BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Saatnya Mental Checkup Para Pejabat

Saatnya Mental Checkup Para Pejabat

Written By gusdurian on Minggu, 18 Januari 2009 | 11.31

Saatnya Mental Checkup Para Pejabat

Oleh Pribakti B. *

Dalam ilmu kedokteran, kita diajari untuk berpikir preventif (pencegahan). Lebih baik mencegah penyakit daripada mengobati. Biayanya lebih murah dan membuat kualitas hidup lebih baik. Sebab, sakit pada zaman sekarang mahal.

Kebiasaan hidup yang sehat, misalnya tidak merokok, berolahraga, tidak minum alkohol, makanan sehat, dan memeriksakan kesehatan diri sedara teratur, amat penting untuk pencegahan itu. Kebiasaan memeriksakan kesehatan diri secara teratur dikenal sebagai medical checkup. Hanya, umumnya medical checkup lebih dititikberatkan kepada pemeriksaan kesehatan jasmani. Pemeriksaan mengenai kesehatan rohani atau mental kurang mendapatkan perhatian memadai.

Dalam penglihatan saya, itu kurang baik. Padahal, mental checkup yang dimaksudkan di sini ialah pemeriksaan diri secara periodik mengenai kesehatan rohani kita. Dari waktu ke waktu kita perlu mendapatkan gambaran apakah kita menjadi lebih sombong, lebih pemarah, lebih mudah tersinggung, lekas iri hati, dan sebagainya daripada waktu-waktu sebelumnya.

Itu perlu kita lakukan karena gangguan kejiwaan datangnya ke dalam diri kita selalu bersifat berangsur-angsur. Rasanya tidak ada gangguan jiwa yang datang secara mendadak. Dapat Anda bayangkan bagaimana tidak nyamannya kalau kita bekerja di bawah bos yang segar bugar jasmaninya, tapi penuh frustrasi dan kecenderungan neurotik dalam kehidupan rohaninya.

Tentang hal itu mengingatkan saya kepada pejabat senior di jajaran Depdiknas yang pernah menceritakan pengalamannya. Kepada saya, dia mengingatkan bahwa buat pejabat, mental checkup itu perlu dan hukumnya wajib.

Selama ini dia merasa mempunyai kehidupan rohani yang sehat. Dia tahu kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Dan, semua itu dia terima segala sifat serta nasib yang ada pada dirinya secara ikhlas.

Buktinya, sehari-hari meskipun notabene seorang pejabat, dia selalu berusaha hidup biasa-biasa saja. Dia berusaha tidak menyalahgunakan kedudukan untuk menggendutkan perutnya. Dia bekerja keras untuk terhindar dari yang namanya ''penyakit pejabat''.

Pada suatu ketika pejabat itu mendapat kesempatan pergi ke luar negeri. Karena yang mensponsori perjalanan tersebut adalah badan ilmiah asing yang bersifat swasta, segala fasilitas perjalanan disesuaikan dengan ketentuan bukan suatu perjalanan dinas untuk seorang pejabat.

Misalnya, tiket pesawat hanya untuk kelas ekonomi, di tempat kedatangan tidak ada yang menjemput, dan perjalanan lokal pun di sana harus dilakukan dengan kendaraan umum.

Maka, berceritalah pejabat itu bagaimana sakit hatinya dalam menjalani semua ketentuan tersebut. Dia yang sudah sangat senior dan tinggi kedudukannya masih harus berdesak-desakan di kelas ekonomi, sedangkan dia melihat banyak orang muda yang duduk di business class.

Di kota-kota yang dikunjungi, dia harus bermalam di hotel yang sederhana. Sedangkan banyak orang Indonesia lainnya yang lebih muda daripada dirinya bermalam di hotel yang lebih mewah. Dia benar-benar sakit hati.

Setelah beberapa hari dia bergelut dengan perasaan yang serbanegatif itu, dia sekonyong-konyong menjadi sadar bahwa segala kejengkelan tersebut merupakan pertanda kehidupan batinnya yang tidak cukup sehat. Dia sebenarnya telah menderita penyakit batin yang ditakuti selama ini, yaitu penyakit pejabat. Dia yang selama ini mengira dirinya terbebas dari penyakit yang berbahaya itu ternyata mengidapnya juga.

Tanpa disadari, rupanya selama ini dirinya mengharapkan bahwa berkat senioritas dan jabatannya, lingkungan di sekitar setidak-tidaknya bersikap sopan dan hormat dan tidak memperlakukannya sebagai orang sembarangan. Itulah kesalahannya! Itulah penyakitnya!

Penyakit tersebut, rupanya, selama ini telah masuk ke dalam dirinya secara diam-diam, sedikit demi sedikit. Dan, pada saat kesadaran itu timbul, ketika itu pula dia dapat menolak segera rasa jengkel yang akan muncul dalam dirinya.

Dia, misalnya, mau berdesak-desakan di bus dengan hati yang lapang. Dia pulang ke Indonesia dalam pesawat kelas ekonomi dengan rasa lapang pula. Dia merasa bersyukur bahwa masih dapat mengadakan perjalanan ilmiah tanpa harus mengeluarkan uang dari kocek sendiri, yang memang tidak dipunyainya.

Singkat cerita, pejabat tersebut melukiskan secara nyata bahwa mental checkup merupakan kebiasaan yang baik bagi pejabat. Kalau medical checkup memerlukan biaya, mental checkup dapat dilakukan tanpa biaya.

Caranya ialah dengan kita berintrospeksi secara jujur, melihat ke dalam diri sendiri secara berterus terang, tidak bersembunyi-sembunyi. Itu memang memerlukan keberanian. Tetapi, bagaimana juga hal itu dapat kita pelajari. Kita dapat belajar untuk bersikap jujur terhadap diri sendiri.

Kita dapat belajar untuk mengenal diri sendiri. Kita dapat belajar untuk mengkritik diri sendiri. Setiap menjumpai pengalaman yang tidak enak mestinya bertanya kepada diri sendiri, mengapa saya merasa tidak enak? Lalu, jawablah pertanyaan itu secara jujur dan tuntas.

Self Analysis

Dalam psikologi, tindakan macam itu merupakan bagian dari proses self analysis, proses pemahaman diri sendiri. Kalau pemahaman diri sendiri sudah dimiliki semua pejabat di negeri ini, insya Allah, Indonesia selamat dari krisis, termasuk berjibunnya rekening liar.

Pertanyaannya, apakah pejabat kita mau secara rutin melakukan mental checkup? Wallahu a'lam.

*. Pribakti B., dokter, kini staf pengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat (FK Unlam) di Banjarmasin


http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=46674
Share this article :

0 komentar: