BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Reformasi Hanya Buahkan Republik Diskusi

Reformasi Hanya Buahkan Republik Diskusi

Written By gusdurian on Jumat, 13 Februari 2009 | 12.32

Reformasi Hanya Buahkan Republik Diskusi

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai tata cara pemilihan calon legislatif (caleg) menuai diskusi. Banyak suara diperdengarkan, banyak pendapat diperdebatkan.

Sebelumnya, pengesahan UU Badan Hukum Pendidikan (UU-BHP) juga menimbulkan silang pendapat yang berkepanjangan. Debat itu sering sulit diurai ujung pangkalnya untuk merumuskan kesimpulan.

Hasil jajak pendapat juga merupakan bahan pembicaraan yang tidak kalah menarik. Entah itu menyangkut popularitas seorang calon ataupun prediksi partai dengan perolehan suara terbanyak. Serupa dengan perdebatan mengenai suatu kebijakan, hasil polling semacam itu juga tidak berpijak pada adanya informasi yang lengkap, jelas, dan meyakinkan.

Kebiasaan untuk memperdebatkan sesuatu yang tidak sepenuhnya dipahami mungkin memang merupakan ciri reformasi yang sangat menonjol pada era pemerintahan saat ini. Kalau pada pemerintahan sebelumnya, era Orde Baru, setiap UU yang akan diajukan untuk dibahas perlu dilengkapi dengan "naskah akademis" yang mirip hasil disertasi untuk memperoleh gelar doktor (S-3), persyaratan semacam itu tidak diperlukan lagi saat ini.

Alasan untuk membuat naskah akademis tersebut menjadi acuan bila terjadi perdebatan dari hasil penafsiran suatu pasal atau bahkan suatu ayat yang dianggap kurang jelas atau bisa menimbulkan "multitafsir". Walaupun telah dilampirkan penjelasan atas suatu UU ataupun peraturan yang diterbitkan, sering penjelasan tersebut dianggap kurang menyeluruh. Belum dapat memberikan penjelasan selengkapnya. Sebab, baik UU, peraturan, maupun penjelasan dibatasi jumlah halaman dan kepentingan yang sangat subjektif.

Dalam keadaan seperti itu, suatu "naskah akademis" dianggap sebagai sumber yang netral untuk menggali kebenaran yang diperlukan. Jadi, keberadaan naskah akademis yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan dari sudut pandang keilmuan yang tidak pernah memihak sangat diperlukan. Itu sebabnya disebut sebagai naskah akademis.

Hasil jajak pendapat juga tidak pernah dipersoalkan oleh para ahli statistik. Sebab, memang tidak jelas secara statistik metode pengambilan sampel dan pengolahan data yang dilakukan. Memang tidak perlu karena semata untuk memuaskan pembaca atau pemirsa tertentu yang haus informasi.

Mereka senang memperdebatkan sesuatu, yang secara metodologi masih dipertanyakan akurasinya. Itu sebabnya tukang ketoprak, tukang bakso, penjual sate atau penjaja mi dan nasi goreng tidak berminat untuk mendiskusikan hasil jajak pendapat semacam itu yang hanya menghabiskan waktu dan membuang kesempatan memperoleh pembeli.

Kalau itu menyangkut harga minyak tanah yang melambung, gas yang mendadak hilang, harga daging yang melonjak, atau banjir yang tidak kunjung bisa diatasi, dipastikan mereka tertarik.

Bila kelompok tersebut, ditambah para buruh bangunan, petani penggarap, dan nelayan, yang dijaring lewat jajak pendapat tersebut, tentu hasilnya lebih mendekati kebenaran. Tentu memerlukan dana cukup besar untuk melakukan polling semacam itu.

Tak Tergerak

Lalu, kenapa pemerintah tidak tergerak? Lewat lembaga-lembaga resmi yang dimiliki, sebenarnya pemerintah dapat melakukan jajak pendapat mengenai tingkat kepuasan masyarakat atas program-program yang telah dan sedang dilaksanakan pemerintah. Sekaligus untuk mengetahui harapan rakyat terhadap pemerintahan yang akan datang. Bekal yang sangat berharga bagi siapa pun yang akan menjadi nakhoda bagi kapal besar yang sedang terombang-ambing berbagai persoalan tersebut.

Kegemaran melakukan diskusi dan mengadu pendapat atas persoalan yang tidak sepenuhnya dipahami lantaran tidak adanya kesempurnaan informasi telah dimanfaatkan media massa sebagai sumber berita yang tidak pernah kering. Surat kabar dan majalah asyik memberitakan hasil berbagai seminar, diskusi dan lokakarya dengan bumbu wawancara dari berbagai sumber yang juga berbahagia karena mendapatkan popularitas.

Televisi tidak henti menayangkan dialog dan wawancara dari para tokoh yang diharapkan mampu meningkatkan rating perusahaan dan sekaligus meraup iklan dari tontotan ''kaum elite" tersebut. Sementara itu, masyarakat kebanyakan lebih terpaku pada sinetron yang konyol, tetapi mampu menghibur ataupun mengharukan. Lebih tertarik bergoyang bersama penyanyi ''dangdut" yang mengabaikan atau malah tidak mengenal sama sekali UU Antipornografi.

Buah Reformasi

Reformasi yang berjalan lebih dari sepuluh tahun, ternyata, hanya menghasilkan ''republik diskusi" yang diberi ruang oleh proses demokratisasi yang ''kebablasan". Waktu yang amat berharga untuk kegiatan produktif dipakai mengadu pendapat atas suatu persoalan atau bahan perdebatan yang tidak sepenuhnya mengandung unsur-unsur utama suatu bentuk informasi. Kelangkaan data, sumber informasi, maupun tujuan utama menyebarkan informasi tersebut.

Namun, kegiatan "membuang waktu" tersebut memang telah membuahkan "balas jasa" yang cukup lumayan bagi pihak-pihak tertentu. Maka, akan sia-sia mengharapkan terwujudnya suatu pepatah China, "Saya tidak mencoba mencari jawaban, tetapi saya ingin benar-benar mengetahui dan mengerti apa pertanyaan yang diajukan".

* H Prijono Tjiptoherjanto, guru besar UI, saat ini anggota Komisi Ahli PBB untuk administrasi publik

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=50047
Share this article :

0 komentar: