Situs Majapahit dan Kepekaan Sejarah
Endang Suryadinata, peminat sejarah Indonesia-Belanda, alumnus Erasmus Universiteit, Rotterdam
Maksud atau niat baik, dalam prosesnya, ternyata justru bisa berdampak buruk dan mengundang protes banyak kalangan. Ini tampak dari kasus pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) di dalam kawasan atau situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Perusakan bermula ketika ada upaya penggalian tanah saat membuat fondasi beton dan tembok proyek pembangunan PIM yang akan didirikan di samping kompleks Museum Trowulan. Upaya penggalian itu sudah merusak fondasi bata merah, konstruksi sumur kuno, juga terakota bekas peninggalan ibu kota Majapahit. Kerusakan itulah yang amat disayangkan. Pasalnya, situs Majapahit memang merupakan situs yang sangat bernilai historis dan tiada duanya di dunia, sehingga tak ada toleransi untuk setiap bentuk perusakan.
Seperti diketahui, situs Trowulan terletak sekitar 60 kilometer sebelah barat daya Kota Surabaya dan diyakini sebagai ibu kota Kerajaan Majapahit, yang membentang dari tahun 1293 hingga 1521 Masehi. Di kawasan seluas 11 x 9 kilometer itu telah ditemukan sedikitnya 32 kanal, satu kolam seluas lebih-kurang 6,5 hektare, serta dua pintu gerbang: Gapura Bajangratu dan Gapura Wringin Lawang. Selain itu, ditemukan permukiman dan pendapa kuno, serta candi Hindu dan Buddha, seperti Candi Brahu, Candi Tikus, dan Candi Gentong. Masih ada ratusan ribu peninggalan arkeologis lainnya berupa artefak, ekofak, serta fitur (penelitian Nur Hadi Rangkuti).
Penelitian Nurhadi tentu tak lepas dari penelitian sebelumnya yang sudah dirintis sejak zaman penjajahan. Peneliti awal situs Trowulan adalah Wardenaar pada 1815, yang kemudian dipublikasikan dalam buku Thomas Raffles bertajuk History of Java (1817). Disebutkan dalam buku itu berbagai obyek arkeologis yang berada di Trowulan sebagai peninggalan Kerajaan Majapahit. Kemudian masih banyak peneliti lain, seperti W.R. van Hovell (1849), J.V.G. Brumund, dan Jonathan Rigg. Kemudian RDM Verbeek (1889), R.A.A. Kromodjojo Adinegoro, seorang Bupati Mojokerto (1849-1916), J. Knebel (1907), dan kemudian Henry Maclaine Pont (1921-1924).
Adanya penelitian itu kemudian melahirkan apresiasi atas situs Trowulan, sehingga keberadaannya kian mengundang decak kagum dunia, khususnya para arkeolog dan peminat sejarah. Sayang, baik pemerintah kita maupun masyarakat setempat tampaknya tidak memiliki apresiasi seperti itu. Pasalnya, mereka justru merusaknya (destruksi). Seperti diketahui, perusakan itu bukan hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang memprakarsai berdirinya PIM. Masyarakat setempat di Trowulan yang menggali tanah dan menjadikan tanah di sana sebagai batu bata juga terbukti sudah merusak situs yang sangat berharga itu.
Lalu pelajaran apa yang bisa kita timba dari kasus ini? Ternyata "sensus historiae" atau rasa sejarah (lebih tepatnya kesadaran sejarah) yang ada pada bangsa ini masih begitu minim. Kesimpulan ini bisa dijabarkan dan didukung berbagai argumentasi. Coba dicamkan, ternyata bukan hanya situs Trowulan yang dirusak. Di berbagai tempat di Tanah Air, banyak situs bernilai sejarah dibiarkan telantar. Misalnya titik awal Kota Banda Aceh di sekitar makam raja-raja di kawasan Gampong Pande, yang kini justru menjadi tempat pembuangan sampah atau pengolahan tinja. Kita juga ingat para pengelola museum pun ada yang tega menjual arca atau patung bernilai sejarah kepada mafia barang antik yang sudah punya jaringan di Indonesia. Masih ingat penjualan arca Museum Radya Pustaka, Solo?
Lalu kebijakan pemerintah yang sering kali dikeluhkan adalah makin hilangnya bangunan-bangunan tua bernilai sejarah yang telah beralih fungsi atau dijual ke pihak ketiga. Yang lebih parah, hal seperti itu berlangsung di banyak kota besar lainnya di Indonesia, tak terhitung sisa-sisa bangunan kuno yang telah dialihfungsikan. Kebijakan yang mengalihfungsikan bangunan kuno atau merusak situs tentu saja menunjukkan miskinnya kesadaran sejarah bangsa ini.
Ini beda sekali dengan Belanda atau negara-gara Barat lainnya, yang sudah sadar akan sejarah. Bukan hanya sejarah bangsa sendiri, tapi juga sejarah bangsa lain, termasuk Indonesia. Terbukti di Belanda atau Inggris, misalnya, banyak tersimpan semua hal yang terkait dengan warisan budaya kita. Malah, konyolnya, jika sejarawan atau mahasiswa Indonesia ingin memperdalam atau mengetahui bahasa atau warisan budaya Jawa, misalnya, dia harus ke British Library dan School of Oriental and African Studies di Inggris, yang menyimpan 1.200 naskah dari Aceh hingga Sangir. Atau harus ke Universitas Leiden, atau mengaduk-aduk semua literatur di perpustakaan KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde), yang merupakan pusat dokumentasi terbesar di dunia (www.kitlv.knaw.nl).
Pemerintah dan warga negara di negara-negara Barat memang punya "sensus historiae" yang layak kita tiru. Mereka sungguh menyadari bahwa kemajuan yang mereka peroleh pada masa sekarang tidak pernah lepas dari perjuangan dan dinamika para founding father/mother di masa lalu. Dengan demikian, mereka bukan menjadi bangsa yang suka memutus masa lalu, tapi bangsa yang sadar bahwa perjalanan mereka di masa sekarang juga amat ditentukan oleh sikap mereka terhadap masa lalu. Orang-orang Barat menyadari mereka hidup dalam perspektif ruang dan waktu, sehingga ada semacam kesinambungan antara yang nanti, yang sekarang, dan yang dulu. Tak bisa diputus-putus.
Bagi orang Barat, sejarah sebenarnya bukan hanya terkait dengan nama-nama dan peristiwa masa lalu, tetapi bagaimana orang bisa punya kesadaran dan penghargaan akan waktu. Tidak aneh, miskinnya kesadaran kita akan sejarah telah mendorong bangsa ini kurang menghargai waktu, tidak berdisiplin (mentalitas jam karet), sehingga kita menjadi bangsa yang kurang kompetitif.
Tidak mengherankan, budayawan Bandung, Jakob Sumardjo, pernah mengungkapkan, bangsa kita adalah bangsa antisejarah, selalu membunuh masa lalunya. Masa lalu bukan bagian dirinya, melainkan sejarah "yang lain". Rezim Orba, misalnya, amat doyan memanipulasi sejarah. Tak mau mengakui sejarah menurut versi lain. Para mantan jenderal dari Orba yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu, misalnya, selalu mencoba mengelak dengan argumentasi "sudah saatnya kita menatap masa depan". Padahal masa depan tak akan bisa diraih selama kita tak mau belajar berdamai dengan masa lalu atau sejarah. Ada cukup banyak dampak yang merugikan bila kesadaran sejarah kita tetap terus rendah. *
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/17/Opini/krn.20090117.154066.id.html
Situs Majapahit dan Kepekaan Sejarah
Written By gusdurian on Minggu, 18 Januari 2009 | 11.30
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar