BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tantangan Besar Abad XXI

Tantangan Besar Abad XXI

Written By gusdurian on Selasa, 27 Januari 2009 | 10.22

Tantangan Besar Abad XXI
Chris Patten, MANTAN KOMISARIS UNI EROPA URUSAN HUBUNGAN LUAR NEGERI, GUBERNUR TERAKHIR INGGRIS DI HONG KONG

Jadi apa sebenarnya yang ditawarkan tahun 2009 ini kepada kita? Seperti biasa, masa depan yang tidak bisa diprediksi ini—serangan teroris atau keputusan gegabah seorang kepala negara—bakal memakan banyak korban. Tapi apa yang akan terjadi besok sebenarnya tidak lain akibat yang dihasilkan sejarah. Di abad lalu, jumlah penduduk dunia meningkat empat kali lipat, dan jumlah orang yang tinggal di kota meningkat 13 kali lipat. Output dunia tumbuh dengan faktor 40, penggunaan air dengan faktor 9, konsumsi energi dengan faktor 13, dan emisi karbon dioksida dengan faktor 17. Abad ke-21 harus menanggung semua akibat tersebut di atas, yang baik maupun yang buruk.

Beberapa di antara faktor yang bakal membentuk kehidupan kita tampaknya tarik- menarik ke arah yang berbeda-beda. Profil usia masyarakat sudah berubah dramatis. Asia dan Eropa telah mengalami penurunan tingkat kesuburan. Angka-angka di Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan bahkan lebih mencolok daripada di negara-negara Eropa Katolik, seperti Spanyol, Italia, dan Polandia.

Pada saat yang sama, manusia hidup lebih lama, sehingga dalam satu generasi jumlah orang lanjut usia yang menggantungkan hidupnya pada orang lain di beberapa negara melampaui jumlah mereka yang lebih muda. Kita telah terbiasa dengan masyarakat dengan struktur demografis yang menyerupai piramid—bagian dasar yang lebar terdiri atas penduduk usia muda, mengerucut ke atas berupa lansia di puncaknya. Tapi sekarang strukturnya lebih banyak menyerupai profil gedung pencakar langit, sedikit-banyak sama dari atas ke bawah.

Yang tua harus menyesuaikan diri dengan teknologi yang lebih muda. Peluang kerja dan pendidikan semakin luas. Banyak siswa sekarang dipersiapkan untuk pekerjaan yang belum terbentuk. Lagi pula beberapa jenis ilmu pengetahuan bisa dengan cepat menjadi redundan. Sesungguhnya separuh dari apa yang dipelajari siswa pada tahun pertama kuliah teknik empat tahun bakal usang menjelang tahun ketiga. Perubahan itu sendiri makin cepat. Hasilnya semakin besar. Manfaat dan mudarat sama-sama menembus lebih dalam. Setiap bulan ada 31 biliun pencarian atau search pada Google. Dulu radio perlu waktu 38 tahun untuk menjangkau 50 juta khalayak. Sekarang Facebook cuma perlu waktu dua tahun.

Kita biasanya mengira lebih mudah bagi orang-orang muda menghadapi perubahan seperti ini. Bagaimana dengan seseorang seperti saya, yang kuliah di perguruan tinggi pada awal 1960-an, beradaptasi dan menghadapi perubahan itu. Bagaimana masyarakat terdahulu mengelola teknologi dan tetap dinamis. Tantangan terbesar bagi kita semua, muda dan tua, tahun depan dan seterusnya, bakal timbul dari perubahan yang tidak akan cuma merespons determinisme teknologi. Ia bakal timbul dari cara kita hidup selama dua abad ini. Jika para pemimpin yang tua sekarang ini tidak memberikan jawaban yang tepat, angkatan mudalah yang bakal menuai badai—bisa juga secara harfiah.

Tahun 2009, katanya, bakal menyaksikan tercapainya kesepakatan mengenai pemanasan global dan perubahan iklim yang akan menggantikan dan menyempurnakan Protokol Kyoto. Kopenhagen adalah tempat untuk pertemuan ini. Mereka yang optimistis mengelu- elukan berakhirnya pemerintahan Bush dan mengatakan tibanya pemerintahan Obama yang tak seperti pendahulunya, tidak menolak upaya penyelesaian pemanasan global, bakal membuka prospek kesepakatan. Mereka yang pesimistis mengatakan masalah ekonomi yang semakin parah di dunia telah digunakan banyak negara sebagai alasan untuk tidak mengambil tindakan mengurangi emisi karbon.

Tapi terus menggunakan energi dengan tidak efisien tak akan mengurangi dampak perih yang kita alami akibat krisis ekonomi global saat ini. Jika kita menggunakan masalah yang kita hadapi sekarang sebagai alasan untuk tidak berbuat sesuatu guna menyelamatkan lingkungan, kita cuma bakal menumpuk masalah yang jauh lebih besar—dan berpotensi membawa bencana—di masa datang.

Cina, negara yang ekonominya berkembang paling pesat di dunia saat ini, mengerti benar persoalannya. Apakah India juga demikian, bagi saya, itu agak meragukan. Cina menghadapi bahaya lingkungannya sendiri, misalnya, masalah air. Ia tidak mau melihat industrinya menjadi usang dan tidak bersaing. Cina akan berusaha mencapai kesepakatan global mengenai perubahan iklim. Persoalannya, apakah ia mampu mengenakan standar lingkungan yang lebih ketat di seluruh negeri.

Bagi Amerika, persoalannya juga terutama masalah politik di dalam negeri. Tidak bakal ada usulan Amerika yang berarti mengenai lingkungan sampai terdapat kesepakatan dalam Kongres. Tugas kita tahun ini adalah mencapai kesepahaman global di Kopenhagen yang bukan bersifat resep semata, tapi yang lebih memberikan semangat dan mencakup kesepakatan politik di dalam negeri Amerika Serikat segera setelah Obama dapat mengusahakan kesepakatan itu.

Tapi semua diplomasi yang sensitif bisa kandas jika, sebagai respons terhadap meningkatnya pengangguran, timbul ledakan proteksionisme yang melibatkan Amerika, Eropa, dan Cina, yaitu ketika agenda ekonomi dan agenda lingkungan bertabrakan dengan konsekuensi yang fatal. Karena itu, kita semua, yang muda dan yang tua, harus siap menghadapi tahun-tahun yang menggairahkan tapi berbahaya di masa depan. Kita semua pasti berharap Presiden Amerika generasi Internet yang pertama ini bisa membimbing negaranya serta bagian-bagian dunia lainnya memasuki masa depan yang lebih aman dan makmur berkesinambungan.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/27/Opini/index.html
Share this article :

0 komentar: