BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Yudhoyono-Kalla: Duet ke Duel?

Yudhoyono-Kalla: Duet ke Duel?

Written By gusdurian on Kamis, 12 Februari 2009 | 12.33

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memberikan klarifikasi bahwa tidak ada persoalan dalam relasi Partai Demokrat (PD) dengan Partai Golkar.


Hubungan kedua partai tetap ”baik” dan ”bersahabat”. Namun mengapa klarifikasi tidak mencakup pula masa depan duet Yudhoyono-Kalla pada pemilu presiden (pilpres) mendatang? Klarifikasi Yudhoyono secara langsung itu berkaitan dengan pernyataan Wakil Ketua Umum PD Ahmad Mubarok yang dianggap melecehkan Golkar.

Di tengah acara Rapimnas PD, Mubarok memperkirakan perolehan suara Golkar bisa saja turun drastis hingga 2,5% sehingga belum waktunya membicarakan calon wakil presiden (cawapres) atau koalisi. Pernyataan Mubarok kemudian direspons dengan keras oleh Wapres yang juga Ketua Umum DPP Golkar Jusuf Kalla yang tengah berada di Den Haag,Belanda.

Sebagai Ketua Dewan Pembina PD,Yudhoyono tampaknya merasa perlu memberikan klarifikasi untuk menjaga dan mempertahankan kerja samanya dengan Golkar dan Kalla hingga akhir masa jabatan mereka. Namun sungguh menarik bahwa pada kesempatan yang sama Yudhoyono tidak sekaligus memberi klarifikasi bahwa pada Pemilu 2009 dia masih ingin melanjutkan duet kepemimpinannya bersama Kalla.

Padahal, kelangsungan duet Yudhoyono-Kalla merupakan isu sentral yang akan memengaruhi pola koalisi partaipartai pada pilpres mendatang. Selain itu, respons Yudhoyono diperlukan Golkar dan Kalla untuk memastikan, apakah partai beringin maju dengan calon presiden (capres) sendiri atau melanjutkan mendukung Yudhoyono.

PD Jual Mahal

Oleh karena itu,jumpa pers khusus yang digelar Yudhoyono di kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor, Selasa malam itu bisa juga ditafsirkan lain. Pertama, di satu pihak Presiden Yudhoyono hendak meyakinkan jajaran Partai Golkar bahwa PD tidak ingin ditinggalkan oleh partai warisan Soeharto tersebut.

Dalam bahasa lain, PD akan kecewa jika Golkar kembali berkoalisi dengan PDI Perjuangan seperti pada Pilpres 2004. Kedua,di pihak lain,meskipun PD merasa membutuhkan Golkar, kalangan PD tampaknya tidak ingin koalisi di antara mereka lebih dikendalikan oleh Golkar.

Keputusan untuk tidak menyebut nama cawapres pendamping Yudhoyono,baik dalam Rapimnas PD yang lalu maupun pada jumpa pers Selasa malam, tampaknya didesain agar Golkar lebih bergantung kepada PD ketimbang sebaliknya. Artinya, PD hendak mempertinggi daya tawar politiknya dalam berhadapan dengan Golkar ketimbang sebelumnya.

Ketiga,apabila dalam pemilu legislatif mendatang perolehan suara PD lebih signifikan,sementara suara Golkar benar-benar turun dibandingkan pada Pemilu 2004, bagi Yudhoyono tidak ada lagi legitimasi politik Golkar untuk menuntut porsi menteri kabinet lebih banyak dibandingkan partai-partai lain seperti fenomena Kabinet Indonesia Bersatu saat ini.

Singkatnya, melalui jumpa pers Cikeas, Yudhoyono tak hanya mengambil posisi jual mahal dalam berhadapan dengan Golkar, melainkan juga ingin mengatakan bahwa ”kartu permainan” Pilpres 2009 kini berada di tangan mereka.

Menuju Duel?

Apabila analisis di atas mendekati benar, masa depan duet Yudhoyono- Kalla tampaknya berpotensi menjadi ”duel”.Jumpa pers Cikeas yang sama sekali tidak merespons kesediaan Kalla berpasangan kembali dengan Yudhoyono––seperti diisyaratkan Kalla ketika berada di Eropa––bisa menjadi amunisi bagi elite Partai Golkar untuk benar-benar menarik dukungan partai beringin terhadap Yudhoyono.

Sebagai partai lebih senior dengan segudang politikus lebih berpengalaman, Golkar tentu tidak akan menerima begitu saja skenario politik PD dan Yudhoyono. Karena itu, rapat konsultasi nasional yang digelar pada 18–19 Februari 2009 ini tampaknya akan menjadi momentum bagi Golkar untuk memperbaharui kembali posisi politik mereka dalam berhadapan dengan Yudhoyono. Indikasi itu telah tampak dari inisiatif DPP Golkar yang meminta masukan pengurus daerah (DPD) agar mengirimkan usulan namanama capres untuk pemilu mendatang.

Pilihan Berisiko

Kecenderungan PD untuk menunda deklarasi cawapres pendamping Yudhoyono pada Pilpres 2009 di satu pihak membuat kalangan Golkar ”panik”. Bagi kalangan Golkar, partai warisan Soeharto ini sebenarnya merasa ”lelah”memberikan dukungan politik terhadap pemerintahan Yudhoyono.

Kelelahan Golkar ini pernah dinyatakan secara publik oleh Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR Priyo Budi Santoso. Sebagian elite Golkar bahkan merasa ”terpenjara” oleh koalisi Kabinet Indonesia Bersatu. Apalagi kini iklan kampanye PD mengklaim keberhasilan pemerintah seolah-olah hanya berkat kepemimpinanYudhoyono.

Namun, di pihak lain, pilihan Golkar untuk memajukan capres sendiri juga sangat berisiko karena seperti dikonfirmasi banyak survei, popularitas Kalla dan elite Golkar lain masih berada di bawah Yudhoyono dan Megawati. Pengecualian berlaku jika Golkar berkoalisi kembali dengan PDI Perjuangan pimpinan Megawati.

Risiko yang sama akan dihadapi PD dan Yudhoyono jika meninggalkan Golkar dan Kalla.Hampir bisa dipastikan, pemerintahan Yudhoyono tanpa dukungan Golkar akan menghadapi ”gangguan politik” yang signifikan di DPR. Pertanyaannya, siapkah Yudhoyono menghadapi risiko politik itu? Karena itu kini persoalannya terpulang kepada elite PD dan Golkar, apakah hendak melanjutkan duet Yudhoyono-Kalla atau sebaliknya, siap berduel pada pemilu mendatang.(*)

Syamsuddin Haris
Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/212882/
Share this article :

0 komentar: