BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Arah Kebijakan Moneter Membingungkan Pasar

Arah Kebijakan Moneter Membingungkan Pasar

Written By gusdurian on Jumat, 13 Februari 2009 | 12.27

Arah Kebijakan Moneter Membingungkan Pasar
Oleh Deni Daruri President Director Center for Crisis Banking


M ODEL Barro-Gordon sudah mengingatkan bahwa upaya pemerintah untuk memanipulasi output perekonomian akan bersifat bias terhadap in?asi. Buktinya kebijakan penetapan bunga 5,69% untuk dana pemerintah di Bank Indonesia (BI) dan kebijakan stimulus BI tidak mendapat sambutan dari pelaku pasar karena indeks harga saham gabungan (IHSG) justru menukik.
Harga saham berkorelasi terbalik dengan ekspektasi in?asi. Angka 5,69% merupakan bukti bahwa pemerintah terperangkap oleh model Barro-Gordon untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Padahal, pelaku pasar menyambut positif rencana The Fed untuk mempertahankan suku bunganya di level yang rendah. Selain itu, laporan keuangan beberapa korporat yang lebih baik daripada estimasi ikut mendorong pasar. Misalnya di bursa Eropa, indeks berhasil reli; demikian pula di regional menyusul harga minyak dunia yang cenderung menguat.

Sebaliknya, IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) tidak berhasil terbawa oleh arus dari regional yang membaik sekalipun BI sudah mengeluarkan beberapa kebijakan stimulus.

Sekalipun arah kebijakan BI salah satunya untuk memperkuat sistem perbankan nasional di tengah-tengah kondisi krisis global melalui penyempurnaan aturan yang terkait dengan merger, konsolidasi dan akuisisi, ternyata laba PT Bank CIMB Niaga Tbk, bank hasil merger PT Bank Niaga Tbk dan PT Bank Lippo Tbk, membukukan penurunan signi?kan tak lama setelah kedua bank menggabungkan diri pada 1 November 2008 sebesar 40%.

Arah kebijakan BI lainnya adalah dalam rangka memberikan keleluasaan penyaluran kredit perbankan melalui peningkatan peran serta perbankan dalam penyaluran kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah, namun ternyata Bank BNI memberikan fasilitas credit line sebesar Rp2,9 triliun kepada PT Asuransi Jasindo yang jelas-jelas tak berorientasi UKM.

Jumlah fasilitas kredit itu lebih besar daripada fasilitas sebelumnya sebesar Rp1,6 triliun. Di pihak lain, sektor riil dengan usaha skala besar juga sedang mengalami permasalahan yang serius, namun BI sepertinya tidak mau ambil pusing. Misalnya, laba bersih PT Timah Tbk yang belum diaudit pada 2008 turun 21% menjadi Rp1,41 triliun, jika dibandingkan dengan 2007 sebesar Rp1,78 triliun.

Penurunan itu terjadi akibat membengkaknya biaya produksi. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk mencari utang Rp4,8 triliun untuk membiayai merger dan akuisisi. Kelihatannya BI bukan saja tidak pro kepada usaha skala besar, tetapi juga anti terhadap usaha berbentuk BUMN.

Apa sulitnya bagi BI mengubah arah kebijakan perbankan, sebelum krisis ekonomi global semakin dalam dan berdampak negatif bagi usaha berskala besar termasuk usaha yang dimiliki oleh negara? Ada keengganan dari BI untuk benarbenar pro terhadap perbaikan iklim usaha yang kondusif di dalam negeri.

Sementara itu, hingga saat ini pemerintah masih memberikan subsidi bunga kepada BI karena dana pemerintah yang disimpan di BI hanya mendapatkan imbalan bunga sebesar 5,69% yang berarti masih jauh di bawah BI rate, yaitu 8,75%. BI masih mendapatkan keuntungan subsidi sebesar 3,06%.

Dengan penetapan yang seperti ini, BI akan termotivasi untuk menahan penurunan BI rate untuk mendapatkan subsidi riil yang positif. Padahal pasar menghendaki penurunan BI rate sebesar 100 bps karena tanda-tanda de?asi sudah mulai terbit dalam horizon moneter. De?asi yang terjadi pada Desember cukup mengejutkan.

Biasanya, Desember diwarnai dengan in?asi cukup tinggi seperti yang terlihat pada 2006 dan 2007. Sementara itu, pemerintah memiliki motivasi agar BI rate dapat di bawah 5,69% supaya mendapatkan subsidi bunga dari BI.

Tarik-menarik itu akan terus terjadi antara pemerintah dan BI. Dalam game theory dengan sistem oligopoli atau duopoli, yang paling optimal bagi kedua pemain adalah melakukan strategi kongkalikong.

Dengan menilik latar belakang dan hubungan antara Boediono dan Sri Mulyani yang sama-sama merupakan ekonom bermazhab liberal, sangat mungkin keputusan angka 5,69% merupakan angka keputusan win-win bersama antara pemerintah dan BI yang juga melibatkan IMF.

Yang jadi korban adalah independensi BI sebagai otoritas moneter karena kebijakan moneternya telah terjangkar oleh tingkat suku bunga sebesar 5,69%.

Dengan demikian inflation targetting dan proyeksi tingkat suku bunga tidak terkendala oleh interest rate setting, tetapi oleh angka 5,69%. Supaya moral hazard tidak berkembang, simpanan giro wajib minimum juga harus dikenai suku bunga pasar karena jika tidak, pihak perbankan yang akan menanggung deadweight loss dari permainan kotor tersebut.

Sementara itu, permasalahan likuiditas perbankan masih jauh dari kata usai. Naiknya tren cost of funds saat ini dapat menekan NIM (margin bunga bersih) bank-bank nasional (kecuali BCA). Kenaikan itu, salah satunya, disebabkan bank-bank kecil terus menawarkan suku bunga pinjaman yang tinggi karena ketatnya tingkat likuiditas.

Sungguh aneh jika BI terus menjadi lintah bagi sektor perbankan nasional di tengah kondisi yang seperti ini. Ketidakkonsistenan lain dari kebijakan BI adalah munculnya aturan PBI nomor 10/15/ PBI/2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bank itu mulai berlaku pada 1 Januari 2009 yang berkaitan dengan ATMR (aktiva tertimbang menurut risiko) dalam rangka Basel 2. Di sisi lain, kebijakan stimulus BI memperpanjang masa transisi penerapan risiko operasional dalam perhitungan kecukupan modal dalam rangka Basel 2.

Tidak pernah dijelaskan sampai kapan periode transisi ini. Ketidakkonsistenan kebijakan moneter seperti ini dapat terjadi karena otoritas moneter tidak berorientasi meningkatkan marginal bene?t dari peningkatan output perekonomian terhadap marginal cost dari in?asi itu sendiri. Tidak ada satu pun dari kebijakan BI itu yang berorientasi seperti itu sehingga antara kebijakan satu dan lainnya serta antara kebijakan moneter dan fakta moneter di lapangan hampir selalu bertolak belakang.

Jika BI berorientasi untuk memperbesar marginal bene?t netto dari kebijakan moneter dan perbankan, BI tak akan menganaktirikan sektor usaha dengan skala besar dan yang berbadan hukum BUMN.

Jika BI berorientasi untuk menekan marginal cost dari in?asi, BI tidak akan ragu-ragu untuk menurunkan BI rate secara cepat hingga di bawah level 5,69% dan membayar semua dana yang berada di BI pada tingkat suku bunga pasar yang menjadi jangkar dari kebijakan moneter yang dianut.

Konsekuensinya kredibilitas kebijakan moneter menjadi sangat rendah karena otoritas moneter mengabaikan bahwa private agent akan melakukan aksi ekonomi berlandaskan rational expectation. Seperti juga yang dikatakan Thomas Sargent (1987) dalam bukunya, Dynamic Macroeconomic Theory: “The ?rst edition appeared at a time when discussions of the ‘policy ineffectiveness proposition’ occupied much of the attention of macroeconomists. As work of John B Taylor has made clear, the methodological and computational implications of the hypothesis of rational expectations for the theory of optimal macroeconomic policy far transcend the question of whether we accept or reject particular models embodying particular ‘neutrality of money’ or neutrality propositions... The current edition contains many more examples of models in which a government faces a nontrivial policy choice than did the earlier edition.” Langkah penetapan tingkat suku bunga sebesar 5,69% bukan saja tidak memiliki landasan teori dan perhitungan bukti empiris yang memadai, melainkan juga semakin membuktikan bahwa pemerintah mengabaikan teori rational expectation. Buktinya Taylor Rule masih dipergunakan Fed untuk menghitung besarnya Fed rate.

Dapat saja kebijakan ini terjadi akibat otoritas moneter dan pemerintah mengabaikan terjadinya transmisi harga yang tidak simetris (asymmetric price transmission) dalam upayanya menurunkan harga BBM sesuai dengan penurunan harga BBM di pasar internasional (saat ini pemerintah masih belum berhasil). Padahal dengan subsidi BI sekalipun kepada APBN melalui dana pemerintah yang ada di BI dipastikan tidak akan mampu menghapus asymmetric price transmission.

Jelas bahwa kebijakan moneter yang tidak konsisten juga merupakan akibat dari pemerintah yang terlalu cepat menaikkan harga BBM pada beberapa tahun terakhir ini. Seandainya pemerintah mampu menahan diri untuk tidak menaikkan harga BBM pada tahun lalu, ongkos moneter yang harus dibayar publik tidak akan semahal saat ini termasuk kebijakan moneter yang justru semakin membingungkan pasar!

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/02/03/ArticleHtmls/03_02_2009_021_003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: