BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ranjau Demokrasi

Ranjau Demokrasi

Written By gusdurian on Jumat, 13 Februari 2009 | 12.25

Ranjau Demokrasi
Oleh Max Regus Direktur Parhessia Institute Jakarta


“Humanity in general is defamed by it’s predilection to violence.” (Peter Morral, 2006) K ELUHAN seputar persiapan pemilu yang tidak matang merupakan salah satu indikasi bagaimana rezim yang sedang berkuasa pada satu lakon politik saat ini secara tidak sadar melakukan ‘kriminalisasi demokrasi’. Amat keliru jika rezim ini yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu hanya sebatas menyelenggarakan pemilu tepat waktu. Seperti kegelisahan faktual saat ini.
Tentu saja pemahaman semacam ini juga sangat dangkal. Kita sebenarnya berhadapan dengan kebutuhan menjatuhkan pilihan yang paling benar untuk masa depan generasi keindonesiaan yang lebih baik ketimbang generasi Mbak Mega, Pak Susilo, Pak Jusuf Kalla, Wiranto, atau siapa pun ‘orang tua’ yang merasa mampu memimpin Indonesia lima tahun ke depan.

Pemilu yang kedodoran akan memunculkan kekuasaan yang semena-mena terhadap kepentingan rakyat. Para wakil rakyat hanya berkutat dengan urusan famili dan konco politik. Tak ada keberhasilan selain pukulan mematikan terhadap fondasi kebangsaan dan kenegaraan. Instrumen-instrumen politik kekuasaan melakukan kekerasan masif dengan modal kekuasaan yang ada di tangan mereka.

Terpampang ketidaksesuaian antara misi politik dan perilaku koruptif para penguasa. Kekuatan-kekuatan poli- tik lama yang kembali menawarkan dagangan politik kepada rakyat. Itulah sesungguhnya ke kerasan politik yang dilancarkan secara tidak langsung kepada rakyat.

Kekerasan yang tidak pernah dibicarakan dan ditangani se cara serius pada tingkat kebijakan politik telah melukai tubuh bangsa ini. Peter Morral dalam buku Murder and Society (2006) menegaskan betapa obsesi pada kekerasan telah menenggelamkan suatu komunitas politik pada kehancuran. Negara yang membiarkan penindasan politik kelas korporat pada rakyat yang tidak berdaya adalah salah satu simbolisme kekerasan paling sempurna dan menakutkan.

Benalu Pada banyak negara yang serius mengaitkan masa depan dengan logika demokrasi, terdapat sedikit kekuatan politik dominan yang amat menentukan arus kemajuan negara. Mereka dapat mempertanggungjawabkan dengan sangat baik bahwa dominasi di ruang politik selalu koheren keberanian menghadirkan kemajuan dan kemakmuran. Maturitas politik yang ditampilkan kekuatan politik mewujud dalam intensi untuk menggeluti dan memperjuangkan kebutuhan publik.

Yang menjadi persoalan pelik di Indonesia adalah ‘sirkulasi’ politik yang menjemukan. Bahkan, kekuatan politik yang pernah gagal mengamankan visi keindonesiaan tetap mendapatkan tempat signi?kan dalam percaturan politik. Hal ini menjadi masalah demokrasi. Ada ruang partisipasi yang luas dan merdeka untuk semua kekuatan politik. Namun, demokrasi belum memiliki mekanisme yang kuat untuk menahan kiprah kekuatan politik yang gagal tadi.

Bahkan mereka memiliki kekuatan yang diperlukan untuk menyusun strategi me menangkan pertarungan di tengah kehidupan politik ‘abnormal’ seperti se karang ini. Ketidak siapan KPU mengurus pemilu yang akan da tang hanya memberikan peluang kepada kekuatan politik yang mempunyai fasilitas dan kemampuan untuk ‘bermain’ dalam keadaan apa pun.

Ketiadaan mekanisme ‘?lter’ semacam itu telah menjadikan demokrasi sekadar ‘batu loncatan’ dari semua politikus penuh kebusukan untuk tetap bertahan dan menancapkan kerakusan mereka. Sementara itu, demokrasi tidak cukup memberikan perlindungan dan dukungan bagi kekuatan politik baru yang prokepentingan rakyat. Para penjahat politik akan terus tumbuh menjadi ‘benalu’ yang menghisap rakus dari tumbuh keindonesiaan.

Topeng Kita menyentuh persoalan krusial lainnya. Pengkristalan substansi sebagai calon presiden (capres) 2009, sudah semakin jelas, yaitu perang popularitas! Kita tidak sedang mendiskusikan kualitas, bobot, dan integritas capres, melainkan meriuhkan dan membisingkan aspek kemeriahan seorang capres di mata rakyat. Tidak perlu lagi mendiskusikan soal perang survei yang terus menderas mengalir menuju hari pemilu.

Tentu ada masalah-masalah serius yang berada di balik politik popularitas itu. Ada banyak hal disembunyikan! Kebusukan dan kepongahan dipadukan untuk menumbuhkan ‘kekebalan’ pada kritik dan suara derita rakyat.

Yang lebih bermasalah adalah, calon pemimpin yang menggantungkan pencapaian kekuasaan berdasarkan popularitas cenderung terjerembab pada ‘kemalasan politik’ mengabdikan kekuasaan pada kepentingan rakyat. Popularitas arti?sial menjadi ‘topeng’ yang menyembunyikan ketidakberdayaan seorang pemimpin dan calon pemimpin. Beberapa saat menjelang pemilu banyak ‘topeng’ yang terpampang di etalase politik nasional! Sungguh celaka jika pada akhirnya rakyat hanya mendapatkan ‘topeng’ yang memurukkan nasib bangsa ini.

Ranjau Para penguasa yang mendapatkan hak politik dari rakyat telah ‘membelanjakan’ dukungan rakyat seenak selera mereka sendiri. Kultur kehidupan yang tidak mengekspresikan penderitaan rakyat sesungguhnya merupakan seben tuk pengangkangan terhadap demokrasi. Mereka yang menduduki kursi kekuasaan secara tegas melakukan kejahatan saat tidak mampu menghirup aroma kemiskinan dan kepedihan rakyat. Para penguasa yang datang dari penderitaan rakyat tidak lagi memiliki hubungan politik dengan rakyat. Penguasa yang melupakan rakyat merupakan deskripsi lahirnya tragedi demokrasi.

Ada beberapa persoalan mendasar yang telah menyebabkan bangsa ini terkurung dalam kebusukan sosial politik. Pertama, disparitas sosial. Politik pembangunan telah memisahkan dengan kejam kelompok kaya dan miskin. Yang pertama selalu memiliki banyak alasan untuk tetap bertahan pada situasi krisis. Mereka mendapatkan pengakuan dan perlindungan politik hukum yang memadai. Sementara itu, kelompok kedua mempresentasikan keterpurukan yang lengkap. Mereka tidak memiliki jaminan sosial, ekonomi, dan hukum.

Kedua, eksklusi sosial. Perbedaan yang tidak terdamaikan antara dua kelompok sosial ekonomi itu telah menyediakan proses penggusuran komunitas minoritas dari kancah kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Ada yang dilemparkan ke pinggir arena pertarungan.

Ketiga, destruksi sosial. Pola penghancuran sosial mencuat pada aksi-aksi kejahatan dan intimidasi yang dihadapi kelompok-kelompok kecil di tengah masyarakat. Pembatasanpembatasan sosial politik yang terjadi sampai sejauh ini menjadi akar dari semua kejahatan dan kehancuran rakyat.

Hewellyn H Rockwell (2003) menyebut kondisi ini dengan istilah sinful state. Negara yang menelantarkan hak-hak rakyat adalah bangunan politik kekuasaan yang berlumuran ‘dosa’. Koridor sosial politik yang digenangi ‘darah’ akibat kekejaman yang berlangsung dengan aman karena kesadaran publik tersandera propaganda ‘popularitas’.

Demokrasi akan berubah menjadi ‘mimpi buruk’ masa depan Indonesia, manakala pemilu tahun ini isinya cuma para pemain politik yang tidak layak untuk bertanding. Namun, kontradiksi demokrasi ada pada titik ini. Demokrasi membiarkan para pecundang tersebut berkeliaran sembari meraup keuntungan-keuntungan untuk menebalkan pundi-pundi mereka.

Sementara itu, yang dibutuhkan adalah politikus negarawan yang menjadikan kepentingan rakyat melampaui kemapanan pribadi dan kelompok politik. Tragisnya, kita masih sebatas meributkan ‘tanggal’ yang tepat untuk pemilihan presiden! Menggelikan. Namun kenyataannya berbicara begitu! Demokrasi yang tidak membangun kultur ‘kenegarawanan’ akan berubah menjadi ‘ranjau’ yang menghancurkan bangsa ini.



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/02/03/ArticleHtmls/03_02_2009_021_002.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: