BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Jangan Asal Contreng

Jangan Asal Contreng

Written By gusdurian on Selasa, 31 Maret 2009 | 11.26

Jangan Asal Contreng
Siapa yang layak saya pilih? Pertanyaan seperti ini sedang mewabah di kalangan warga Indonesia, dan bukan perkara mudah untuk menemukan jawabnya. Terutama ketika jumlah partai dan calon legislator begitu banyak.

Menghadapi tantangan ini, segelintir warga telah menyuarakan niat mengibarkan bendera putih. Ketimbang repot berpikir dan menanggung risiko kecewa karena salah menyalurkan dukungan, kelompok ini merasa lebih baik tak berpartisipasi dan memanfaatkan libur panjang pekan ini untuk kegiatan lain. Pilihan ini tidak melanggar hukum, tapi mencederai kualitas demokrasi kita.

Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang meletakkan kekuasaan tertinggi pada aspirasi mayoritas warga. Itu sebabnya tugas merawat sistem ini pun berada di pundak orang ramai. Derajat keberhasilan demokrasi sebagai instrumen untuk menyejahterakan rakyat juga amat bertumpu pada besarnya kepedulian masyarakat. Tolok ukur paling kasatmata tentang kepedulian ini adalah tingkat partisipasi dalam proses pemilihan umum, baik dari sisi keikutsertaan maupun keseriusan menentukan pilihan.

Pertanggungjawaban warga atas kualitas wakil rakyat di parlemen nasional maupun lokal semakin besar setelah Mahkamah Konstitusi mengubah mekanisme penentuan peringkat calon anggota legislatif yang dahulu ditetapkan partai menjadi berdasarkan jumlah suara yang diperoleh. Keputusan para hakim lembaga terhormat ini seperti kata-kata George Bernard Shaw, aktivis politik dan dramawan termasyhur Inggris, "Demokrasi mengubah cara menentukan penguasa dari penunjukan oleh kelompok kecil yang korup menjadi pemilihan oleh orang banyak yang tak kompeten."

Kutipan kritis G.B. Shaw itu terlontar karena rasa frustrasinya terhadap apatisme dan ketidakacuhan kaum pekerja Inggris yang amat miskin pada akhir abad ke-19 dalam menggunakan hak politik mereka. Akibatnya, hasil sistem demokrasi saat itu hanya menguntungkan golongan berpunya, yang sebetulnya secara demografis adalah kelompok minoritas. Untuk menangkalnya memang tak mudah, tapi bukan pula suatu mission impossible. Menapak tilas G.B. Shaw adalah salah satu caranya. Negarawan ini menolak cara reformasi kelompok Federasi Sosial Demokrat, yang menghalalkan cara kekerasan dan memilih aktif di gerakan Masyarakat Fabian, yang percaya reformasi harus dilakukan secara bertahap dan melalui jalan damai.

Sebagai penulis andal, G.B. Shaw menyebarluaskan gagasannya melalui surat kabar, jurnal, dan penyebaran pamflet. Ia aktif membantu terbentuknya partai buruh dan menulis novel serta mementaskan drama sebagai alat pendidikan politik bangsanya. Peraih Nobel sastra ini menyumbangkan hadiahnya untuk membiayai penerjemahan buku-buku bermutu Swedia--yang ketika itu dianggap amat progresif--ke bahasa Inggris.

Semua ini dilakukannya karena keyakinan bahwa sistem demokrasi adalah wahana yang paling logis dalam mentransformasikan sebuah bangsa yang mayoritas rakyatnya miskin menjadi sejahtera. Keyakinan itu kini terbukti dan seharusnya menginspirasi kita untuk melakukan hal yang sama.

Ada kalimat bijak yang sering dikutip, "Lebih baik menyalakan sebatang lilin ketimbang mengumpat kegelapan". Memilih dengan serius dapat diibaratkan menyalakan sebatang lilin. Bayangkan betapa terang-benderangnya masa depan bangsa ini bila semua pemilih, yang jumlahnya lebih dari 170 juta itu, menggunakan hak politiknya dengan saksama.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/30/Opini/krn.20090330.160968.id.html
Share this article :

0 komentar: