BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Inong Gampong yang Menyelamatkan

Inong Gampong yang Menyelamatkan

Written By gusdurian on Kamis, 12 Februari 2009 | 13.17

Inong Gampong yang Menyelamatkan


Oleh Nawa Tunggal

Empat tahun lebih bagi Juwariah (39) sangat cukup untuk melupakan kepedihan atas hilangnya suami dan dua dari empat anaknya akibat tsunami yang menghantam Aceh pada Desember 2004. Bagi Juwariah kini saatnya terus memompa semangat untuk mandiri.

Ditemui di sebuah rumah sempit hasil rekonstruksi untuk relokasi para korban bencana gempa bumi dan tsunami di Desa Utamong, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Rabu (4/2), Juwariah tengah bergabung dengan kelompok anyaman tikar motif Aceh, Inong Gampong.

Di antara sekelompok ibu yang sedang malu-malu dilempari pertanyaan segenap wartawan maupun aktivis lembaga nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, Juwariah menuturkan, bekerja menganyam tikar seperti itu bukan lagi sekadar memulihkan batin atas kehilangan keluarga akibat tsunami. Pekerjaan harus mendatangkan pendapatan untuk menopang ekonomi keluarga.

”Pokoknya harus sibuk. Kegiatan menganyam tikar seperti ini dianjurkan para relawan yang menolong agar memulihkan kondisi batin kami,” kata Juwariah.

Anyaman sekee, istilah lokal untuk daun pandan berduri yang sudah dikeringkan dan banyak tumbuh di pantai, kemudian dijadikan tikar, wadah tisu, bantal, dan sebagainya itu tidak selamanya bisa langsung mendatangkan uang seperti diharapkan Juwariah. Untuk mencukupi kebutuhan harian, Juwariah mengakali dengan mencari untung dari memasak jajanan dan menitipkan sebagai dagangan di warung-warung desanya.

Juwariah yang kehilangan suami karena tsunami tidaklah sendirian di kelompok Inong Gampong. Anggota kelompok itu memang masih sedikit. Di antara 10 ibu anggota kelompok, beberapa ibu lain juga kehilangan suami akibat tsunami, seperti Rubama. Rubama kini harus mandiri dan menghidupi tiga anaknya.

Demikian juga dengan Faridah yang harus menanggung dua anaknya, serta Zanabun yang kehilangan suami dan tiga dari tujuh anaknya.

Diberi pelatihan

Pada 21 November hingga 1 Desember 2008, kelompok Inong Gampong diberi pelatihan inovasi anyaman tikar motif Aceh oleh lembaga donor, World Vision Indonesia.

Bagi anggota Inong Gampong dan juga sekitar 400.000 penduduk lainnya yang pernah mengungsi akibat tsunami, atau sekitar 4 juta penduduk NAD, sekarang saatnya bukan lagi memulihkan trauma batin atas kejadian tsunami. Mereka terus hidup di tengah persoalan yang makin kompleks di Serambi Mekkah itu.

Kompleksitas persoalan, seperti telah ditunjukkan keesokan hari setelah berkunjung ke Inong Gampong, masih terjadi di Kabupaten Aceh Besar. Di wilayah tesrebut muncul kejadian pelemparan granat ke sebuah gedung. Di tempat yang berbeda juga terjadi penembakan misterius terhadap dua anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) yang menewaskan satu orang di antaranya.

KPA diketahui sebagai lembaga untuk rekonsiliasi sosial pascakonflik berisikan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Juga kejadian jauh hari sebelumnya di Ujong Krueng, Meulaboh, NAD, pada 26 Desember 2008. Saat itu terjadi unjuk rasa ratusan warga yang menuntut bantuan rumah hunian dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Akibat unjuk rasa tersebut ditengarai mengurungkan niat Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto untuk hadir pada peringatan empat tahun tsunami itu.

Sudah menjadi niat pemerintah di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, penanganan gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias telah digariskan hanya empat tahun setelah disahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara, pada 16 April 2005.

BRR di bawah kepemimpinan Kuntoro pada April 2009 harus diakhiri. Kewenangan urusannya dialihkan kepada Pemerintah Provinsi NAD di bawah Gubernur Irwandy Yusuf. Kewenangan itu termasuk mendistribusikan sisa dana rehabilitasi dan rekonstruksi jika memang tersisa.

Dari paparan Kuntoro beserta jajarannya dalam sarasehan dengan wartawan untuk masa-masa akhir BRR, Kamis (5/2) di Jakarta, disebutkan serentetan prestasi yang telah dicapai.. Hingga Desember 2008, misalnya, BRR telah membangun 127.402 unit rumah dari kebutuhan yang ditargetkan mencapai 130.000 unit.

Jumlah rumah yang dibangun itu mendekati jumlah korban gempa bumi dan tsunami yang dicatat Kepala Pusat Informasi Data dan Humas pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana Priyadi Kardono sebanyak 165.945 jiwa.

Menurut Deputi Operasional BRR Aceh-Nias Eddy Purwanto, jumlah kebutuhan 130.000 unit rumah didasarkan pada kebutuhan atas 400.00 warga yang mengungsi tatkala terjadi tsunami.

”Jumlah rumah yang dibangun 127.402 unit mencukupi kebutuhan masyarakat yang kehilangan rumah karena tsunami. Namun, sampai sekarang setelah empat tahun tsunami pun masih ada warga yang menuntut rumah,” ujar Eddy.

Prestasi baik BRR selebihnya juga diungkap Kuntoro, berupa pemulihan dan pembentukan lahan pertanian 103.341 hektar, sudah melebihi kebutuhan yang hanya 60.000 hektar rusak akibat tsunami. Perbaikan dan pembuatan jalan sepanjang 3.058 kilometer juga melebihi kebutuhan 3.000 kilometer jalan yang rusak akibat tsunami.

Pelabuhan laut

Capaian pembangunan 20 pelabuhan laut juga melebihi yang dibutuhkan sebanyak 14 unit yang rusak akibat tsunami. Pembangunan 1.016 fasilitas kesehatan juga sangat melampaui fasilitas kesehatan yang rusak akibat tsunami sebanyak 127 unit.

Bahkan, untuk mempersiapkan tenaga pengajar di Aceh atas hilangnya sekitar 2.500 guru akibat tsunami sudah dipersiapkan BRR dengan melatih sebanyak 38.981 orang menjadi tenaga pengajar. Tentu, jumlah ini sangat berlipat-lipat.

Mengenai anggaran yang kemudian disebut-sebut menjadi dana kemanusiaan terbesar atas suatu bencana di dunia diperoleh BRR untuk rekonstruksi dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun 2005-2008 mencapai Rp 20,24 triliun.

Kemudian dana kemanusiaan dari masyarakat internasional mencapai 6,7 miliar dollar AS atau Rp 67 triliun dari komitmen yang dijanjikan 7,2 miliar dollar AS. Mengenai sisa penggunaannya belum ada informasi yang jelas. Sebelumnya, BRR memperkirakan kebutuhan penggunaan dana masyarakat internasional untuk pemulihan Aceh itu mencapai 7,1 miliar dollar AS.

Betulkah, segudang prestasi baik itu membawa kemaslahatan Aceh di kemudian hari?

Bom waktu

World Vision Indonesia hanyalah satu di antara puluhan lembaga donor internasional nonpemerintah yang menyalurkan dana 92,7 juta dollar AS untuk rekonstruksi Aceh sampai 2007. Disambung lagi sampai tahun 2010 World Vision Indonesia menyalurkan dana pascarekonstruksi 8 juta dollar AS.

Dana 8 juta dollar AS itulah di antaranya untuk memberdayakan ibu-ibu anggota kelompok Inong Gampong. Kemudian ada lagi kelompok produsen kerupuk tiram Sawang Panyang atau Koperasi Putroe Aceh di wilayah Kabupaten Aceh Besar.

”Program lanjutan ini sebagai jawaban ketidakseimbangan percepatan pembangunan infrastruktur dengan pembangunan sosial-ekonomi selama rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh,” ujar Direktur Nasional World Vision Indonesia Trihadi Saptoadi.

Gempa bumi dan tsunami yang menimpa Aceh, menurut Trihadi, terjadi dalam suasana masyarakat sangat kompleks yang diliputi konflik terhadap pemerintah pusat selama bertahun-tahun. Manfaat yang bisa diperoleh setelah adanya tsunami dan proses perdamaian yang dicanangkan berikutnya belum dapat sepenuhnya diperoleh secara nyata setiap lapisan masyarakat. ”Bom waktu kembalinya gejolak masyarakat harus diwaspadai,” katanya.

Eddy Purwanto dari BRR menyatakan, agar kekhawatiran itu tidak terbukti, Pemerintah Provinsi NAD perlu bekerja keras. Sebab, Pemprov NAD-lah yang kini mempunyai wewenang setelah BRR dibubarkan.



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/10/01341788/inong.gampong.yang.menyelamatkan
Share this article :

0 komentar: