BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Resensi, Dalam Belenggu Sebuah Orde

Resensi, Dalam Belenggu Sebuah Orde

Written By gusdurian on Sabtu, 03 Januari 2009 | 10.51


Resensi

Dalam Belenggu Sebuah Orde


PERTARUHANSutradara: Ani Ema Susanti, Lucky Kuswandi, Ucu Agustin, Iwan Setiawan, dan M. IchsanProduksi: Kalyana Shira Films, 2008Tubuh perempuan. Di antara keperkasaan menggapai kesetaraan dan keanggunan sikap menyiasati status domestiknya; terus saja dipandang sebagai objek. Mulai terpaan mitos tradisional tentang keperawanan, pembedaan eksistensi seksual, hingga sudut pandang sebuah “rezim lelaki” yang kekal menempatkannya sebagai komoditas.Kaum post-modernis bilang, sejarah tubuh perempuan terentang bersama sejarah orde politik di muka bumi. Cerita tentang tubuh dan ketubuhan tidak sekadar perkembangan suatu wadag genetis yang evolutif. Melainkan lebih merupakan produk sejarah dalam konsep yang lebih umum. Lengkap dengan pernak-pernik tradisi hasil kreasi aneka sistem yang maskulin.Uraian dan tanggapan atas situasi itu termaktub dalam film dokumenter berjudul Pertaruhan. Kalyana Shira Production mengemas Pertaruhan sebagai antologi dokumenter dalam empat kisah berbeda. Semuanya menyoal tubuh perempuan.Setelah diputar perdana di ajang Jiffest 2008, antologi besutan lima sutradara muda itu kini dapat dinikmati di jaringan bioskop komersial Blitz Megaplex. Meski bioskop ini beberapa kali menyandingkan film dokumenter dengan film-film feature dari berbagai negara dan --tentu saja-- Hollywood secara setara, tetap saja sesi itu masih terasa langka.Kecuali dalam rangka festival, film dokumenter lazimnya diputar dalam skena-skena khusus oleh komunitas tertentu. Dari ruang presentasi pusat-pusat kebudayaan asing, kampus, hingga kamar kos. Adalah sebuah kemewahan membayangkan kisah-kisah sungguhan yang diperankan pelaku aslinya itu diputar di tempat yang nyaman dengan kursi empuk dan kudapan.Pertaruhan dimulai dengan kisah buruh migran berjudul “Mengusahakan Cinta”, garapan sutradara Ami Ema Susanti. Berkisah tentang Mbak Wati, seorang perawan tua, pembantu rumah tangga di Hong Kong. Ia mempertaruhkan kesehatan rahimnya yang dihuni Myom dengan mempertimbangkan keberatan pacarnya, seorang duda di Jawa, yang menyakralkan keperawanan.Juga Rianti. Ia datang ke Hong Kong dan bekerja sebagai “babu” setelah diperbabukan lantas diceraikan suaminya. Dari negeri jauh, Rianti membiayai hidup dan sekolah anak perempuannya. Di negeri jauh, ia mengekspresikan kebebasannya dari jerat kekuasaan lelaki dengan menambatkan asmaranya kepada sesama pembantu rumah tangga asal Indonesia; menjadi lesbian.Bagian kedua, “Untuk Apa?”, garapan sutradara Iwan Setiawan dan M. Ichsan, bercerita tentang kontroversi sunat perempuan yang prakteknya dilarang Departemen Kesehatan sejak 2004. Kenyataan dalam masyarakat tradisional, penyesalan dan trauma perempuan modern berkelindan di antara lalu lintas argumentasi medis dan agamis yang semrawut.Sedangkan kisah ketiga, “Nona Nyonya?”, besutan sutradara Lucky Kuswandi, memaparkan kejanggalan dan standar pelayanan kesehatan membingungkan yang diberikan kepada kaum perempuan berstatus “nona” ketika hendak memeriksakan kesehatan faal reproduksinya. Rekomendasi moral yang berada di balik status "nona" dan "nyonya" pada banyak kasus mampu mengesampingkan tujuan sesungguhnya jasa pelayanan medis.Pada satu titik, seruan biblikal seorang ginekolog tua menggantikan fungsi penjelasan medis yang dibutuhkan pasiennya.Cerita pamungkas dalam antologi dokumenter ini adalah “Ragat' e Anak”, karya sutradara Ucu Agustin. Berkisah tentang Nur dan Mira, para pekerja seks di kawasan Gunung Bolo, Tulungagung, Jawa Timur. Siang hari, mereka mencari tambahan penghasilan dengan bekerja sebagai pengumpul dan pemecah batu, demi memenuhi kebutuhan hidup dan memperjuangkan masa depan anak mereka.Secara teknis, modus ungkap Pertaruhan tidaklah menghadirkan gagasan baru dalam ranah dokumenter. Strategi penyuntingannya biasa-biasa saja. Struktur tiap-tiap kisah yang dimulai dengan pemaparan data statistik pendukung adalah praktek yang lazim dan aman sebagai pengantar menuju narasi.Selain itu, kehendak menghadirkan aspek drama dalam menelusuri kehidupan tokoh membuat beberapa informasi jadi terkesan dipaksakan muncul. Misalnya, dalam “Mengusahakan Cinta”, sekuen yang memuat konflik antara Rianti dan kekasih lesbiannya hadir begitu saja tanpa akar masalah yang jelas.Kebutuhan menghadirkan konflik itu terbaca sebagai upaya sutradara untuk memaksakan drama yang senapas --dalam sekuen yang beriringan-- dengan konflik yang dihadapi Mbak Wati dan calon suaminya. Bedanya, konflik yang disebut terakhir itu terasa relevan karena dibangun dengan akar masalah yang cukup terang. Sementara itu, Rianti tiba-tiba saja menulis surat permintaan maaf kepada kekasih lesbiannya.Aspek yang melemahkan juga tampak dalam kisah “Nona Nyonya?”. Terlalu banyak tokoh yang memberikan testimoni dalam durasi yang begitu terbatas. Puncaknya, struktur penokohan yang berupaya simetris itu jadi terganggu oleh pemuaian kisah yang memuat aktivitas pasangan lesbian yang hendak memeriksakan kesehatan reproduksinya.Sekuen pasangan lesbian itu terasa terlalu “royal” jika hendak memunculkan --dalam nuansa sinisme-- konfigurasi identitas seksual “nonya” di antara status nona dan nyonya. Sedangkan jika tujuannya ingin mengakomodasi kebutuhan untuk mengemukakan secara berimbang kenyataan baik jasa pelayanan kesehatan terhadap perempuan nona-nyonya, tugas itu sudah dijalankan lewat keterangan seorang ginekolog perempuan.Dengan begitu, pemunculan pasangan lesbian untuk kedua kalinya dalam Pertaruhan menyiratkan semacam ideologi politik feminisme dalam mengonstitusikan hak-hak perempuan atas tubuhnya. Jika benar demikian adanya, pernyataan politis yang dipilih Pertaruhan itu lebih dari cukup untuk meredam potensi kekayaan nilai-nilai human interest yang terkandung di dalamnya.Lepas dari lemahnya aspek-aspek intrinsik antologi Pertaruhan, film ini --sebagaimana lazimnya karya dokumenter-- tetap layak ditonton. Khususnya oleh khalayak umum yang memiliki akses sangat terbatas --atau malah sama sekali tidak memiliki akses-- untuk menikmati film-film dokumenter.Ironi di Gunung Bolo, dalam karya Ucu Agustin, misalnya, sarat dengan materi yang cukup komplet; seperti sebuah megamal bagi orang-orang kere yang dianggap kalah. Di sana ada perjuangan, penderitaan, komedi hitam, dan tentu saja pertaruhan hidup.Atau dampak perseteruan argumentasi dalam “Untuk Apa?”, yang secara mengejutkan mampu membimbing penonton untuk secara subjektif berpihak kepada pemilik-pemilik tubuh yang merasa teraniaya karena tradisi sunat pada perempuan.Tubuh-tubuh dalam Pertaruhan menarasikan dirinya tanpa harus secara teknis memakai modus ungkap naratif. Dan narasi tubuh yang terpapar dalam film ini hanyalah secuil kisah dari narasi besar --dan boleh jadi amat panjang-- tentang politisasi tubuh perempuan oleh begitu banyak variasi dalam sebuah orde. Orde laki-laki.Bambang Sulistiyo[Film, Gatra Nomor 6 Beredar Kamis, 18 Desember 2008]

http://gatra.com/artikel.php?id=121569
Share this article :

0 komentar: