BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Dokter-Dokter Top di Surabaya

Dokter-Dokter Top di Surabaya

Written By gusdurian on Minggu, 15 Maret 2009 | 14.34

Dokter-Dokter Top di Surabaya

Seratus dokter di Indonesia dipilih sebagai yang paling baik oleh majalah Campus Asia. Lima di antara mereka dari Surabaya. Inilah para dokter top itu.

PROF Dr Med Paul L. Tahalele dr FCTS FINACS merupakan salah seorang di antara seratus orang terbaik di bidang medis versi Campus Asia tersebut. Dia lahir di Mataram, 4 Maret 1948. Oleh majalah tersebut, Paul dimasukkan dalam kategori Newsmaker in Special Cases. Ya, sesuai kategori tersebut, dia digolongkan sebagai dokter yang kerap jadi bahan berita. Terutama pada kasus-kasus medis spesial.

Pada kategori itu, Paul berada di nomor empat. Dia tepat di bawah Menteri Kesehatan dr Fadilah Supari SpJP. Oleh majalah tersebut, Paul diberi poin 79,3. Poin itu dihasilkan dari penilaian beberapa kriteria. Di antaranya, gaung prestasi, pengembangan kemampuan, sikap dan kepribadian, kontribusi sosial, hingga ukuran apakah dokter tersebut bisa menjadi role model (contoh) di masyarakat.

Rasanya, prestasi itu tidak salah. Paul memang layak ditempatkan dalam deretan orang-orang terbaik. Sebab, spesialis bedah toraks dan kardiovaskuler tersebut memang kerap menangani kasus khusus di bidang jantung. Sebut saja, kasus ectopia cordis atau jantung yang berada di luar tubuh, patent ductus arteriosus yang diidap bayi seberat 900 gram, hingga pasien dengan otot jantung menggelembung. Dan sebagian besar kaus tersebut memang sukses ditangani.

Sejatinya, Paul tak pernah bercita-cita jadi dokter. Pria yang SMA di Malang itu bercita-cita menjadi pilot. Namun, jalur nasib memang membawa suami drg Kustiani Hartiningsih tersebut ke jalur medis. Tamat SMA, Paul diterima di tiga universitas sekaligus. Yakni, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, dan Universitas Airlangga (Unair). Semua jurusannya sama. Kedokteran.

Paul akhirnya memilih Unair. Dia kuliah pada 1967-1975. Setelah itu, dia melanjutkan ke Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) bagian ilmu bedah. Paul lulus pada 1981. Enam tahun kemudian, dia melanjutkan studi ke Erlangen Nuremberg University, Jerman.

Pilihan ilmu tersebut bukan tanpa alasan. Menurut dia, menjadi dokter bedah cocok dengan karakteristik sifatnya. Paul adalah tipe pekerja cepat. Dan pembedahan memang seharusnya berlangsung seperti itu. Cepat dan tepat.

Lalu, dia memilih jantung lantaran organ tersebut istimewa. Itulah pusat kehidupan manusia. Bila jantung tak berfungsi dengan baik, kehidupan manusia akan terganggu. ''Suatu kebahagiaan tersendiri bila kita mampu memperbaiki jantung yang rusak,'' katanya.

Jejak sulung di antara lima bersaudara tersebut diikuti tiga adiknya. Sama-sama mengambil sekolah kedokteran. Juga di Unair. Jadilah ayah Paul menyekolahkan empat anak di jurusan kedokteran, salah satu yang dikenal banyak menyedot biaya. Padahal, ayah Paul adalah pensiunan pegawai negeri. Maka, untuk menyiasati pengeluaran, Paul berusaha hemat. Mengurangi biaya kos, dia tidur di kantin.

Masa menjadi mahasiswa yang penuh perjuangan tersebut mengasah jiwa sosial Paul. Begitu lulus, dia aktif melakukan pelayanan-pelayanan ke daerah terpencil dan sulit. Salah satu misi yang berkesan adalah perjalanannya ke wilayah perang di Timor Timur (sekarang Timor Leste) pada 1975. Tim dokter yang terdiri atas 12 orang membawa bantuan medis untuk para pengungsi perang.

Paul didapuk menjadi ketua. ''Prof Kwari (Rektor Unair Prof dr R Kwari Satjadibrata SpA, Red) yang memerintah kami pergi ke Timor Timur,'' ujarnya. Kala itu belum ada satu pun bantuan medis yang diterjunkan di daerah konflik tersebut. Unair berinisiatif mengirimkan bantuan untuk pengungsi.

Menggunakan kapal medis KM Mandalika, perjalanan tersebut, kata Paul, tidak mudah. Kapal yang dipinjamkan oleh Administrator Pelabuhan (Adpel) Surabaya itu sempat mengalami mati mesin selama enam jam di atas Perairan Lombok. Para penumpangnya pun gelisah tanpa kepastian.

Menginjak Selat Timor, ombak tinggi menerjang. Kapal oleng. Beruntung, semua bisa dilalui dengan selamat. Meski begitu, cobaan belum mandek. Ketika sampai di perairan perbatasan Indonesia dan Timor Timur, rombongan kemanusiaan tersebut ternyata tidak diperbolehkan masuk. ''Kami harus kembali ke Kupang untuk minta izin masuk ke wilayah perang,'' ungkapnya.

Sebulan di area peperangan memberikan pengalaman berkesan untuk Paul. Hidup penuh tekanan di bawah desing peluru. Para dokter juga selalu siaga merawat pengungsi yang terus-menerus menyesaki base camp. Tim tersebut harus berjaga bergantian agar seluruh pasien yang datang bisa ditangani. ''Juga, agar kami tidak sakit,'' katanya.

Yang tidak akan pernah dilupakan Paul adalah ketika mereka harus menangani kasus persalinan. Berkat pertolongan yang sigap, si jabang bayi lahir ke dunia dengan selamat. Sebagai tetenger sekaligus mengenang jasa para penolongnya, bayi tersebut diberi nama Airlangga Beretai.

Perjalanan kemanusiaan dalam rangka program Surya Bhaskara Jaya TNI-AL di Irian Jaya (Papua) pada 1993 juga memberi kesan mendalam pada Paul. Kegiatan tersebut berfokus pada pelayanan kesehatan bagi penduduk pulau terpencil di wilayah timur Indonesia tersebut. Khususnya pelayanan tindakan bedah. Misalnya, operasi hernia atau patah tulang.

Namun, sungguh di luar rencana, di Pulau Burung tersebut Paul juga harus melakukan tindakan bedah jantung untuk anak. ''Lha kok kebetulan, saya sempat membawa peralatan bedah jantung. Padahal, mulanya saya hanya iseng saja,'' ujarnya.

Hal senada, tampaknya, juga dilakukan rekan sejawatnya, Herlin Megawe. Tanpa rencana, ahli anestesi tersebut membawa peranti alat bantu napas untuk anak. Operasi tidak hanya dilakukan pada seorang bocah, tapi langsung dua. Yaitu, Ida yang masih berusia 3 tahun dan Stefanus yang baru 1 tahun. Operasi yang dihelat di RSU Jayapura Dok 2 tersebut berlangsung lancar. ''Saya merasa ini adalah mukjizat. Sebab, siapa sangka saya dan Herlin membawa peralatan bedah jantung,'' terangnya.

Melihat iklim dunia kedokteran sekarang, Paul sering mengelus dada. Sebab, banyak dokter yang mulai mengabaikan sisi kemanusiaan. Banyak di antara mereka yang bahkan lebih tergiur pada materi ketimbang mengobati pasien. ''Dalam sumpah dokter itu jelas sekali. Profesi ini sangat menuntut kecintaan besar pada sesama manusia,'' tegasnya. (ign/nur/dos)

http://jawapos.com/metropolis_weekend/index.php?act=detail&nid=57076
Share this article :

0 komentar: