BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Politik Dagang Sapi

Politik Dagang Sapi

Written By gusdurian on Senin, 19 Januari 2009 | 13.05

Politik Dagang Sapi

AROMA politik bangsa, yang menyebut diri sedang menjalankan reformasi, lambat laun kita cium sebagai sesuatu yang amat tidak sedap. Ada berbagai kebusukan di dalamnya.

Berbagai peristiwa politik akhir-akhir ini, terutama menjelang dilangsungkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, mempertegas bahwa kita kian jauh dari cita-cita reformasi. Bagaikan tubuh, politik kita kehilangan rasa. Ia berjalan dalam kondisi tidak sehat. Dengan kata lain, politik kita mengidap penyakit parah dan sulit diobati. Sebab, aroma dari dalam tubuhnya adalah kebusukan.

Penyakit politik kita begitu kronis. Penyakit itu ditunjukkan dengan ketidakjelasan arah, mau dibawa ke mana bangsa ini. Semua serbatidak jelas dan seakan dibuat tidak jelas oleh para pelakunya, alias elite-elite politik.

Hukum dibuat dan diperlakukan sebagai ''politik dagang sapi'', rakyat hanya menjadi dagangan politik. Uang menjadi segalanya. Mereka sama sekali tidak sadar bahwa itu membuat kita terjerumus ke lubang yang kelam. Dari jurang yang dalam itu, yang bisa dilakukan hanya keluh kesah mengadu ke bunda pertiwi yang sudah kehilangan air mata.

Barang dagangan alias komoditas politik itulah yang saat ini diproduksi besar-besaran dalam berbagai undang-undang yang disahkan lembaga dewan terhormat. Ironisme itu dapat dilihat, misalnya, dalam Undang-Undang (UU) Kepresidenan yang tak luput dari fenomena tersebut. Produk undang-undang di negeri ini selalu berorientasi kepada kekuasaan, yakni untuk memperkukuh state daripada untuk mengatur rakyat dan kedaulatannya.

Memang, rakyat dibuat seolah berdaulat, tetapi sebenarnya rakyat tidak memiliki akses untuk membangun kedaulatan. Jadi, kedaulatan hanya slogan. Kedaulatan dimaknai sekadar upacara rakyat guna meniup landasan kekuasaan pada penguasa.

Dengan demikian, kekuasaan selalu menghegemoni kedaulatan. Kedaulatan yang semula merupakan hak dasar tiap individu telah direbut paksa oleh kekuasaan. Kekuasaan cenderung menuhankan dirinya. Dia telah memproduk dirinya sebagai lembaga superbodi dan antikritik.

Dugaan rakyat bahwa lembaga rakyat (DPR) memproduksi UU semata-mata berdasarkan kekuatan uang hampir-hampir bukan lagi menjadi dugaan, tetapi kepastian politik. Seolah tanpa uang, tidak ada UU. Jadi, benar dalam berpolitik uang menjadi raja. Demi uang, cita-cita untuk membangun masyarakat sipil yang menghormati norma-norma hukum sirna. Cita-cita itu hanya slogan untuk memenuhi ambisi kekuasaan.

Kekuasaan telah dimaknai sebagai dewa yang harus disembah dan para pengejarnya akan bertekuk lutut di bawah kakinya. Demi takhta, pelacuran politik terjadi di mana-mana, ''Yang penting kamu bisa setor berapa?'' Kata ''setoran'' dalam berpolitik saat ini amat menggejala, tidak hanya di pemerintahan pusat, tetapi juga di daerah. Rakyat sudah tahu, tetapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, saluran kritik itu sendiri sudah ditutup rapat-rapat oleh kekuasaan dengan menancapkan hegemoni kuat-kuat agar rakyat (secara politik) terlemahkan.

Ada lagi fenomena, politik yang saat ini menjadi barang dagangan itu sedang dipermainkan para komparador politik. Mereka tidak berpikir bagaimana rakyat bisa sejahtera melalui politik, tetapi yang penting adalah bagaimana dirinya meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Politik hanya dimaknai bagaimana bisa berkuasa. Seakan-akan tertancap kuat bahwa kekuasaan itu berlogika amat spesial; ia bisa memberikan hak istimewa kepada peraihnya, semua boleh dilakukan untuk diri sendiri. Seolah kekuasaan itu tak bisa disentuh siapa pun. Logika di balik semua itu adalah logika kesatria bahwa pemilik pedang tak bisa dikalahkan. Heroisme lantas menjadi kultur untuk membangun sejarah para kesatria.

Logika kesatria ialah logika kekuasaan senjata. Pilihan ini membangun kultur bangsa yang amat mengerikan, yang penting adalah kekuatan otot. Kekuatan otot yang digunakan para penguasa saat ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai UU berbau fasis. Akal sehat tidak lagi menjadi pilihan. Rakyat harus diletakkan pada margin yang benar-benar tak menjangkau untuk mengkritik UU. Rakyat hanya boneka politik!

Di sinilah letak problem bangsa ini! Kita tidak berani melihat masa lalu sebagai titik refleksi untuk membangun kultur baru. Kultur politik yang selama ini dibangun mengarah kepada Ken Arok-isme. Kultur ini sungguh memuja kedayaan otot sebagai pilihan dalam segala pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil jarang yang mempertimbangkan akal sehat. ''Asal gue menang, elu mau apa? Kalau mau mengkritik gue, lawan gue dengan kekuatan yang elu punya, jangan main kritik melulu!''

Kepada elite politik yang masih dipercaya rakyat, sadarilah bahwa kecenderungan seperti itu amat memuncak dalam berbagai adegan politik yang sering dipentaskan. Dalam melihat rakyat, jangan samakan dengan cara juragan melihat buruh, yakni bisa ditinggalkan kapan sang juragan suka.

Kalau memang perilaku elite masih seperti itu, jangan heran bila hubungan yang tercipta antara rakyat dan elite sama halnya hubungan antara patront dan client.

Dalam hal itu, partisipasi politik, kritik politik, dan emansipasi politik sama sekali nol! Semua dibuat ''seolah berpartisipasi, seolah mengkritik, dan seolah beremansipasi''. Padahal, semua tak ada artinya.

*. Benny Susetyo P.R., sekretaris Dewan Nasional Setara di Jakarta

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=45338
Share this article :

0 komentar: