BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pola Kampanye Para Caleg

Pola Kampanye Para Caleg

Written By gusdurian on Minggu, 15 Maret 2009 | 14.32

Pola Kampanye Para Caleg

Panggung Hiburan Gaya Narsistik

Oleh Ratna Noviani *

Menjelang berlangsungnya Pemilu Legislatif 9 April 2009, perang iklan para caleg semakin gila-gilaan. Lewat iklan, khususnya dalam bentuk baliho atau poster, mereka berusaha menarik perhatian calon pemilih agar memilih dirinya dan partai yang menaunginya.

Selain persoalan pemasangan yang amburadul dan sangat mengabaikan pertimbangan estetika, iklan-iklan kampanye caleg pada dasarnya sangat seragam dan cenderung membosankan. Iklan-iklan itu lebih banyak menonjolkan nama caleg, partai, nomor urut, dan tentu saja foto diri yang ukurannya memakan 2/3 bagian dari keseluruhan teks iklan.

Banyak caleg yang kelihatan tidak memiliki visi dan konsep yang jelas, selain hanya menjual wajah dan senyum semata. Kalau ajakan persuasif dicantumkan, isinya cenderung klise dan tanpa alasan yang jelas.

Sulit menemukan iklan yang memuat program kerja yang mampu menggambarkan inner quality dan integritas si caleg. Akibatnya, iklan-iklan kampanye caleg tak lebih dari display citra-citra narsistik individual yang ditandai dengan potret diri ala selebriti dengan pose yang dibuat secantik dan segagah mungkin.

Gaya berkampanye para caleg yang mengedepankan citra dan penampilan luar itu menunjukkan bahwa dunia politik di Indonesia tak lebih dari panggung hiburan yang sarat gaya narsistik. Christopher Lasch (1979) dalam diskusinya tentang budaya narsisme menyebutkan bahwa pengakuan (dari orang lain) yang didasarkan pada penampilan dan citra eksternal individu menjadi sumber kesenangan utama dalam masyarakat.

Tampilan diri secara fisik, dalam hal ini, sering menjadi ukuran kepuasan dan keberhasilan diri serta menjadi ukuran bahwa seseorang lebih atau kurang dari orang lain.

Selain itu, individu yang narsis merasa dirinya berharga, berkualitas, dan feel alive jika khalayak menatapnya, terkesan padanya, dan bahkan memujanya. Karakter ala selebriti seperti ini banyak dimiliki politisi kita yang mengedepankan display fisik dan manajemen impresi.

Banyak politisi kita yang hanya asyik memoles tampilan fisiknya, sementara agenda dan pemikiran politik yang justru krusial bagi kemajuan bangsa malah dilupakan.

Tak heran jika politisi lebih banyak menampilkan diri (perform) daripada melayani masyarakat (serve). Persis seperti yang tecermin dalam iklan-iklan caleg yang bertebaran saat ini. Alih-alih mengajak calon pemilih untuk mengenal dan menggauli pemikiran si caleg, iklan-iklan tersebut justru asyik mengajak khalayak untuk melihat wajah si caleg atau mengingat-ingat nomor urut agar tidak bingung ketika hari pemilu tiba.

Ada, misalnya, caleg yang beriklan "Dengan menatap foto saya saja, saya sudah suka....". Atau, caleg yang mengklaim dirinya muda dan pintar bak David Beckham. Jelas sekali, bukan ide dan pemikiran cerdas yang ditawarkan kepada pemilih, tapi identitas diri yang mengacu pada tampilan luar yang lebih dianggap penting untuk memperoleh simpati calon pemilih.

Politisi narsis seperti itu cenderung merasa kurang atau bahkan tidak bisa hidup tanpa pengakuan dan pujian orang lain. Akibatnya, pemasangan foto atau potret diri menjadi salah satu cara yang dianggap jitu untuk mendongkrak popularitas.

Lama Menjamur

Sebetulnya budaya narsis model pasang foto itu sudah lama menjamur di Indonesia. Mulai sekolah hingga kantor pemerintah, tidak sulit mendapati foto diri pejabat yang terpasang di dinding, misalnya foto presiden maupun foto wali kota atau camat yang sedang menjabat. Jarang sekali kita menemukan kutipan pemikiran para pejabat atau tokoh besar Indonesia yang dipasang di dinding agar menjadi sumber inspirasi atau spirit kerja bagi masyarakat.

Padahal, di Eropa lebih mudah menemukan kutipan pemikiran tokoh besar setempat daripada menemukan potret dirinya. Misalnya, sepenggal gagasan Nietzsche (bukan fotonya) bisa ditemui di dinding stasiun kereta di kota kecil di Jerman, atau gedung balai kota justru tidak memasang foto wali kotanya, tetapi memilih sebaris kalimat dari Konrad Adenauer, kanselir Jerman pertama, sebagai sumber inspirasi bagi kinerja mereka.

Di Barcelona, pemikiran arsitek kebanggaan mereka, Antonio Gaudi, juga mudah ditemukan. Dengan kata lain, masyarakat diajak untuk lebih mengenal dan menggauli pemikiran individu daripada hanya mengenal penampilan fisiknya. Pemikiran dan ide itulah yang berperan lebih besar dalam mendefinisikan identitasnya. Bukan penampilan eksternal semata.

Kalah dari Fisik

Sayang, di negara kita, popularitas fisik masih menjadi andalan utama daripada popularitas ide atau gagasan. Dari iklan-iklannya, para caleg pun kelihatan tak mampu keluar dari belenggu mental narsis itu. Bahkan, agar dilirik lebih banyak khalayak, beberapa caleg tanpa malu menumpang popularitas orang lain. Ada yang berpose bersama Presiden terpilih Amerika Barack Obama, ada yang memasang foto David Beckham (padahal tidak ada hubungannya sama sekali dengan isu pemilu), atau bahkan mencatut nama anaknya sendiri yang jadi penyanyi ngetop ibu kota.

Sulit dibayangkan, bagaimana orang-orang seperti itu mampu mengemban amanat rakyat kalau nanti terpilih sebagai anggota legislatif jika menjadi dirinya sendiri saja dia tidak mau dan tidak mampu.*

*. Dr Ratna Noviani, dosen Komunikasi dan Kajian Media UGM. Alumnus Institut fuer Medienwissenschaft, Ruhr-Universitaet Bochum, Jerman


http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: