BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Enam Juta Orang Gila di Indonesia, Episode II - Habis

Enam Juta Orang Gila di Indonesia, Episode II - Habis

Written By gusdurian on Rabu, 29 April 2009 | 12.10

Enam Juta Orang Gila di Indonesia, Episode II - Habis
Jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa di Indonesia diperkirakan terus meningkat. Bahkan, khusus untuk gangguan jiwa berat, jumlahnya bisa mencapai 6 juta orang.

Data tersebut berdasar riset kesehatan dasar. Menurut riset itu, jumlah populasi penduduk Indonesia yang terkena gangguan jiwa berat mencapai 1-3 persen di antara total penduduk. Jika penduduk Indonesia diasumsikan sekitar 200 juta, tiga persen dari jumlah itu adalah 6 juta orang.

"Ini bukan angka prediktif. Tapi, ini adalah angka prevalensi (angka kejadian) berdasarkan riset kesehatan dasar (riskesdas)," kata psikiater RSUP Cipto Mangunkusumo dr Surjo Dharmono SpKJ. Angka enam juta penduduk itu, lanjut Surjo, hanya mereka yang dinyatakan menderita gangguan jiwa berat (psikosis).

Itu belum termasuk mereka yang mengalami gangguan jiwa ringan (neurosis) yang persentasenya mencapai 10-15 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 20-30 juta orang. ''Untuk gangguan berat, jumlahnya mungkin bisa tetap karena penyebabnya terkait faktor biologis. Namun, untuk neurosis, kemungkinan jumlah penderitanya terus bertambah masih terbuka,'' bebernya.

Terutama mereka yang tinggal di lingkungan perkotaan. ''Yang di daerah saja mulai cenderung naik, apalagi di kota besar seperti Jakarta,'' ungkapnya.

Surjo menjelaskan, kategori gangguan jiwa ringan banyak didominasi kasus seperti depresi. Gangguan itu terjadi karena seseorang tidak bisa menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan suatu perubahan atau gejolak hidup. ''Apalagi di era serbamodern ini, perubahan-perubahan terjadi sedemikian cepat. Satu era cepat berlalu dan berganti era lain,'' tuturnya.

Ditambah lagi, tipikal masyarakat kota saat ini serba- multitasking, mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu. Seseorang bisa mengikuti meeting sambil mengerjakan tugas lain. Misalnya, membaca laporan, mengirimkan e-mail, maupun membalas pesan singkat dari koleganya. Nah, jika seseorang tidak kuat mengikuti percepatan hidup, stres maupun depresi sangat rentan terjadi.

Surjo menjelaskan, fenomena terselubung gangguan jiwa bisa diketahui melalui hasil penelitian WHO yang dilakukan di empat kabupaten/kota. Di antaranya, di Jakarta dan Bogor. Di dua kota itu, sekitar 20-30 persen pasien yang berobat di puskesmas dan dokter umum menunjukkan gangguan jiwa. ''Namun, mereka tidak menyadarinya dan menganggap fisiknya saja yang sakit. Setelah diperiksa, dokter tak menemukan penyakitnya,'' terang Surjo.

Berdasar fakta itu, banyak psikiater memprediksi, angka gangguan jiwa akan terus naik jika tidak diantisipasi sejak awal. Bahkan, jumlahnya ditengarai akan melampaui penyakit infeksi. Misalnya, diabetes mellitus, ginjal, maupun jantung.

''Karena fokus utama pemerintah saat ini masih berkutat terhadap penyakit infeksi. Belum terlalu fokus terhadap penyakit yang satu ini,'' terangnya. Lantaran fenomena global, gangguan jiwa juga banyak terjadi terutama di negara maju yang sarat dengan tingkat persaingan yang tinggi.

Menurut catatan WHO, depresi menempati empat besar penyakit dengan beban kesehatan tertinggi. ''Diprediksikan pada 2020, penyakit itu menempati dua terbesar dengan beban kesehatan tertinggi,'' ujarnya. Itu disebabkan mereka yang terkena penyakit tersebut kehilangan hari-hari aktifnya. ''Kualitas hidupnya turun. Demikian juga produktivitasnya. Sehingga, menjadi beban orang lain,'' ungkapnya.

Dampaknya, cost yang dikeluarkan akibat penyakit itu boleh dibilang amat tinggi. Sebab, mereka membutuhkan perawatan dalam jangka waktu cukup lama.

Nah, di Jakarta, menurut Surjo, penduduknya amat berpeluang mengalami gangguan jiwa, terutama depresi. Karena itu, Depkes diharapkan mulai memfokuskan diri terhadap persoalan kesehatan tersebut. Jika tidak, jangan terkejut bila pasien jiwa terus naik dan naik.

Psikiater dari RS Persahabatan Jakarta Timur Mardi Susanto mengatakan, saat ini harus ada perubahan mindset pengobatan terhadap pasien jiwa. Pemerintah diharapkan tidak hanya memfokuskan terhadap pengobatan pasien jiwa berat. ''Dulu pengobatan dilakukan jika penyakit yang dialami pasien sudah kronis. Justru sekarang yang patut diwaspadai adalah gangguan jiwa ringan, seperti depresi. Karena banyak yang tidak menyadarinya,'' terangnya.

Apalagi, kata dia, sudah banyak contoh kasus yang menunjukkan bahaya depresi. Kasus bunuh diri berawal dari depresi. Karena itu, fokus perhatian pemerintah harus berubah. (kit/kum)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=66174
Share this article :

0 komentar: