BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mengantisipasi Persoalan Pengangguran

Mengantisipasi Persoalan Pengangguran

Written By gusdurian on Kamis, 12 Februari 2009 | 13.19

Mengantisipasi Persoalan Pengangguran

”Let us take care of employment, employment will take care of growth.”


(Mahbub Ul-Hag,1970) Lebih dari 30 tahun lalu,Mahbub Ul-Haq, seorang ekonom kenamaan dari India,mengingatkan pentingnya fokus pada ketenagakerjaan pada setiap persoalan.

Ketenagakerjaan menyangkut banyak aspek yang tidak melulu ekonomi, tetapi juga sosial, politik, dan kebahagiaan individu secara umum. Peringatan Mahbub ini kembali bergaung saat ini ketika krisis mendera di banyak negara, termasuk Indonesia. Krisis ekonomi yang berdampak rata pada hampir semua sektor mengharuskan pengambil kebijakan untuk memilih prioritas kebijakan mengingat terbatasnya sumber daya. Prioritas yang tepat bagi Mahbub, yang juga saya amini, adalah pengatasan masalah pengangguran.

Dari literatur empiris, dampak krisis pada pengangguran di negara berkembang biasanya tidak separah seperti di negara maju di mana terdapat berbagai asuransi sosial dan perlindungan pekerja. Sebaliknya, kejatuhan nilai output akibat krisis cenderung lebih dalam di negara berkembang ketimbang negara maju.

Kejatuhan nilai output lebih dari 13% pada krisis 1997/1998 di Indonesia, misalnya, hanya diiringi kenaikan tingkat pengangguran terbuka sekitar 0,5%. Dengan kata lain, hukum Okun (Arthur Okun, 1962) yang menyatakan bahwa setiap peningkatan pengangguran akan diiringi oleh penurunan tingkat output berlipat ganda lebih menemukan aplikasinya di negara berkembang ketimbang negara maju.

Dari krisis 1997/1998, ada beberapa alasan untuk hal ini. Pertama, adanya fenomena labour hoarding di mana pengusaha cenderung menahan pekerja yang dimiliki meski ada kejatuhan permintaan. Rasio produktivitas akan menurun yang membuat output tertekan,sementara jumlah pekerja konstan.Satu hal yang disebabkan sulitnya mencari pekerja dengan skill dan keterampilan spesifik (Manning,2000).

Kedua,negara berkembang seperti Indonesia memiliki katup pengaman berupa sektor informal yang lebih luas ketimbang negara maju. Apa yang terobservasi sekadar perpindahan pekerja dari sektor formal ke sektor informal,bukannya peningkatan angka pengangguran.

Ketiga,pendapatan relatif pekerja di negara berkembang jauh lebih rendah ketimbang pekerja di negara maju.Pekerja di negara berkembang juga biasanya tidak memiliki banyak tabungan sehingga tidak bekerja bukanlah satu pilihan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup.

Keempat, terkait dengan hal teknis statistik, pekerja yang terkena PHK akan berhenti mencari kerja dan memilih untuk melakukan hal lain seperti kembali bersekolah atau sekadar mengurus rumah tangga. Dengan kata lain, mereka berhenti menjadi angkatan kerja dan tidak terhitung secara statistik sebagai pengangguran. ***

Akan tetapi, kecenderungan ini agaknya tidak akan berlanjut. Berbagai estimasi,termasuk dari ILO dan INDEF,menunjukkan akan terdapat peningkatan jumlah penganggur antara 650.000 sampai dengan 1 juta orang pada 2009. Ini belum termasuk tambahan jumlah penganggur dari pekerja Indonesia di luar negeri yang menurut estimasi Migrant Care berkisar 500.000 sampai dengan 1 juta orang.

Dengan kata lain, merujuk pada angka angkatan kerja pada 2008, akan terdapat peningkatan angka pengangguran antara 1–2% pada 2009. Data-data awal juga mengindikasikan keseriusan persoalan yang ada. Badan Litbang Depnakertrans, misalnya, menunjukkan sudah terdapat sekitar 90.000 orang yang akan atau s u d a h terkena PHK hingga akhir Januari 2009 pada sektor formal. Ledakan pengangguran pada sektor formal dipastikan akan berdampak pada sektor informal serta mengikis pendapatan riil pekerja.

Mereka yang diberhentikan pada sektor formal akan pindah bekerja pada sektor informal dan mengakibatkan penurunan produktivitas yang menekan tingkat upah. Kondisi ini akan mengamplifikasi gejala informalisasi pasar kerja yang sudah terjadi selama lima tahun terakhir.Pada saat ini, sekitar dua pertiga dari pekerja bekerja di sektor informal yang umumnya minim perlindungan dan memiliki produktivitas rendah.

Melemahnya permintaan akibat krisis global akan meningkatkan rasio pekerja informal. Informalisasi pasar kerja juga akan mempertimpang distribusi pendapatan domestik. Padahal, angka ketimpangan yang diukur oleh koefisien Gini sesungguhnya sudah memprihatinkan karena tertinggi selama hampir 30 tahun terakhir. ***

Untuk mengatasi dampak krisis global kali ini diperlukan dua strategi sekaligus. Dalam jangka pendek, satu strategi diperlukan untuk membantu yang mereka terkena atau bakal terkena PHK di sektor formal.Implementasi dari strategi ini bisa dilakukan dengan memperluas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang saat ini hanya diperuntukkan bagi masyarakat miskin dan hampir miskin. PNPM, misalnya, menyediakan latihan kerja bagi para penganggur untuk memperoleh keterampilan/skill baru yang memfasilitasi transisi mereka yang terkena PHK pindah bekerja ke sektor lain.

Demikian pula,program food for work atau cash for work harus juga menyentuh mereka yang terkena PHK. Pada saat sama, KUR bisa digunakan sebagai modal mereka yang terkena PHK untuk memulai usaha kecil. Perluasan PNPM dan KUR dalam jangka pendek selain meringankan beban masyarakat kecil, juga akan menopang daya beli dan konsumsi nasional sehingga tingkat pertumbuhan nasional domestik juga akan turut tertopang.

Pada saat sama, strategi lain yang lebih bersifat jangka menengah dan panjang diperlukan untuk membenahi sektor ketenagakerjaan formal. Pekerjaan rumah yang lama terbengkelai adalah peninjauan ulang berbagai peraturan yang melingkupi pasar kerja. Berbagai kekakuan pasar kerja dan birokrasi penetapan upah yang bersumber dari berbagai peraturan ini harus disederhanakan.

Hal lain yang bersifat jangka panjang adalah pemberantasan ekonomi biaya tinggi yang masih merupakan hantu penanaman modal yang membatasi ruang berkembang bagi sektor formal ketenagakerjaan dalam negeri.(*)

M Ikhsan Modjo, PhD
Direktur INDEF


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/212280/
Share this article :

0 komentar: