BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Janji yang Tak Lagi Menjanjikan

Janji yang Tak Lagi Menjanjikan

Written By gusdurian on Senin, 23 Maret 2009 | 12.30

Janji yang Tak Lagi Menjanjikan


MINGGU ini hingga hari-hari menjelang tanggal pencontrengan pemilihan anggota legislatif alias wakil rakyat pada tanggal 9 April nanti, suasana lingkungan kita makin ramai.


Setiap sudut akan diisi,dihiasi,diwarnai,serta disemarakkan oleh kampanye terbuka yang dilakukan semua kontestan Pemilu 2009. Dimulai dengan maraknya iklan politik memanfaatkan berbagai media mulai dari televisi sampai baliho-baliho besar di pinggir jalan hingga pawai arakarakan yang hampir pasti menjadi pemandangan kampanye.

Semua alat,metode dan cara kampanye seakan dikerahkan untuk menunjukkan pada masyarakat, ini lho partainya rakyat, ini lho caleg merakyat,dan ini lho capres prorakyat. Mewabahnya iklan politik sebagai metode berkampanye di tengah masyarakat dalam setiap momen juga perlu mendapat perhatian.

Ini dikarenakan banyaknya kekhawatiran adanya unsur manipulatif di dalamnya.Tidak semua fakta tentang diri sang calon ditampilkan. Pesan-pesan iklan politik kebanyakan dangkal,serbaartifisial,dan tidak otentik serta terkesan tidak “nyambung” dengan kebutuhan batin rakyat mengenai “mengapa harus memilih partai ini, caleg itu,dan capres tersebut”.

Lalu, apakah kampanye yang semacam itu bisa dikatakan efektif dan ampuh dalam merebut hati masyarakat? Apakah obral janji dari para jurkam juga akan berpengaruh terhadap cara pandang calon pemilih untuk tertarik? Dana kampanye yang begitu besar dihabiskan dalam bentuk- bentuk yang tidak menyentuh permasalahan mendasar masyarakat seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.

Di sisi lain,waktu dan tenaga yang dihabiskan dalam mempersiapkan rapat terbuka dan ekses-eksesnya seperti lalu lintas macet, sampah sisa para peserta kampanye, dan ekses lain seperti menjadi hal yang lumrah dan wajar dalam masa-masa kampanye. Di sinilah sebaiknya partai berpikir ulang apakah metode kampanye yang dilakukan akan efektif dan berhasil meraih hati rakyat.

Dalam menyikapi hal tersebut,berkampanye dengan pendekatan budaya adalah solusi yang tepat guna meraih hati calon pemilih. Clifford Geertz (1973) menyampaikan bahwa budaya merupakan pola dari pengertian–pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol- simbol dan ditransmisikan secara historis.

Pendekatan budaya bukanlah sesuatu yang bersifat instan dan ahistoris. Sebuah pendekatan budaya tentulah memiliki aturan main yang disebut sebagai etika. Prinsip-prinsip etika berlaku hampir dalam konteks apa saja, termasuk politik.

Dalam bentuknya yang paling umum, etika menuntut bahwa perilaku yang diekspresikan dapat diterima secara universal, misalnya saja nilai kepatutan. Nah,saat inilah momen yang tepat bagi partai untuk mengekspresikan nilai kepatutan tersebut,yakni kampanye yang memiliki etika sekaligus estetika.

Kampanye yang benarbenarmenjawabkeraguanmasyarakat. Karenarakyattaklagi bisa dibodohi dengan janji-janji yang tak lagi menjanjikan. Bagaimana?(*)

Opik Mahendra
Mahasiswa Jurusan Sosial Ekonomi
Fakultas Pertanian UGM


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/222317/
Share this article :

0 komentar: