BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kampanye Sepi Isu tentang Pajak

Kampanye Sepi Isu tentang Pajak

Written By gusdurian on Selasa, 31 Maret 2009 | 10.50

Kampanye Sepi Isu tentang Pajak

Oleh Ahsan Fahmi Ula *

SEPERTI pemilu sebelumnya, simpatisan partai mengikuti kampanye terbuka dengan arak-arakan, bernyanyi, dan berjoget bersama. Sedikit yang benar-benar ingin mengetahui program-program yang ditawarkan partai. Di berbagai daerah juru kampanye kembali menebar janji-janji, memuji diri sendiri, serta mengkritisi pihak lain.

Salah satu isu yang menjadi bahan kampanye ialah pemberian BLT (bantuan langsung tunai). Ada partai yang mengunggul-unggulkan program BLT, karena menganggap sebagai bentuk kepedulian dan keberpihakan bagi rakyat miskin. Partai yang satu lagi sebaliknya. Menghujat program tersebut karena dianggap membodohi rakyat miskin, bahkan merendahkan martabat bangsa. Isu BLT makin panas karena partai yang mengusung BLT mengkritisi partai yang menolak BLT, begitu pula sebaliknya.

Isu-isu kampanye mengenai bantuan ekonomi negara kepada masyarakat juga terjadi di negara-negara lain. Contoh paling dekat ialah pemilu Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Ketika masa kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat, isu insentif ekonomi kepada masyarakat melalui kebijakan perpajakan menjadi sorotan penting.

Obama akan meningkatkan pajak bagi warga yang berpenghasilan di atas USD 250.000. Meski begitu, Barack Obama mengemukakan rencana pemotongan pajak besar bagi 95 % masyarakat Amerika Serikat dan hanya menaikkan sedikit bagi orang-orang kaya.

Rivalnya, John McCain, juga menjanjikan stimulus pajak, walaupun lebih diperuntukkan bagi korporat-korporat besar yang terkena dampak negatif yang luar biasa karena krisis global.

Rakyat Amerika pada akhirnya lebih tertarik dengan apa yang ditawarkan Obama, di mana yang kaya harus membayar pajak lebih besar, sementara kelas menengah dan miskin dikurangi pajaknya. Sebuah prinsip yang sejalan dengan slogan kampanye Obama, yaitu Perubahan. Perubahan dari kebijakan Bush yang lebih condong kepada korporat besar. Apa yang ditawarkan Obama dalam hal perpajakan itu menjadi salah satu penentu terpilihnya Obama dalam pemilu presiden Amerika Serikat.

Terbukti kemudian Obama, dalam pidato mingguannya akhir Februari lalu, menjanjikan setiap warga Amerika Serikat akan mendapat potongan pajak USD 65 setiap bulan. Pengurangan pajak ini merupakan bagian dari rencana stimulus senilai USD 787 miliar yang disepakati Kongres.

Rencana stimulus yang bertujuan membangkitkan ekonomi Amerika di tengah krisis ekonomi dunia, dibagi menjadi 36 persen untuk pemotongan pajak dan 64 persen untuk pembiayaan program sosial. Obama mengatakan, departemen keuangan mulai memerintahkan para pemilik perusahaan mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar dari pembayaran gaji.

Bahkan, ketika dana stimulus tersebut digunakan untuk membayar komisi tahunan direksi AIG, Obama marah besar. Begitu juga masyarakat Amerika Serikat pada umumnya, sangat menentang rencana tersebut. Obama sempat mencetuskan ide agar komisi kepada direksi yang perusahaannya mendapat insentif dari pemerintah dikenai pajak 95 %. Meskipun kemudian usul tersebut ditolak Kongres, hal ini menunjukkan bahwa di Amerika Serikat isu pajak menjadi isu nasional yang sangat penting.

Sepi Isu Pajak

Di Indonesia kondisinya sangatlah berbeda. Isu mengenai pajak dalam kampanye legislatif Pemilu 2009 jarang dibahas. Sepi. Dengan kata lain, belum menjadi program besar partai politik. Seandainya partai politik di Indonesia mau memanfaatkan isu ini, akan menjadi daya tarik bagi pemilih. Daripada hanya memanfaatkan isu mengenai BLT, akan lebih menarik jika isu insentif pajak juga diangkat.

Terlebih saat ini pajak di Indonesia merupakan tiang penyangga NKRI, karena 75 % APBN dibiayai oleh pajak. Dengan demikian, seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dibangun dengan pajak.

Karena itu, seharusnya menjadi keniscayaan bagi setiap partai politik dan calon presiden untuk mengemukakan pandangannya dalam hal kebijakan perpajakan jika nanti ada di DPR atau menjadi presiden. Tentu saja kebijakan perpajakan yang tidak menambah beban masyarakat.

Pemerintah yang berkuasa saat ini sangat pantas mengampanyekan insentif perpajakan yang telah ditetapkan sebagai bukti atas keberpihakan kepada masyarakat.

Total stimulus fiskal yang ditetapkan pemerintah untuk mengantisipasi krisis ekonomi global pada 2009 mencapai Rp 73,3 triliun. Dari jumlah itu, Rp 43 triliun di antaranya merupakan stimulus dalam bentuk penghematan pembayaran pajak. Stimulus pajak ini merupakan konsekuensi dari perubahan UU PPh menjadi UU No 36/2008.

Stimulus fiskal pajak itu dibagi atas tiga bagian. Pertama, penghematan pembayaran pajak karena penurunan tarif PPh orang pribadi dari maksimal 35 persen menjadi paling tinggi 30 persen senilai Rp 13,5 triliun.

Kedua, penghematan pajak karena peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) menjadi Rp 15,84 juta per tahun, nilainya Rp 11 triliun. Ketiga, penurunan tarif PPh badan dari 30 persen menjadi 28 persen plus insentif bagi perusahaan masuk bursa 5 persen dengan nilai penghematan Rp 18,5 triliun.

Kemudian yang terbaru, Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak baru saja menetapkan PMK Nomor 43/PMK.03/2009 tentang PPh pasal 21 ditanggung pemerintah atas penghasilan pekerja di kategori usaha tertentu. Dengan PMK ini, penghasilan pekerja di kategori usaha pertanian, termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan; kategori usaha perikanan; dan kategori usaha industri pengolahan yang tidak lebih dari Rp 5.000.000, PPh pasal 21-nya ditanggung pemerintah selama Januari s.d. Desember 2009.

Sebagai contoh, pegawai di perusahaan industri pengolahan yang penghasilan sebulan Rp 5.000.000 dengan iuran pensiun Rp 25.000 sebelum adanya PMK Nomor 43/PMK.03/2009, akan menerima penghasilan bersih Rp 4.821.250,00 setelah dikurangi PPh pasal 21 (asumsi mempunyai istri dan dua anak).

Setelah ada PMK tersebut, penghasilan bersih yang diterima Rp 4.975.000,00. Hal ini karena PPh pasal 21 yang sebelumnya dipotong dari penghasilan pegawai Rp 153.750, kemudian tidak dipotong. Dengan demikian, penghasilan pegawai bertambah Rp 153.750. Dengan begitu, diharapkan daya beli pegawai di bidang usaha pertanian, perikanan, dan industri pengolahan akan meningkat.

Bentuk Lain

Selain itu, insentif perpajakan diberikan dalam bentuk lain. Yang pertama, pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan dalam jumlah dan waktu tertentu kepada investor yang merupakan industri pioner. Kedua, keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB), khususnya untuk bidang usaha tertentu pada wilayah atau kawasan tertentu.

Ketiga, pembebasan atau penangguhan pajak pertambahan nilai (PPN) atas impor barang modal atau mesin serta peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu. Keempat, pemerintah mengubah perlakuan PPN atas sebagian barang kena pajak yang bersifat strategis dari yang semula "dibebaskan" menjadi tidak dipungut atau ditanggung pemerintah.

Insentif-insentif perpajakan tersebut merupakan tema kampanye yang sangat menarik. Sebab, sasarannya sangat luas. Tidak seperti isu BLT, yang hanya populer bagi kalangan masyarakat miskin. Insentif pajak dirasakan oleh semua lapisan, terutama pegawai, baik kalangan bawah dan menengah maupun juga kalangan pengusaha papan atas.

*. Ahsan Fahmi Ula, alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.

http://jawapos.com/
Share this article :

0 komentar: