BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mentradisikan Brutalitas?

Mentradisikan Brutalitas?

Written By gusdurian on Kamis, 12 Februari 2009 | 13.15

Mentradisikan Brutalitas?
Katamsi Ginano

Praktisi komunikasi dan business development
Ekspresi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat di foto-foto yang dipajang di halaman utama Koran Tempo, Rabu, 4 Februari 2009, sungguh membuat miris. Di salah satu foto terlihat wajahnya yang bergoyang dengan kepalan tinju melintang, yang tampaknya baru menghantam sang Ketua DPRD. Malang nian. Lepas dari keroyokan massa demonstran yang menyemut di gedung DPRD Sumatera Utara, yang menuntut pembentukan provinsi Tapanuli, Selasa, 3 Februari 2009, Abdul Aziz Angkat meninggal dunia. Menurut versi polisi, dia diduga meninggal akibat serangan jantung.

Apa pun penyebab kematiannya, yang tak terbantahkan sebelum saat-saat terakhir menjemput, Abdul Aziz benar menerima pukulan bertubi-tubi. Paling tidak itulah yang terlihat dari rekaman gambar yang dipublikasikan media, juga kesaksian anggota DPRD Sumatera Utara lain yang dikutip media.

Menyaksikan dan membaca meninggalnya Abdul Aziz Angkat, saya membayangkan The Autumn of the Patriarch (1975) karya Gabriel Garcia Marquez, pengarang realisme magis asal Kolombia peraih Nobel Sastra 1982. Seharusnya yang meninggal dengan cara yang tragis seperti itu bukanlah Ketua DPRD Sumatera Utara yang bahkan baru dua bulan menduduki jabatannya, melainkan diktaktor kejam sebagaimana tokoh yang ditulis Marquez di salah satu novel terkenalnya itu.

Politikus menemui ajal dengan tragis di negara-negara yang stabilitas politik dan keamanannya rapuh, di mana pihak yang berseberangan gemar main tembak atau bom, semisal beberapa negara di Amerika Latin, Eropa Timur, Timur Tengah, atau Asia, tetap saja menggetarkan hati. Apalagi di Indonesia, negeri yang dasar negaranya adalah Pancasila, tempat manusia seharusnya diperlakukan dengan beradab. Negeri di mana, kata Mochtar Lubis (Manusia Indonesia, Yayasan Obor, 2001), salah satu ciri manusianya adalah feodal: dan karenanya para pemimpin dipatuhi dengan pengabdian sepenuh hati. Negeri di mana orang-orangnya digambarkan welas asih dan santun berkat budaya luhur yang diwariskan sejak nenek moyang. Negeri di mana mayoritas penduduknya memeluk Islam; agama yang mengajarkan perbedaan pendapat adalah rahmat dan bahwa sebaik-baiknya manusia menyelesaikan urusannya adalah dengan musyawarah.

Apa yang terjadi kepada Ketua DPRD Sumatera Utara sama sekali bertolak belakang dengan gambaran tentang Indonesia dan penduduknya. Apalagi musababnya bukan masalah harga diri atau perkara hidup-mati yang mesti dipertahankan dengan kekerasan, bahkan nyawa. Penyebabnya cuma pemekaran wilayah, yang hingga hari ini sebagian besar justru dikhawatirkan hanya melahirkan "raja-raja" dan "dinasti" kecil.

Citra politikus di Indonesia yang terus merosot karena aneka skandal bisa jadi salah satu alasan mendasar mengapa masyarakat membenci mereka. Tapi ramai-ramai melayangkan bogem, apalagi terhadap ketua DPRD provinsi, jelas di luar akal sehat, kepatutan, dan norma masyarakat beradab. Namun, di manakah akar soalnya? Kealpaan dan ketidakprofesionalan aparat kepolisiankah, sebagaimana opini yang marak menyusul terjadinya peristiwa nahas itu?

Melihat model pengamanan terhadap Abdul Aziz, tudingan itu tak salah. Membiarkan Abdul Aziz berada di tengah massa yang beringas, tanpa perlindungan aparat yang dilengkapi alat bela diri memadai, minimal tameng dan pentungan, sungguh menunjukkan betapa amatirnya kerja polisi Indonesia. Jangan-jangan polisi memang cuma galak saat menindak pelanggar lalu lintas atau dalam operasi penertiban pedagang kaki lima?

Apalagi, saat massa beringas menghulu-balang Abdul Aziz, setahu saya tak ada satu bunyi peluru pun yang diletuskan. Apakah itu karena fobia polisi terhadap isu hak asasi manusia (HAM), yang telah menjadi senjata kalangan aktivis dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang advokasi, yang bagai mantra sihir ampuh sejak Reformasi 1998? Tapi, sejalan dengan itu, di manakah pula letak HAM Abdul Aziz Angkat dalam peristiwa yang merenggut nyawanya tersebut?

Hanya dengan 100 polisi sekalipun, bila mereka terlatih dan profesional, 2.000 massa demonstran seharusnya bukan halangan. Apalagi undang-undang dan pranata hukum di negeri ini tidak hanya memberi hak, tapi juga mewajibkan polisi mengambil tindakan tegas menegakkan ketertiban umum. Kalau seorang penjambret layak diberi hadiah timah panas, mengapa seorang--atau banyak--oknum demonstran yang menghajar Ketua DPRD tanpa ampun tidak layak dihadiahi peluru di dengkul?

Di lain pihak, menyalahkan polisi dan aparatnya semata bukanlah sikap adil. Sebab, sesungguhnya perilaku banal, beringas, dan tak beradab itu bukanlah sebuah proses yang mendadak dan terjadi begitu saja. Perilaku seperti itu, meminjam kata sosiolog dari Universitas Cambridge, Anthony Giddens, adalah hasil dari proses yang melahirkan masyarakat yang dia sebut sebagai post-tradisional (Living in A Post-Traditional Society, Polity Press, 1994).

Masyarakat seperti apa? Giddens, yang dipuji sebagai "pengamat sosial-politik internasional", kurang-lebih menggambarkan masyarakat post-traditional adalah mereka yang hidup di antara tarik-menarik tradisi dan budaya tradisional yang umumnya bertitik berat pada kolektivitas dengan modernisme yang bersifat individual. Nilai-nilai yang bahkan kerap saling bertolak belakang ini melahirkan masyarakat yang gamang. Yang harus bersiasat antara tarikan kolektivisme dan individualisme.

Singkatnya, menurut Giddens, hanya ada empat jalan untuk memecahkan benturan nilai kolektif dan individual, yaitu penanaman tradisi, keterlepasan dari tradisi lain yang dimusuhi, diskursus atau dialog, serta paksaan atau kekerasan. Apabila jalan pertama, kedua, dan ketiga gagal, katanya, "Di mana pembicaraan berhenti, kekerasan cenderung dimulai."

Telah berhentikah diskursus atau dialog hingga amuk massa demonstran di kantor DPRD Sumatera Utara yang berujung pada meninggalnya Abdul Aziz Angkat meletus? Sulit menyimpulkan mengingat banyak aspek lain yang lebih kontekstual dan faktual yang menyertai peristiwa tersebut. Utamanya aspek politis yang biasanya bersifat sesaat dan jangka pendek. Karena itu, ia boleh jadi memang adalah tindakan kriminalitas murni yang sama sekali tidak berkaitan dengan konteks yang dimaksudkan Antony Giddens.

Tapi tesis itu pun bisa keliru, mengingat brutalitas sebagaimana yang ditunjukkan massa demonstran di gedung DPRD Sumatera Utara bukanlah yang pertama. Sekadar mengingatkan, peristiwa yang lebih tragis pernah menimpa polisi yang mengamankan demonstrasi di Universitas Cenderawasih, Papua, pada 2006. Ketika itu, sang polisi tewas mengenaskan di tangan sejumlah demonstran, yang kejadiannya bahkan ditayangkan tanpa sensor oleh stasiun-stasiun televisi di negeri ini.

Berkaitan dengan peristiwa itu, lewat artikel "Pelajaran Membunuh Polisi" (Koran Tempo, Selasa, 20 Maret 2006), saya mengingatkan bahwa bukan tak mungkin di masa datang brutalitas yang sama akan dialami oleh jaksa, hakim, politikus, dan pemuka agama. Hampir tiga tahun kemudian, seorang politikus, Ketua DPRD Sumatera Utara, menjadi korban. Apakah kita perlu menunggu lebih banyak lagi korban yang jatuh hingga "tradisi buruk" ini berubah menjadi budaya sebelum mengambil tindakan tegas dan menyeluruh?

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/10/Opini/krn.20090210.156330.id.html
Share this article :

0 komentar: