BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Swasembada dan Impor Daging Sapi Brasil

Swasembada dan Impor Daging Sapi Brasil

Written By gusdurian on Selasa, 31 Maret 2009 | 10.49

Swasembada dan Impor Daging Sapi Brasil
Mufid A. Busyairi
Anggota Komisi IV (Pertanian, Kehutanan, Kelautan-Perikanan) Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Kebangkitan Bangsa

Salah satu kegemaran Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu adalah membuat target-target definitif. Ada target swasembada kedelai, swasembada gula, swasembada daging sapi, swasembada jagung, dan go organic. Tetapi hampir semua target itu meleset. Ketika itu terjadi dengan mudah, pemerintah mengundurkan tahun pencapaian. Naga-naganya, hal ini juga akan terjadi pada target swasembada daging sapi pada 2010.

Populasi sapi potong Indonesia terus menurun. Pada 1998, populasi sapi potong masih 12,8 juta ekor, tapi pada 2008 tinggal 10,2 juta ekor. Artinya, rasio sapi dengan penduduk cuma 0,049 ekor per orang, jauh dari rasio di Brasil: 1,75 ekor per orang. Padahal kebutuhan daging sapi terus meningkat. Data Ditjen Peternakan Departemen Pertanian menunjukkan, neraca produksi daging sapi pada 2008 diperkirakan hanya memenuhi 64,9 persen kebutuhan atau masih kurang 135.110 ton (35,1 persen) daging. Kadin mencatat, tiap tahun masyarakat Indonesia membutuhkan 350-400 ribu ton daging sapi. Jumlah itu setara dengan 1,7-2,2 juta ekor sapi potong. Tapi jumlah sapi yang dilahirkan hanya 1,5 juta ekor per tahun. Lambatnya kelahiran anak sapi inilah penyebab terus menurunnya populasi sapi potong.

Program swasembada daging sapi adalah bagian tak terpisahkan dari program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang dicanangkan Presiden Yudhoyono pada 11 Juni 2005. Program ditempuh lewat dua pendekatan utama: tanpa upaya percepatan (reguler) dan dengan percepatan menggunakan aneka terobosan. Targetnya, memenuhi kebutuhan minimal protein hewani asal daging 10,1 kilogram per kapita per tahun, yang saat ini baru dicapai sekitar 8 kg per kapita per tahun. Sedangkan kontribusi daging sapi baru mencapai 1,84 kg/kapita/tahun (2007). Dari program tersebut diharapkan kontribusi daging sapi akan mencapai sekitar 2 kg per kapita per tahun pada 2010. Sayangnya, sejak dicanangkan hingga kini, program tersebut jauh dari membumi alias masih sebatas wacana. Berbagai rencana tindak program masih bersifat di awang-awang, dan bahkan sulit diimplementasikan.

Dalam kondisi demikian, pemerintah melalui Departemen Pertanian berinisiatif membuka impor daging sapi dari Brasil dengan mengubah kebijakan dari berbasis negara (country base) jadi basis zona (zone base). Selama ini impor daging dipasok dari Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat. Diduga pelaku impor melakukan persekongkolan bisnis sehingga terbentuk pasar oligopoli. Indikasinya, harga daging impor begitu mahal saat dijual di dalam negeri. Tapi apakah ini cukup valid jadi alasan untuk mengorbankan peternakan dan keamanan jiwa masyarakat kita? Bukankah Brasil belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK)? Apa jadinya jika Indonesia yang bebas PMK kembali tertulari?

Hasil audit Departemen Pertanian (2008) menunjukkan, 16 negara bagian di Brasil bebas PMK dengan vaksinasi, 1 negara bagian bebas PMK tanpa vaksinasi, dan 14 negara bagian masih tertular PMK. Mengacu pada standar tingkat risiko yang ditoleransi seperti tertuang dalam SK Mentan No 260/1986, Resolusi Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) No. XVII/2008, dan Permentan No. 61/2007 tentang persyaratan pemasukan karkas, daging, dan jeroan dari luar negeri, syarat risiko di negara asal harus level risiko yang dapat diabaikan (negligible risk). Menurut hasil Tim Analisis Risiko Independen (TARI) yang dibentuk Deptan (2008), impor daging tanpa tulang dari zona bebas tanpa vaksinasi risikonya amat sangat rendah (extremely low), jika dari zona bebas dengan vaksinisasi risikonya sangat rendah (very low). Ini menunjukkan, meskipun impor didatangkan dari zona bebas PMK tanpa vaksinasi sekalipun, pada hakikatnya risikonya masih tetap ada.

Inilah yang menjadi concern Komisi IV DPR. Untuk memenuhi konsumsi daging domestik tidak selayaknya pemerintah mengabaikan prinsip kehati-hatian. Sebab, kalau salah mengambil kebijakan, akibatnya bisa amat fatal bagi peternak, warga, dan ekonomi bangsa. Risikonya amat serius bagi bangsa, baik secara ekonomi maupun sosial. Atas dasar itulah Komisi IV DPR meminta Deptan menghentikan semua proses terkait dengan rencana mengubah kebijakan impor daging sapi: dari berbasis negara menjadi berbasis zona. Deptan juga diminta melibatkan semua pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan. Apalagi Komisi IV baru saja menyelesaikan pembahasan RUU Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang bertujuan melindungi dan mengembangkan usaha peternakan nasional, melindungi kesehatan ternaknya, dan pasti melindungi kesehatan masyarakat dari ancaman tertular penyakit yang bersumber dari ternak.

PMK merupakan penyakit hewan yang ganas dan licik. Penyakit ini menyerang hewan berkuku genap, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, gajah, jerapah, dan rusa. Virus bisa terbawa angin dan menyebar sampai radius 250 kilometer. Ternak yang terserang PMK mulut dan kuku bisa melepuh, sehingga membuat tingkat konsumsi dan produksi turun. Kerugian akibat PMK tidak kecil. Sebagai gambaran, dalam kasus PMK di Inggris pada 2001, dimusnahkan 4,22 juta ekor ternak (582 ribu ekor sapi, 3,487 juta ekor domba, 146 ribu ekor babi, 3.000 ekor kambing, 1.000 ekor kijang, dan 1.000 ekor ternak lain). Pemerintah Inggris mengeluarkan biaya US$ 9,2 miliar atau Rp 110,4 triliun (kurs Rp 12 ribu per dolar) untuk menanggulangi masalah itu (Tim Risk Analysis Deptan, 2008).

PMK di Indonesia pertama kali ditemukan pada sapi perah impor asal Belanda di Malang pada 1887. PMK kemudian menyebar ke seluruh Jawa dan luar Jawa. Setelah bekerja keras dengan vaksinasi massal, baru 100 tahun kemudian Indonesia dinyatakan bebas PMK. Ini juga diakui oleh OIE pada 1990 yang dikukuhkan kembali pada 2008. Kerugian ekonomi menangani PMK selama 100 tahun, menurut Ditjen Peternakan (2002), mencapai US$ 1,66 miliar (Rp 19,92 triliun).

Kenaikan harga daging tak selayaknya disikapi dengan membuat kebijakan yang melempengkan impor. Sebaliknya ini harus dijadikan momentum membangun basis industri peternakan lokal. Secara ekonomi, impor tak hanya menguras devisa, tapi juga membuat ketergantungan pada pasokan luar negeri tak pernah diputus. Padahal, setiap impor satu ton daging dan masuk ke pasar tradisional, kita kehilangan 12 orang pekerja atau buruh (Tawaf, 2009). Tak salah, saat audiensi di DPR, ada peternak berteriak, "Impor sama saja membunuh kami pelan-pelan." Ketika pemutusan hubungan kerja marak dan jumlah pengangguran tinggi, seharusnya kita merakit aneka kebijakan yang bisa menciptakan lapangan kerja.

Pertama, menstimulasi usaha pembibitan dengan breed lokal. Selama ini ada sejumlah kendala peternak sapi lokal: tingkat pertambahan bobot badan dan pertumbuhan sapi rendah, dan lamanya jarak beranak sapi. Sapi Bali merupakan breed sapi asli Indonesia yang berpotensi besar dikembangkan. Dibandingkan dengan breed lain, perkembangan sapi Bali amat cepat, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan dan beradaptasi di lingkungan baru, dan beranak setahun sekali serta mampu beranak sampai 15 kali tanpa loyo. Salah satu yang bisa didorong adalah program LM3 (lembaga mandiri yang mengakar di masyarakat) berbasis pesantren dan non-pesantren yang telah terbukti.

Kedua, menghindari memotong sapi atau kambing muda. Memang, sapi apalagi kambing yang muda rasanya lebih lezat. Tapi pemotongan saat muda menyia-nyiakan potensi daging yang bisa didapat. Ketiga, jika yang muda tidak dipotong dulu, yang betina dilarang dipotong. Tetapi sangat tidak adil jika pemilik sapi betina hanya dilarang. Pemerintah harus menyediakan dana untuk membeli ternak betina jika ada yang mau jual untuk keperluan. Keempat, mendiversifikasi sumber protein dari luar daging sapi. Di luar daging sapi, ada daging ayam telur dan ikan yang kandungan gizinya tinggi. Dan, last but not least, adalah meningkatkan mutu dan jenis ternak melalui penelitian untuk memperoleh jenis ternak yang cepat beranak, apalagi bisa beranak lebih dari satu, cepat besar, tahan penyakit. Ya, seperti penelitian varietas padilah.

Memang perlu direnungkan, siapa yang dirugikan saat harga daging mahal? Rakyat miskin? Daging sapi hanya dikonsumsi oleh 12,5 persen warga kota dan 3,9 persen warga desa (Susenas, 2005). Karena itu, mahalnya harga daging sapi tidak perlu disikapi secara panik dengan membuat kebijakan yang melonggarkan impor daging dari wilayah berisiko. Selayaknya kita berpegang pada kaidah fikih: dar-ul mafaasid muqoddamun 'alaa jalbilmasholih. Arti implementatifnya, menghindari kemungkinan masuknya PMK lebih diutamakan daripada impor daging dari Brasil untuk memenuhi kebutuhan protein.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/31/Opini/krn.20090331.161030.id.html
Share this article :

0 komentar: