BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Balasan Alam yang Terluka

Balasan Alam yang Terluka

Written By gusdurian on Kamis, 12 Februari 2009 | 12.54

BANJIR yang melanda pantai utara (pantura) Jawa, khususnya Kota Semarang,bukanlah semata-mata merupakan bencana alam, melainkan balasan yang dahsyat dari alam yang terluka.


Betapa tidak? Bukit-bukit dikepras untuk tumbuhnya bangunan-bangunan mewah. Pepohonan yang sudah rimbun berumur puluhan tahun ditebang habis tanpa ampun. Pantai yang merupakan public space dikavling-kavling untuk hotel dan permukiman elite. Reklamasi lahan dilakukan sekadar untuk penambahan luas tanah demi kepentingan komersial tanpa dilandasi wawasan keseimbangan ekologis.

Alih guna lahan berlangsung tanpa kendali, tanpa didahului kajian ilmiah, tanpa peran serta masyarakat. Para pengusaha yang lapar lahan (land hungry) bersekutu dengan para pejabat dan wakil rakyat. Mereka berdalih secara prosedural sudah sesuai aturan main, lupa bahwa yang jadi masalah besar adalah aspek substansialnya.

Tidak aneh jika kemudian muncul tudingan dan kecaman bahwa penataan ruang di Indonesia kehilangan ”r”- nya menjadi penataan uang. Puisi mbeling Remy Silado menggambarkannya dengan cukup menyengat: Banyak ruang banyak AC/Banyak uang banyak ACC.

Akibatnya rakyat kebanjiran air dan longsoran, pejabat dan wakil rakyat kebanjiran uang dan sogokan. Alam sekitar luka parah dizalimi oleh mereka yang serakah,sekarang gantian membalas dendam.

*** Dalam bukunya yang fenomenal Earthscape (1978), Simonds mengutip kata-kata Rene Dubos selaku pakar lingkungan dari United States of Agriculture: ”Unquestionably we will destroy ourselves if we thoughtlessly and violently upset the complex and delicatre web of life of which we are part of it.”

Kemudian digambarkannya dalam bentuk diagram apa yang diistilahkannya sebagai the dynamics of ecological suicide.Polusi dan populasi di era milenium meningkat drastis, sedangkan sumber daya alam dan standar kehidupan menurun dengan lebih drastis lagi. Kenapa dia menggunakan istilah ecological suicide alias bunuh diri ekologis?

Jelas karena yang berinisiatif merusak, melukai, dan ”membunuh” alam adalah justru mereka yang memperoleh amanah dari rakyat guna mengelola alam dan lingkungan binaan ini. Tempo doeloe, pada 1970- an,siapa yang menyulap alunalun Kota Semarang menjadi kompleks pertokoan Yaik Permai?

Tidak lain dan tidak bukan adalah pimpinan daerah. Sampai sekarang pun, di era milenium ini, pimpinan daerah pula yang punya gagasan akan menyulap lapangan Gedung Olahraga Mugas menjadi hotel bertingkat tiga belas.

Untunglah berkat perjuangan para ilmuwan, profesional, ulama, seniman, budayawan, rencana yang tidak masuk akal itu tidak jadi (atau belum?) dilaksanakan.Namun yang telanjur berubah fungsi cukup banyak, dengan akibat banjir yang semakin parah dari tahun ke tahun.

*** Memang, ada yang berpendapat bahwa bencana banjir itu terjadi karena hujan yang amat lebat selama beberapa hari, permukaan air laut yang meningkat akibat global warming dan mencairnya gunung es,tanah di kota bawah Semarang yang makin lama makin ambles, dan lain-lain.

Seolah-olah itu adalah peristiwa alam yang tidak bisa dihindari. Namun, seperti halnya dengan kasus lumpur panas Lapindo, ulah manusialah yang sesungguhnya membikin parah dan dahsyatnya musibah yang menimpa. Banjir di pantura,khususnya di hilir kota bawah Semarang, bila dirunut pasti ada kaitannya dengan kerusakan alam, bukit, hutan di hulu daerah atas atau pegunungan.

Kenapa pemerintah tidak langsung saja menetapkan moratorium penebangan pohon di seluruh hutan yang ada? Lenyapnya ruang terbuka hijau berupa taman, lapangan olahraga,tempat bermain, kolam renang,kuburan,jelasjelas amat berkontribusi terhadap kian mengerikannya banjir.

Nah, kenapa tidak segera saja diimplementasikan ketentuan dalam Undang-Undang Penataan Ruang No 26 Tahun 2007 bahwa 30% dari luas kota harus berupa ruang terbuka hijau? Kalau kita semua tahu bahwa banjir kanal yang dibuat oleh Belanda puluhan tahun yang silam sudah tidak lagi bisa mengatasi masalah banjir masa kini akibat perluasan kota dan pertambahan penduduk, kenapa tidak dibuat banjir kanal baru atau alternatif lain?

Manakala dalam ilmu perencanaan wilayah dan kota, ilmu lingkungan, teknik arsitektur dikenal istilah daya dukung lingkungan, analisis batas ambang (threshold analysis), koefisien dasar bangunan, dan lain-lain, kenapa tidak diterapkan dengan konsisten? Semua pertanyaan di atas menuntut jawaban dari para pengambil keputusan dan penentu kebijakan di puncak kekuasaan.

Saya percaya sepenuhnya bahwa para ilmuwan dan profesional anak bangsa ini memiliki kemampuan untuk menanggulangi masalah banjir, longsor, rob, yang selalu menghantui masyarakat dari tahun ke tahun.

Kalau Belanda atau Netherlands yang berarti tanahnya ada di bawah permukaan laut saja bisa mengatasi banjir, apakah kita tidak malu bila tiap tahun banjir selalu melanda kota-kota dan daerah kita di segenap pelosok Tanah Air? Selanjutnya terserah kita sendiri.(*)

*)Ketua Forum Keluarga Kalpataru Lestari,
Ketua Dewan Pertimbangan Kota (DP2K) Semarang

PROF IR EKO BUDIHARDJO, MSC *


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/212594/38/
Share this article :

0 komentar: