BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pakaian Bebas Bakteri Ala Chitosan

Pakaian Bebas Bakteri Ala Chitosan

Written By gusdurian on Minggu, 15 Maret 2009 | 15.02

Pakaian Bebas Bakteri Ala Chitosan

Agus Hartoko, dosen Fakultas Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, mengaku punya kaus oblong istimewa. Kaus itu ditanggung tak cepat bau dan kotor, walaupun dipakai berolahraga selama empat atau lima hari secara terus-menerus. "Silakan dicoba saja kalau tidak percaya," katanya kepada Gatra.

Kaus itu pun diuji coba Gatra dengan bermain futsal di lapangan belakang kantor tiap sore, selama empat hari. Selama itu, sang kaus tak tersentuh sabun dan air. Ajaib, relatif hampir tak ada bau keringat yang menyengat seperti pada pakaian biasa. Apa rahasianya? Menurut Agus, itu berkat larutan chitosan. Kaus itu tidak berbau karena sebelumnya direndam dalam larutan chitosan.

Selama ini, unsur polisakarida itu memang dikenal serba guna. Para ahli telah menggunakan chitosan untuk bahan pengawet, bahan pengolah limbah cair, bahkan untuk antikolesterol, antijerawat, dan pemutih kulit. Nah, Agus mengkhususkan diri meneliti chitosan yang digunakan sebagai bahan antibakteri pakaian sejak dua tahun lalu.

"Selain antibakteri, chitosan juga ramah lingkungan," kata Agus. Soalnya, chitosan dapat diperoleh dari limbah cangkang rajungan, kepiting, atau udang. Setelah dimakan, cangkang kepiting atau udang hanya dibuang. Padahal, pada cangkang itulah terdapat zat chitin yang dapat diolah menjadi chitosan.

***

Awalnya, Agus harus membiayai penelitiannya dari kantong sendiri. Sekretaris Lembaga Penelitian Undip itu kemudian mengajak rekannya, Bimo Soerya Koesoemo, alumnus Fakultas MIPA Institut Teknologi Bandung, untuk bekerja sama. Bimo sedikit banyak paham seluk-beluk bisnis garmen. Ia mengelola perusahaan CV Sinergi Indonesia, yang bergerak di bidang usaha laundry. Biar lebih lengkap, Agus juga menggandeng Delianis Pringgenies, ahli bakteri Undip, yang juga paham tentang masalah alergi pada pakaian.

Mereka kemudian banyak berkutat di Laboratorium Obat Alami Undip. Di sana terdapat puluhan tabung tertutup berdiameter 10 cm dengan tinggi 2 cm. "Tabung-tabung ini untuk uji coba antibakteri," tutur Delianis. Sejumlah bakteri yang sering berkeliaran dimasukkan ke dalam tabung. Mulai Salmonella, Stapilococcus aeureus, E-coli, Psidomonas, hingga Bacillus substilis. "Bakteri-bakteri patogen itu sering menggejala di Rumah Sakit Kariyadi, Semarang," kata Delianis.

Pada tabung juga dimasukkan beberapa serpihan kain putih. Satu di antaranya telah diproses dengan chitosan antibakteri. Hasilnya, menurut Delianis, kain-kain itu nanti bernoda bercak, sedangkan yang lainnya tetap putih bersih. "Yang tak bernoda itulah yang sudah diberi antibakteri," kata Delianis.

***

Untuk membuat chitosan antibakteri, mula-mula cangkang rajungan digiling sehingga menjadi butiran sebesar gula pasir halus. Bahan ini selanjutnya dimasukkan ke tabung untuk menghilangkan kandungan mineralnya (demineralisasi), dengan pemberian HCl sebanyak 10%.

Setelah dibilas, giliran kandungan protein dihilangkan dengan dimasukkan ke tabung dan diberi NaOH sebanyak 4%. Lalu tabung dipanaskan dengan suhu 80 derajat celsius. Sampai pada tahap ini, serbuk cangkang sudah menjadi chitin. Proses ini kemudian disempurnakan dengan tambahan NaOH sebanyak 5% dan dipanaskan dengan temperatur 120 derajat celsius sehingga menghasilkan chitosan.

Selanjutnya, tiba giliran mengolah pakaian. Agar bebas bakteri, bahan pakaian direndam dalam larutan chitosan dengan konsentrasi 1%, ditambah dengan sodium perioda. "Komposisinya, dalam 1 meter kubik air cukup dituangkan 2 liter chitosan," kata Agus. Pakaian kemudian direndam dalam larutan itu selama dua-tiga jam, dibilas, dan dikeringkan dengan suhu 60-70 derajat celsius.

Berdasarkan ketentuan internasional, sifat pakaian antibakteri harus bertahan setidaknya hingga lima kali cuci. Namun Agus menyatakan, ?Temuan kami bisa mencapai hingga 20 kali cuci.? Ini tentu bermanfaat untuk jenis pakaian dalam, olahraga, hingga berbagai keperluan rumah sakit dan kesehatan lainnya.

Maklum, keringat dan bau badan sering menempel pada pakaian sehingga berbau tak sedap. Begitu juga jika disimpan dalam lemari agak lama sehingga berbau apak. Bau-bauan itu timbul tak lain karena bakteri. "Chitosan memecah dinding sel bakteri sehingga tidak berkembang dan mati," kata Delianis.

Setelah diolah dengan chitosan, bakteri yang hinggap pada pakaian memang jauh berkurang. Selain itu, Delianis menjamin, chitosan tak menimbulkan alergi pada kulit. ?Kami telah melakukan serangkaian penelitian tentang dampak chitosan pada kesehatan kulit,? ujar Delianis.

Tak hanya itu. Menurut Agus, kaus yang berbahan katun menjadi lebih lembut jika diolah dengan chitosan. Soalnya, bakteri dan jamur yang menempel membuat pakaian terasa agak kasar. Penyerapan air atau keringat pun jadi berkurang. Dengan chitosan, kata Agus, semua itu jadi hilang.

Kini, melalui CV Sinergi Indonesia, pakaian chitosan ini akan diproduksi secara massal. "Kami telah mengembangkan pabriknya di Kawasan Industri Tugu Semarang," kata Bimo. Di sana telah dibangun perangkat pengolah limbah cangkang, berikut sistem tabung untuk menghasilkan chitosan. Bimo berharap, kapasitas pabriknya dapat dikembangkan hingga mencapai 20.000 pakaian per hari.

Betapa tidak, persaingan sekaligus permintaan industri garmen begitu tinggi. "Di Amerika saja, kebutuhannya mencapai 3 juta ton per tahun," tutur Bimo. Dengan kelebihan chitosan, Bimo yakin dapat menembus pasar internasional. Soalnya, pakaian yang dilengkapi antibakteri memang banyak dicari.

"Hanya saja, bahan antibakteri di luar negeri dibuat menggunakan bahan kimia," kata Bimo. Akibatnya, harga pakaian antibakteri di sana pun melambung tinggi. Harga antibakteri kimia di luar negeri mencapai Rp 1 juta per kilogram. Tetapi, jika memakai chitosan, biaya produksi bisa lebih jauh ditekan. "Harga cangkang cuma Rp 3.000 hingga Rp 5.000 sekilo," ujar Bimo. Setelah jadi pakaian bebas bakteri, harganya hanya lebih mahal sekitar 10% dibandingkan dengan harga pakaian biasa.

CV Sinergi Indonesia tak hanya memakai chitosan untuk pakaian. Perusahaan ini juga melakukan pengolahan limbah cair dengan chitosan. Kementerian Riset dan Teknologi melihat usaha ini lebih ramah lingkungan ketimbang cara konvensional yang selama ini dilakukan. Mereka memberikan penghargaan dan memasukkan metode pengolahan limbah dengan chitosan itu dalam daftar "100 Inovasi Terbaik Indonesia". Bimo dan kawan-kawannya telah mematenkan metode itu.

Karena murah plus ramah lingkungan, Senada USAID, sebuah lembaga nirlaba pemberdayaan masyarakat, bersedia menggelontorkan dana Rp 200 juta untuk pengembangan chitosan. "Kami juga membantu USAID untuk kampanye bahan ramah lingkungan," kata Agus.

Nur Hidayat, dan Syamsul Hidayat (Semarang)
[Ilmu dan Teknologi, Gatra Nomor 17 Beredar Kamis, 5 Maret 2009]

http://gatra.com/artikel.php?id=123965
Share this article :

0 komentar: