BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Bila TNI Jadi ”Tertuduh”

Bila TNI Jadi ”Tertuduh”

Written By gusdurian on Jumat, 13 Februari 2009 | 12.31

PERNYATAAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa ada seorang perwira tinggi (pati) TNI-AD yang berkampanye ”Asal Bukan S” (ABS) masih memancing komentar banyak pihak, baik pengamat politik, petinggi TNI,kalangan DPR, maupun purnawirawan TNI.


Ada yang menuduh Presiden SBY ”memperalat” TNI, ada yang menudingnya ”tidak arif”,ada pula yang menyebut tuduhan itu ”menyakitkan TNI”. Memang tidak jelas siapa yang disebut dengan inisial S tersebut, karena paling tidak ada tiga purnawirawan pati TNI yang disebut-sebut akan ikut bertarung memperebutkan kursi kepresidenan pada Pilpres 2009,yaitu Presiden SBY sendiri,mantan KSAL Slamet Subijanto, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Namun,nama terdekat dari inisial S itu tentu SBY. Pernyataan Presiden SBY saat menerima para petinggi TNI yang melaporkan hasil rapat pimpinan TNI dan para petinggi Polri di Istana Negara,Kamis pekan lalu,bagaikan petir di siang bolong.Betapa tidak,Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso sudah sering menyatakan bahwa TNI akan menjaga netralitasnya dalam pemilihan umum,baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden.

Markas Besar TNI juga sudah membagi-bagikan ”Buku Putih” yang harus dibawa, dibaca, dan dipahami oleh seluruh anggota TNI dari tingkat bintara, tamtama, sampai ke perwira tinggi yang berisi pasal-pasal larangan bagi anggota TNI untuk memengaruhi jalannya pemilihan umum.Sebagai contoh,pada hari H pemilu seorang anggota TNI tidak boleh dekat-dekat dengan tempat pemungutan suara (TPS).

Mereka juga tidak boleh berkampanye mendukung atau tidak mendukung calon legislatif atau pasangan calon presiden atau calon wakil presiden tertentu.Pemilu 2009 merupakan tonggak sejarah penting bagi perjalanan politik bangsa, sebagai masa akhir proses konsolidasi demokrasi kita. Bagi TNI,Pemilu 2009 juga masa untuk menunjukkan netralitas politiknya yang merupakan bagian profesionalisme TNI. Memang pada Pemilu 2009 ini para anggota TNI (dan Polri) belum mau menggunakan hak-hak politiknya untuk memberikan suara.

Namun kita berharap tahun 2009 adalah masa akhir dari keengganan itu. Mencontreng dalam pemilu adalah hak individu warga negara, tak terkecuali para anggota TNI dan Polri.Yang membedakan TNI dan warga negara RI lainnya ialah anggota TNI adalah citizen in uniform (warga negara yang berseragam).

Sampai saat ini memang masih ada kekhawatiran di kalangan TNI dan juga di kalangan purnawirawan TNI yang pernah menjadi komandan lapangan, jika anggota TNI ikut pemilu, individu komandan di lapangan yang jauh dari pusat dapat ditarik ke sana ke mari untuk mendukung calon anggota legislatif atau calon presiden-wakil presiden tertentu.

Ini merupakan masalah bagi netralitas TNI. Di lain pihak,sebagian masyarakat Indonesia juga masih ada yang menyimpan ingatan bagaimana di masa Orde Baru jajaran komando teritorial TNI digunakan untuk memenangkan Golkar pada setiap pemilu antara 1971 sampai pemilu 1997.Kekhawatiran bahwa TNIakanterpecahjikapara anggotanya ikut pemilu juga menjadi penyebab mengapa hingga kini para anggota TNI menjadi ”golput yang terorganisasi”.

Tapi itu semua dilakukan demi kebaikan institusi TNI dan bangsa. Pada Pemilu 2014 situasinya tentunya akan lain.Saat itu kita sudah masuk ke era kedewasaan berdemokrasi. TNI juga sudah masuk ke era profesionalisme yang setingkat lebih maju pula. Pemilu 2014 adalah saat yang paling tepat bagi anggota TNI untuk ikut memilih.

Political Blunder

Pernyataan Presiden SBY itu kini telah menjadi ”political blunder” buat dirinya. Ini dapat diinterpretasikan bahwa Presiden kehilangan kendali atas angkatan bersenjatanya, terlebih lagi pada jajaran seragam hijau yang adalah korpsnya sendiri.

Selain itu,Presiden seolah tidak percaya kepada Panglima TNI dan beberapa komandan lapangan yang sebagian menduduki jabatan-jabatan strategis itu atas ”blessing dari Presiden SBY”. Jika itu dilakukan oleh Presiden untuk menarik simpati seolah-olah ada ”barisan kurawa” yang didukung TNI sedang mengepung dan menghalangi jalannya untuk terpilih kembali pada Pemilihan Presiden 2009, ini juga tidak tepat.

Bagaimana pula dengan Pemilihan Presiden 2004 yang di antara para anggota tim suksesnya, menurut Ali Mochtar Ngabalin, anggota DPR dari Partai Bulan Bintang yang juga tim sukses SBY, ada juga perwira tinggi TNI yang masih aktif? Apakah Presiden SBY kena karmanya sendiri?

Jika itu dilakukan untuk menghalangi para anggota TNI mendukung secara tidak langsung para calon presiden dari mantan pati TNI,ini juga berbahaya, karena jika para calon presiden purnawirawan TNI itu menarik-narik anggota TNI aktif untuk mendukung atau tidak mendukung calon presiden dari keluarga besar TNI, ini bisa memecah belah TNI. Anehnya lagi, mengapa pernyataan Presiden SBY itu dilakukan tak berapa lama menjelang mutasi besarbesaran di jajaran TNI yang akan dilakukan pada Februari atau Maret?

Ini justru menimbulkan kesan seolah-olah mereka yang menduduki posisiposisi strategis baru di TNI atau Departemen Pertahanan RI adalah ”orang-orang SBY”. Padahal semua sudah diputuskan melalui rapat-rapat di Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi(Wanjakti) didalam TNI. Reformasi internal TNI sudah masuk pada tahap reformasi budaya, dari budaya dwifungsi ABRI ke murni profesionalisme TNI.TNI jangan lagi ditarik-tarik ke politik praktis, sesuatu yang merusak jati diri TNI.

Dalam proses itu,pemerintah,DPR,parpol, dan rakyat secara keseluruhan wajib mendukung agar TNI yang kita cintai itu dapat menjadi kekuatan pertahanan negara yang profesional, dipercanggih alat utama sistem persenjataannya, dan anggotanya diberi kesejahteraan yang baik. Seperti kata Panglima Besar Sudirman, ”TNI adalah aset bangsa yang tidak akan berubah sepanjang masa yang akan menjaga kedaulatan negara.”(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Pengamat Politik LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/210337/38/
Share this article :

0 komentar: