BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Distorsi Pasar Politik

Distorsi Pasar Politik

Written By gusdurian on Jumat, 13 Februari 2009 | 12.46

Distorsi Pasar Politik
Andi Irawan, Dosen Universitas Bengkulu dan STEI Tazkia

Dalam suatu kehidupan demokrasi, politik citra adalah niscaya. Melalui citra, suatu entitas atau individu politikus menempatkan dirinya sebagai bagian dari ekspektasi positif publik. Adalah suatu realitas yang tak mungkin dimungkiri bahwa upaya mendapatkan vote dari publik identik dengan penerimaan publik terhadap suatu entitas politik dan salah satu yang menentukan dalam penerimaan itu adalah citra yang baik. Dalam pasar politik, merupakan hal yang niscaya pula mengemas produk-produk politik sedemikian rupa menawan agar para pemilik vote tertarik membelinya. Tetapi citra adalah tampilan dan kemasan luar. Voter yang memilih suatu entitas politik hanya berdasarkan citra semata sesungguhnya dari kacamata ekonomi-politik telah terjebak dalam fenomena asimetri informasi politik.

Tetapi fenomena ini bukanlah suatu hal yang salah dalam demokrasi. Kesalahan pilihan publik akibat asimetri informasi adalah hal yang wajar dan tak perlu dikhawatirkan, karena pasar politik yang sehat akan mengoreksi pilihan-pilihan yang salah karena bias citra tersebut. Pasar politik yang sehat itulah yang perlu kita hadirkan agar benar-benar demokrasi yang kita nikmati adalah demokrasi kontributif terhadap perbaikan semua sisi kehidupan. Lalu bagaimana menghadirkan pasar politik yang sehat tersebut?

Demokrasi dalam pandangan pakar ekonomi-politik adalah proses transaksi di pasar politik. Dalam pasar politik, ada produsen, yakni para politikus dan partai politik. Para produsen politik memproduksi beragam produk yang ditawarkan kepada para rakyat sebagai pemilik vote (konsumen). Produsen politik yang akan berkontribusi pada lahirnya pasar politik yang sehat adalah jika produsen politik tersebut mampu menyajikan produk-produk politiknya pada dua pendekatan yang dilakukan secara simultan, yakni; pertama, orientasi pragmatis dalam rangka membangun citra yang baik. Dalam konteks inilah political marketing menjadi niscaya. Semua potensi yang menarik yang dimiliki oleh suatu partai politik adalah suatu keniscayaan untuk dipamerkan ke hadapan para pemilik vote, dari yang sangat substantif seperti platform dan prestasi-prestasi publik sampai hal-hal yang tidak substantif, seperti keelokan fisik kandidatnya atau bahkan kedekatan primordial dengan pemilik vote. Kedua, orientasi substansi dan altruistik, yakni bahwa para produsen politik itu, ketika mereka hadir dalam lembaga-lembaga pengambil keputusan politik, mampu merepresentasikan diri sebagai entitas yang memberikan solusi bagi permasalahan bangsa.

Artinya, produsen politik yang kontributif bagi pencerahan demokrasi di era kekinian kita adalah ketika mereka bisa memadukan proporsi antara orientasi pragmatis dan altruistik. Orientasi pragmatis adalah hal yang niscaya dalam rangka mendapatkan penerimaan politik dari para pemilik vote. Tetapi, setelah vote itu didapat, yaitu ketika mereka sudah menduduki jabatan politik penting di lembaga-lembaga negara, orientasi altruistiklah yang harus lebih mendominasi.

Tanpa orientasi pragmatis, suatu entitas politik akan sulit mendapatkan keberpihakan para pemilik vote, karena serasional apa pun para pemilik vote, sesungguhnya fenomena asimetri informasi adalah niscaya, apalagi umumnya para pemilik vote Indonesia memilih bukan karena pertimbangan-pertimbangan rasional substansial.

Tetapi, tanpa orientasi altruistik, entitas politik yang hadir di lembaga-lembaga negara hanya akan menjadi para rent-seeker ekonomi-politik. Bukan menjadi solusi terhadap masalah bangsa, melainkan menjadi sumber masalah itu sendiri. Dan perilaku tersebut bisa berdampak pada hadirnya pasar politik yang eksploitatif terhadap kepentingan publik yang kemudian melahirkan apatisme terhadap demokrasi.

Faktor kedua yang menentukan sehat-tidaknya pasar politik adalah faktor konsumen politik, yakni para pemilik vote. Ada dua faktor penentu yang, menurut hemat saya, menentukan hadirnya konsumen politik yang kontributif terhadap hadirnya pasar politik yang sehat, yakni faktor kesejahteraan dan pendidikan. Kesejahteraan berimplikasi pada minimalisasi bias voter, karena dampak distorsi dari politik uang dan pendidikan meminimalisasi bias voter lantaran dampak distorsi dari asimetri informasi.

Dengan angka kemiskinan kita yang masih sangat besar, pasar politik kita hari ini masih rentan terhadap distorsi politik uang. Dengan demikian, meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak hanya identik dengan keniscayaan pembangunan ekonomi, tetapi juga identik dengan keniscayaan hadirnya pasar politik dan demokrasi yang sehat. Begitu juga mereduksi bias voter melalui pendidikan, khususnya pendidikan politik, sesungguhnya menjadi tugas semua stakeholder yang menginginkan hadirnya pasar politik dan demokrasi yang sehat. Demokrasi yang sehat haruslah melibatkan banyak negarawan, baik sebagai produsen maupun konsumen di pasar politik. Untuk itu, kita harus menjadi bangsa yang negarawan. Tetapi bangsa negarawan tidak akan hadir dalam lingkungan kebodohan. Kita tahu sampai hari ini angka statistik menunjukkan masih sekitar 82 persen anak bangsa ini yang berstatus pendidikan sekolah menengah pertama ke bawah, yang menunjukkan kita masih harus berjuang keras menjadi bangsa yang negarawan tersebut.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/03/Opini/krn.20090203.155626.id.html
Share this article :

0 komentar: