Fenomena perkembangan menuju budaya politik modern tampak pada Pilkada DKI 2007. Salah satu contoh misalnya. Mengacu pada pendapat David E. Apter, seorang ilmuwan politik terkemuka, yang memusatkan perhatiannya pada perilaku politik individual, budaya politik merupakan hasil dari hubungan antar pengetahuan politik dan tindakan politik, termasuk bagaimana pendapat politik terbentuk, bagaimana ketajaman politik diperoleh kemudian bagaimana caranya masyarakat memahami peristiwa politik. Kategori pemikiran yang demikian biasanya mengacu pada ideologi, atau sistem kepercayaan yang melahirkan pola perilaku yang mempunyai arti. Mengetahui perilaku politik masyarakat mutlak diperlukan untuk mengambil keputusan. Perilaku politik masyarakat juga harus diketahui untuk mengembangkan wacana yang dikehendaki publik. Demikian juga dalam pemilihan kepala negara, kepala daerah serta calon legislatif.
Proses hukum untuk Calon legislatif telah selesai dengan hasil perolehan suara terbanyak tanpa adanya lagi kuota BPP ( Bilangan Pembagi Pemilihan). Ini menimbulkan Pro Kontra.
Menjadi sesuatu yang lumrah, wajar, sesuai dengan perkembangan demokrasi saat ini dan kedepan. Pro dan Kontra tersebut datangnya tidak hanya dari masyarakat awam dan Caleg itu sendiri, melainkan datang juga dari para guru besar serta pengamat politik. Apakah agak berlebihan ?.
Harusnya sudah jelas dengan keputusan tersebut, peran Partai Politik begitu besar sebagai Penyaring bagi Calon-calonnya yang akan diusung ke Publik. Fairplay. Telusur jejak dapat dilakukan oleh Partai Politik melalui apa yang disebut Mekanisme Kaderisasi. Semua mempunyai hak yang sama, tetapi tidak serta merta tanpa adanya rekam jejak yang jelas “ujuk-ujuk” jadi caleg. Terlebih lagi apabila ingin maju dalam “ pertarungan” kembali, tetapi rekam jejaknya tidak jelas. Apa yang dia perjuangkan untuk masyarakat selama duduk di kursi dewan ?
Bagaimana dengan calon Presiden ? dasar hukumnya harus jelas. Termasuk untuk calon independen.
Pemilu merupakan implementasi kedaulatan rakyat. Jadi, masyarakat yang menentukan kecenderungan dari proses politik tersebut. Karena, rakyat yang menentukan arah dan siapa yang akan memimpin, maka harus dipahami bahwa rakyat ikut pemilu bukan hanya ingin melaksanakan hak dan mengugurkan kewajiban semata. Yang paling penting adalah mereka ingin mencari pemimpin yang lebih baik. Fenomena yang menunjukkan bahwa rakyat apatis terhadap pemilu dan tidak peduli siapa yang memimpin, merupakan potret buram dari pemilih. Oleh karena itu, pemilu tidak hanya sebatas saluran kedaulatan rakyat dan seremonial demokrasi, tetapi pemilu adalah momentum untuk semakin memperkukuh kesadaran politik rakyat, dan juga upaya kritis untuk menuntut komitmen perbaikan Negeri kepada calon yang akan dipilihnya.
Memang, dalam Pemilu lalu tak semua mereka yang berhak memilih meberikan suaranya. Hanya saja, di negara mana pun juga di dunia ini, kebanyakan warga negara kurang berminat langsung menerjuni percaturan politik praktis keseharian. Dalam hal ini, kita harus melihat apa yang disebut sebagai aktor dan struktur politik. Aktor dan struktur politik merupakan dua hal yang secara bersamaan saling mempengaruhi. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain dan mestinya didiagnosa secara bersama-sama. Selain stuktur politik, hal yang mempengaruhi perilaku politik dan menguatnya agenda politik adalah kualitas politisi, proses politik, dan kesiapan elemen di masyarakat sipil yang lebih luas dalam menyuarakan aspirasi yang dekat dengan kehidupan mereka. Walaupun struktur tersedia, tanpa dukungan “kesehatan politik” di parpol, perubahan yang diharapkan tidak akan terjadi. Jauh dari harapan.
Untuk mengungkapkan agenda politik yang konkret, termasuk kemungkinan akan adanya calon Presiden Independen diperlukan kemampuan merumuskan dan mengkomunikasikannya dengan baik ke masyarakat. Sebagai pendidikan politik. Untuk hal ini, dalam level nasional pun belum ada parpol yang berhasil dengan baik. Terlepas dari kualitas tokoh politik, dalam politik daerah, tanpa pemisahan sistem pemilu pun, mekanisme politik yang berkonsentrasi pada agenda daerah sudah berjalan dan umumnya berpusat pada berbagai kelompok kepentingan di masyarakat. Dalam praktik politik di daerah, lembaga-lembaga non pemerintah tersebut lebih efektif dan berpengalaman dalam mengangkat isu-isu lokal yang berkaitan dengan hidup masyarakat sehari-hari. Bagaimana untuk tingkat Nasional? Bersedia mengakui Kemenangan-Kekalahan dalam suatu persaingan yang utama dilaksanakan tanpa adanya dendam masa lalu dan lain sebagainya. Tontonan saling berbalas Pantun melalui kritik, yang belakangan ini kita saksikan merupakan tontonan biasa, selama masing-masing pendukung siap untuk duduk bersama demi Persatuan dan Kesatuan Nusantara. Melalui proses Pemilu tadi. Sekali lagi mengakui serta berkeinginan merangkul dan jabat erat dalam mengakui Kemenangan-Kekalahan, Legowo.
Berkembangnya dinamika politik daerah walaupun masih terbatas dan tiadanya keperluan yang mendesak bagi pemisahan isu politik lokal dan nasional merupakan masalah serius bagi urgensi proposal pemisahan pemilu lokal dari pemilu nasional. Salah satu alasan yang tersisa untuk tidak menggugurkan proposal itu adalah menyangkut keuntungan dalam hal waktu dan konsentrasi bagi politisi lokal. Dengan waktu yang lebih leluasa, diharapkan politisi lokal bisa berpikir lebih tajam dan strategis memperjuangkan aspirasi rakyat. Tetap ujungnya Partai Politik sebagai penyaring. Kecuali Independen. bagaimana perlakuannya, DPD misalnya. Harus jelas dasar hukumnya. Ormasnya dan lain sebagainya.
Tak ada gading yang tak retak, memang. Dan, tentu saja, penyelenggaraan Pilkada DKI serta Pemilu 2004 bukan sama sekali tanpa cacat. Paling tidak, ada sejumlah masalah dalam penyelenggaraannya yang perlu untuk dicatat. Pertama, masalah calon independen yang sempat meramaikan suasana penyelengaraan itu sendiri. Kedua, kurang tertibnya administrasi tingkat kelurahan sehingga menimbulkan protes sejumlah anggota masyarakat yang namanya tidak tercantum sebagai pemilih dan sebagainya. Ketiga, tidak tegasnya aturan tentang kampanye yang juga menimbulkan protes. Terlepas, dari kekurangan tersebut, sekali lagi, penyelenggaraan Pilkada serta Pemilu 2004 berakhir happy ending untuk publik,masyarakat, dan semoga akan berlaku pula untuk Pemilu Legislatif dan Presiden tahun ini.
Pelajaran yang paling penting adalah bahwa perilaku politik dari masyarakat itu ada yang tumbuh karena karakter dan kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Secara sosial dan intelektual, masayarakat DKI memang lebih maju dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Namun, tidak berarti bahwa mereka tidak bisa bersikap demokratis. Marilah kita mengambil sisi baiknya, tak perlu rusuh dalam menentukan pemimpin. Selamat datang Pemilu 2009
Salam,
Yusuf Senopati Riyanto
yusuf riyanto
0 komentar:
Posting Komentar