berkualitas sebagai manusia. Sementara kemutlakan adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar- tawar lagi oleh pertimbangan apa pun, entah itu bakal dipuji atau dicela, perhitungan untung rugi, rasa senang atau tidak senang, enak atau tidak enak.

Dan, rasa aman bisa dinikmati seseorang atas pilihan tindakannya. Ia merasa aman karena pilihan tindakannya tidak merusak kehidupan pada masa depan. Ia berpegang pada sebuah kalimat bijak, ”Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu tak merusak kehidupan manusiawi sejati di masa mendatang”. Kalimat itu memuat unsur tanggung jawab dalam berbuat. Hakikat kalimat ini merupakan representasi konsep ”heuristika ketakutan” yang dikemukakan etikus Hans Jonas.

Tindakan bertanggung jawab



”Heuristika ketakutan” ini ingin menggambarkan ketakutan atas masa depan. Kita harus berfantasi kehidupan pada masa depan dan akan rusak jika sekarang tidak bertindak secara bertanggung jawab. Karena itu, kini selayaknya kita bersedia bertindak menurut etika masa depan.

Jika tak ingin generasi mendatang hancur, kita tak cukup bertindak dengan etika tradisional, tetapi saatnya menerapkan etika masa depan. Etika tradisional itu, kata Jonas, hanya memperhitungkan akibat tindakan dalam jangka waktu pendek, hanya sesaat. Sebaliknya, etika masa depan berpikir atas akibat yang mungkin terjadi pada masa mendatang.

Menurut Jonas, etika masa depan itu berfokus pada tanggung jawab. Intinya, kita harus bertanggung jawab terhadap kehidupan masa mendatang. Tanggung jawab itu bisa muncul bila kita mau sekuat tenaga membayangkan kerusakan hidup pada masa depan akibat tindakan kita sekarang ini. Bayangkan kerusakan itu amat mengerikan sehingga kita dibekap rasa takut. Justru rasa takut ini membuat kita mau mengubah tindakan sekarang. Kita mengubah tindakan yang sembarangan menjadi tindakan yang berpijak pada suara hati.

Bayangkan bila para pemilih dalam pemilu legislatif nanti berpegangan pada ”heuristika ketakutan”. Pilihannya dilakukan secara bertanggung jawab agar masa mendatang bisa lebih baik ketimbang sekarang dan bukan lebih rusak dibanding sekarang.

Kita bertanggung jawab jika ”menjadi pemilih cerdas dengan mencontreng caleg berkualitas”. Kita bertanggung jawab jika ”berpikir jernih selama lima menit demi menentukan kehidupan berbangsa lima tahun ke depan”. Kita bertanggung jawab jika ”menggunakan suara rakyat kepada orang-orang yang berpihak kepada rakyat”.

Fantasi kerusakan

Kerusakan macam apa yang bisa difantasikan terkait pemilu legislatif ini? Mudah saja, fantasikan legislatif yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Semestinya, ini menurut filsuf John Locke, kekuasaan pembuat undang-undang adalah kekuasaan bersama setiap anggota masyarakat, yang diberikan kepada orang atau majelis yang menjadi pembuat undang-undang (legislator), yang kemudian diberikan kembali kepada rakyat.

Ketika legislator itu tak mengembalikan kekuasaan demi kepentingan rakyat, saat itulah mereka tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Inilah kerusakan yang kita khawatirkan. Legislator bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Baik buruk nasib rakyat ikut ditentukan oleh undang-undang yang diproduksi legislator. Manakala legislator meniadakan rakyat, jangan harap mereka menelurkan undang-undang yang berpihak kepada rakyat. Atau, jika undang-undang itu dibuat, belum tentu akan dikawal ketat sehingga eksekutif berpeluang tak menjalankannya.

Stereotip legislator yang tidak mengembalikan kekuasaan kepada rakyat bisa dirasakan pada Dewan Perwakilan Rakyat. Bukan rahasia, banyak anggota DPR yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok ketimbang kepentingan rakyat. Stereotip ini terbentuk lantaran kita juga tidak menggunakan etika masa depan saat memilih pada lima tahun lalu.

Pertanyaan lebih lanjut, ketika rakyat tidak memperoleh idealitas itu, apakah hanya berdiam diri? Filsuf politik di zaman Yunani acap mengingatkan rakyat bahwa mereka mempunyai hak untuk menuntut kembali kekuasaan. Kuasa itu milik rakyat dan sah jika merebut kekuasaan yang pernah dilimpahkan kepada wakilnya.

Hati-hati, rakyat bisa melawan kesewenang-wenangan legislator. Ada dua bentuk perlawanan rakyat yang mungkin dilakukan, yaitu lewat pendekatan keseimbangan dan otonomi. Pendekatan keseimbangan mensyaratkan penerima kekuasaan harus mempunyai sumber-sumber kekuasaan yang sama sebagai kekuasaan tandingan untuk melawan. Pendekatan otonomi lebih menekankan pada usaha membangun kekuasaan sendiri.

Namun, kita tak perlu melakukan perlawanan itu jika, sekali lagi, memahami konsep ”heuristika ketakutan”. Setelah memahaminya, kita mempraktikkan pada 9 April demi tatanan kehidupan yang lebih baik.

Toto Suparto Pengkaji Etika di Puskab Yogyakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/07/04400183/heuristika.ketakutan.bagi.pemilih
Share this article :

0 komentar: