BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Senyum di Bawah Pohon

Senyum di Bawah Pohon

Written By gusdurian on Senin, 23 Maret 2009 | 12.13

Senyum di Bawah Pohon

“Saya tahu ada banyak pilihan, tapi kalau saya yang dipilih alhamdulillah…” Kalimat tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak kampanye calon anggota legislatif (caleg) yang terpampang di aneka rupa poster di bawah pohon.


Beruntunglah Indonesia memiliki berjuta pohon.Pepohonan yang berjajar di bahu jalan raya di seluruh Nusantara berubah dari fungsi aslinya sebagai tanaman penghijauan untuk mengurangi polusi dan mempercantik tata kota. Sejak masa kampanye Pemilu 2009 dimulai, pepohonan berfungsi sebagai instrumen politik.

Tanpa pernah peduli, para caleg berbondong- bondong menempel poster diri mereka di pohon apa saja. Beragam foto caleg non-Golkar juga terpasang di bawah pohon beringin, lambang Golkar. Tentu saja hal ini bukan pelanggaran pemilu.Pohon beringin, bukanlah pohon Golkar.

Melawan Apatisme dan Pragmatisme

Perjalanan memperebutkan kursi Dewan memang sungguh terjal dan mahal. Setiap caleg harus berjuang menghadapi tiga tantangan yang menghadang di depan mata.Pertama, tantangan konstitusional. Dengan sistem proporsional terbuka, tidak ada lagi ”putra mahkota” yang duduk ongkang-ongkang kaki di atas singgasana nomor urut.Semua berpeluang meskipun berada di nomor sepatu.

Tidak ada ”hukum Damri”: sesama bus Damri dilarang saling mendahului. Sesama caleg adalah ”kawan” yang dalam konsep sosiologi bisa berarti musuh, pesaing, atau lawan. Kawan berjuang dalam satu partai bisa menjadi ”musuh dalam selimut”. Kedua, tantangan politis.

Sebenarnya sebagian besar rakyat sudah tune in dengan demokrasi. Namun, alam demokrasi ternyata belum kondusif untuk menyelesaikan masalah hidup. Rasa aman, keadilan, dan kesejahteraan seakan makin jauh. Sebaliknya, elite partai hidup mewah.Kolusi ”demokratis” yang dilakukan elite partai, birokrasi, dan rekan bisnis membuat citra anggota Dewan begitu buruk di mata masyarakat.

Pasca- Pemilu 2004, antusiasme rakyat dalam proses demokrasi menurun.Rakyat semakin pesimistis dan apatis terhadap demokrasi. Angka golput dalam beberapa pilkada rata-rata mencapai 40%. Frekuensi pemilu yang padat mulai dari pilkada, pemilu legislatif hingga pilpres membuat rakyat letih baik secara politik,sosial, dan ekonomi.

Diperlukan kreativitas, langkah jenius, dan jurus ampuh untuk menghadirkan pemilih memilih di bilik suara. Ketiga, tantangan kultural.Politik ideologi sudah nyaris mati. Tanpa nilai-nilai dan moralitas, demokrasi tak ubahnya tubuh yang berjalan tanpa jiwa.Seperti kutu loncat,ratusan caleg berlompatan dari satu partai ke partai lain.

Rakyat yang hampir putus asa terhimpit kesulitan hidup dan jengah dengan janji-janji hampa berubah pragmatis. Pragmatisme yang meraja membuat pemilu tak ubahnya pasar malam. Di tengah kegelapan, terjadi transaksi politik: rakyat menjual,caleg membeli.

Tanpa malu-malu tidak sedikit rakyat yang terang-terangan memilih caleg yang ”berani berjuang”: memberi beras, baju, dan uang. Ketika suara sudah bebas diperjualbelikan, masa depan negara benar-benar dalam taruhan.

Wajah Indonesia Masa Depan

Beribu wajah yang tersenyum di bawah pohon adalah wajah Indonesia masa depan. Mereka adalah caleg, wakil rakyat di DPR,DPRD,dan DPD. Motivasi mereka berbeda-beda. Sebagian mereka adalah ”profesional” yang bertahun-tahun ”bekerja” sebagai politikus.

Mereka tetap setia menjadi ”wakil rakyat”dan tidak berminat menjadi ”rakyat”.Banyak juga pensiunan yang ingin ”mengabdi” kepada negeri sampai akhir hayat. Tidak sedikit pula yang ingin memperluas jaringan bisnis,memperkuat kekuasaan, berdakwah demi Tuhan dan––terus terang––berusaha memperbaiki nasib, meningkatkan taraf hidup.

Semuanya adalah niat ”mulia” yang sah secara hukum. Konstitusi menegaskan bahwa setiap warga negara bebas mengemukakan aspirasi politik dan berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Peluang menjadi anggota legislatif sesungguhnya sangat kecil.

Untuk caleg DPR, peluangnya 1:20.000. Untuk DPD kemungkinannya 1:8.450. Mereka yang terpilih banyak yang tersungkur masuk bui.Namun,minat menjadi anggota legislatif tetap tinggi. Layaknya ”Laskar Pelangi”, mereka bermimpi melambungkan asa, menaklukkan belantara politik demi meraih kemakmuran ekonomi, keluhuran martabat, dan jabatan yang terhormat.

Tidak sedikit yang melego harta benda demi mempertaruhkan sebuah jabatan. Kualitas kampanye baik dari sisi metode maupun muatan memang jauh dari berkualitas.Layaknya happening art,ruang publik penuh sesak oleh foto caleg yang terkesan numpang tenar. Padahal, kartu suara DPR dan DPRD tidak memuat foto.

Mayoritas caleg hanya menawarkan diri tanpa konsep realistisyangteruji. Sebagian mengibaiba dengan memasang foto anaknya yang masih balita.Yang lain memasang foto pemain sepak bola dunia.Kampanye terbuka juga belum beranjak dari warna hura-hura. Panggung hiburan rakyat dengan musik dan tarian erotis masih saja disuguhkan. Pidato politisi dan juru kampanye masih sarat retorika verbal-bombastis, dramatisasi nestapa, dan solusi ”mahadewa”yang tidak membumi.

Namun rakyat tidak punya opsi. Pada akhirnya, terpaksa atau sukarela, rakyat tetap harus memilih. Pilihan rakyatlah yang menentukan bentuk-rupa Indonesia lima tahun ke depan.Negara bisa hancur bila legislatif tidak kompeten dan bermoral luhur. Rakyat yang bijak tidak membiarkan para caleg melenggang tanpa kontrak politik yang jelas.

Tidak mudah memang. Setelah 9 April, 10.665 dari 11.225 caleg DPR akan tersisih.Akan ada 984 dari 1.116 calon DPD yang gagal. Sekarang semua caleg masih bisa tersenyum. Indonesia full senyum. Pasca-Pemilu 2009, mereka yang terpilih akan tetap tersenyum menatap hari-hari yang cerah.

Senyum dalam kesadaran jiwa (consciousness) yang sehat.Para ahli sosiologi dan psikiatri memperkirakan jumlah orang yang menderita gangguan jiwa akan meningkat. Mereka akan tersenyum sendirian di bawah pohon. Senyum sakit di luar kesadaran jiwa (unconsciousness). Semoga prediksi para psikiater tidak terjadi. Semuanya tersenyum sehat menyongsong matahari Indonesia yang cemerlang.(*)

Abdul Mu’ti
Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and
Cooperation Among Civilizations (CDCC), Jakarta


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/222621/
Share this article :

0 komentar: