Jumhur Hidayat Versus Menteri Tenaga Kerja
Sudrajat
WARTAWAN KORAN TEMPO
Dalam diskusi di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, tekad itu dilontarkan M. Jumhur Hidayat. "Kalau terbukti kalah, saya akan mundur," kata Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) itu (Koran Tempo, 19 Maret 2009). Sepintas ini seperti ekspresi sikap kesatria. Tapi boleh jadi merupakan ungkapan frustrasi.
Seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-22/ MEN/XII/2008 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri pada 1 Desember 2008, Jumhur melancarkan sejumlah manuver. Ia menolak peraturan yang berlaku efektif mulai 1 Februari itu karena dianggap telah memangkas berbagai kewenangan yang dimilikinya. Bila dicermati, terbitnya Peraturan Menakertrans tersebut merupakan respons atas usulan Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati), yang beranggotakan 349 Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS), kepada Presiden saat audiensi di Istana Negara pada 15 September 2008.
Ketika itu Apjati menuntut agar Peraturan Menakertrans No. 18/MEN/IX/2007 direvisi dan dicabut karena dianggap mengganggu tugas dan kinerja PPTKIS. Tuntutan itu ditindaklanjuti dengan digelarnya rapat koordinasi nasional kelembagaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri pada 23 Desember 2008. Melalui peraturan menteri itu, pemerintah daerah juga dimungkinkan terlibat aktif dan bertanggung jawab penuh dalam proses pelayanan penempatan TKI. Kewenangan yang diserahkan kepada pemda, antara lain, penyelenggaraan pembekalan akhir penempatan calon TKI dan penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang berguna sebagai bukti bebas bea fiskal luar negeri.
Intinya, melalui peraturan itu ditegaskan kembali bahwa tugas BNP2TKI hanyalah melakukan penempatan TKI ke negara yang telah menjalin kerja sama dengan pemerintah atau G to G, yakni Korea Selatan dan Jepang. Jumlah TKI di kedua negara itu sekitar 30 ribu orang. Bagi Jumhur, jumlah itu teramat kecil dibanding total TKI di luar negeri yang mencapai 4,3 juta jiwa.
Karena itu, pada 7 Januari 2009, dia menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melaporkan masalah tersebut. Dua hari kemudian, Jumhur berhasil "mencuri waktu" Jusuf Kalla seusai salat Jumat, 9 Januari lalu, di kantor Wakil Presiden. Ia yakin Peraturan Menteri akan direvisi sebelum diberlakukan pada 1 Februari. "Saya optimistis Presiden dan Wakil Presiden akan mengambil langkah-langkah," ujarnya ketika itu. Namun, Peraturan Menteri nyatanya tetap berjalan.
Tak cuma itu, Jumhur juga pernah mengajukan draf revisi Peraturan Presiden Nomor 81/2006 tentang BNP2TKI. Dalam draf itu, Jumhur antara lain menginginkan agar dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya tak lagi dikoordinasikan oleh Menteri Tenaga Kerja, melainkan oleh menteri koordinator. Ia juga mengusulkan agar Presiden menghapus Direktorat Penempatan TKI Luar Negeri serta ingin diberi wewenang untuk mengawasi, membina, dan mengevaluasi kinerja PPTKIS. Namun, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, yang menelaah draf tersebut, menolak semua usulan dan keinginan Jumhur. Akhirnya, pada 12 Februari 2009, Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Gaspermindo), yang didirikan dan pernah dipimpin Jumhur, mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Hingga tulisan ini dibuat, Mahkamah belum menerbitkan keputusan.
Secara awam, kita dapat mengukur peluang dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut. Dari segi pemohon, dengan merujuk pada Pasal 10 UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, jelas disebutkan bahwa pelaksana penempatan TKI terdiri atas pemerintah dan PPTKIS. Sedangkan peraturan menteri yang ditolak dan diujimaterikan, secara khusus mengatur penempatan dan perlindungan TKI yang dilaksanakan oleh PPTKIS. Termasuk perusahaan yang menempatkan TKI untuk kepentingan perusahaan sendiri dan TKI yang bekerja di luar negeri secara perorangan. Sedangkan pelaksanaan penempatan TKI oleh pemerintah (BNP2TKI) diatur dalam peraturan pemerintah. Begitupun Gaspermindo bukanlah PPTKIS atau bukan perusahaan yang menempatkan TKI untuk kepentingan perusahaan sendiri.
Di luar aspek legal standing (kedudukan hukum) pemohon, penulis ingin mengulas Pasal 94 ayat 3 UU No. 39/2004 bahwa BNP2TKI merupakan lembaga pemerintah nondepartemen yang bertanggung jawab kepada presiden. Atas dasar ini, Jumhur menolak berkoordinasi dan bertanggung jawab kepada Menteri Tenaga Kerja. Padahal yang melantik dirinya pada 11 Januari 2007 tak lain Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Jumhur sepertinya tak paham, ada Pasal 25 ayat 2 UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara. Aturan ini menyebutkan, lembaga pemerintah nonkementerian berkedudukan di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri yang mengkoordinasikan. Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 tentang BNP2TKI pun sebetulnya tegas menyatakan, dalam melaksanakan fungsi dan tugas, BNP2TKI dikoordinasikan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Andai berbagai aturan dicermati secara menyeluruh dan Presiden tegas bersikap serta cepat dalam mengambil keputusan, sebetulnya masalah ini tak perlu sampai ke Mahkamah Agung. Kenapa Presiden Yudhoyono tak tegas dan cepat memutuskan status Jumhur? Ada kemungkinan ini untuk menjaga citra karena Presiden telah keliru memilih orang. Juga sangat bisa dipahami karena Presiden telah disibukkan oleh persoalan lebih besar: memperpanjang masa bakti untuk periode kedua yang lebih berat.
Sejak awal, Menteri Erman Soeparno pun seharusnya meniru ketegasan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Kita tahu, ahli jantung ini dikenal reaksioner, keras, dan berani melawan arus. Tak cuma mencopot Kepala BPOM dan Direktur Utama PT Askes yang dianggap tak sejalan dengan kebijakannya, ia juga menggugat proyek Namru milik Amerika Serikat yang telah tiga dasawarsa bercokol. Tapi, entah kenapa, Erman sepertinya tak mau konfrontatif. "Saya tak mau ikut-ikutan gendheng," begitu arek Purworejo yang disokong Partai Kebangkitan Bangsa itu berkilah.
Terlepas dari itu semua, apa pun keputusan Mahkamah kelak, penanganan terhadap TKI harus benar-benar transparan. Jauh dari berbagai pungutan liar yang membebani mereka. Sudah menjadi rahasia umum, sejak awal proses penempatan sampai pemulangan, TKI terbebani oleh berbagai biaya yang tidak jelas pertanggungjawabannya.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/31/Opini/krn.20090331.161031.id.html
Jumhur Hidayat Versus Menteri Tenaga Kerja
Written By gusdurian on Selasa, 31 Maret 2009 | 10.52
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar