
Outlook Ekonomi 2009
Jurus Menjinakkan Bahaya Krisis
Paula Suherman tak bisa menyembunyikan rasa sedih. Ibu tiga anak ini baru saja menerima kenyataan pahit. Bersama ribuan karyawan lainnya, menjelang tutup tahun 2008 lalu, wanita berjilbab ini kena pemutusan hubungan kerja alias PHK. Paula jelas kelimpungan. Selama ini, dia membantu keuangan keluarga. Penghasilan suaminya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan dan sekolah anak. Kena PHK bak setengah kiamat buat keluarganya.
Mendapatkan tempat kerja baru jelas bukan perkara mudah. Sebab, di saat yang sama, banyak perusahaan merampingkan karyawannya. Perusahaan tempat Paula bekerja adalah korban keganasan krisis ekonomi global. Selama ini, perusahaan itu sangat bergantung pada pasar ekspor. Ketika ekonomi dunia loyo, permintaan komoditas merosot tajam. Ujung-ujungnya, cash flow perusahaan tempatnya bekerja memble, rapor keuangannya merah.
Sofjan Wanandi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, memastikan bahwa gelombang PHK akan bertambah besar pada 2009. "Jumlahnya hingga satu juta orang," katanya kepada Sukmono Fajar Turido dari Gatra. Akibat krisis global, hampir semua perusahaan akan memangkas produksi 20% hingga 30%. Pemangkasan produksi ini diikuti pengurangan pos pengeluaran agar perusahaan tak rugi. Pemangkasan produksi dan pengurangan pengeluaran ini biasanya diikuti dengan PHK.
Bila menilik sektor usaha, industri yang paling bisa bertahan dari krisis adalah makanan dan obat-obatan. "Karena kita masih butuh makanan dan berobat," ujar Sofjan. Sedangkan sektor konstruksi, industri otomotif, dan barang mewah dengan harga penjualan tinggi dan industri yang berorientasi ekspor adalah yang paling awal terkena dampak krisis.
Bagi pengusaha, kata Sofjan, kondisi tahun 2009 akan lebih sulit dibandingkan dengan krisis ekonomi pada 1998. Krisis 1998, menurut Sofjan, hanya terjadi di beberapa negara Asia, Amerika Latin, dan Rusia. "Negara-negara seperti Amerika, Eropa, dan Jepang masih bisa mengimpor komoditas. Justru ekspor Indonesia diuntungkan ketika itu," katanya. Sekarang ini, lokomotif ekonomi seperti Amerika, Eropa, dan Jepang juga mengalami krisis. "Dan ini otomatis seluruh dunia kena," ia menambahkan. Ironisnya, pada saat kehilangan pasar di luar negeri, pengusaha Indonesia tidak menguasai pasar dalam negeri.
Jangan Lagi Sekadar "NATO"
Indonesia belakangan ini menjadi surga bagi produk impor, baik yang masuk secara resmi maupun yang ilegal. Mulai produk tekstil, makanan, barang elektronik, telepon seluler (ponsel), dan berbagai produk lainnya. Tekstil impor, misalnya, berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia, menguasai 80% pasar domestik. Pabrikan lokal hanya kebagian sisanya.
Contoh lain adalah pasar ponsel. Sekitar 99% ponsel yang beredar di pasar adalah produk impor. Dari yang harganya ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Niat pemerintah untuk mendorong berdirinya pabrik ponsel di Indonesia sudah tiga tahun ini dikumandangkan. Namun, prakteknya, pemerintah hanya "NATO" alias no action talk only. Hingga sekarang, baru ada satu pabrik ponsel di Indonesia, yaitu Nexian. Itu pun, pasarnya cuma 1%.
Setiap tahun, ponsel produksi asing yang masuk ke pasar Indonesia sebanyak 30 juta unit. Bila pemerintah serius untuk "memaksa" produsen ponsel mendirikan pabrik di sini, ribuan tenaga kerja baru bakal terserap. Merek boleh asing, tapi produknya dibikin di sini, sehingga setidaknya menghidupi tenaga kerja lokal.
Selidik punya selidik, rupanya ada keengganan produsen asing untuk mendirikan pabrik di Indonesia. Sebab pemerintah mengenakan pajak impor komponen ponsel sebesar 20%. Sedangkan ponsel dalam bentuk jadi tak dikenai pajak masuk alias pajak 0%. Sehingga, daripada bikin pabrik di Indonesia, lebih sedap membuat pabrik ponsel di Vietnam, misalnya, lalu menjualnya ke sini.
Pemerintah beralasan, pengenaan pajak impor 20% itu untuk mendorong tumbuhnya industri komponen di Indonesia. Kenyataannya, tak satu pun industri komponen berdiri di sini. Khusus untuk kasus ponsel ini, kampanye penggunaan produk dalam negeri yang selama ini didengungkan pemerintah jadinya seperti omong kosong belaka.
Karena itu, momen krisis global ini seyogianya menjadi pijakan penting bagi bangsa ini untuk mengevaluasi diri atas kebijakan yang telah diambil. Kebijakan untuk memperbesar pasar domestik bagi industri sendiri harus menjadi prioritas. Ini perlu dilakukan untuk menyelamatkan kelangsungan hidup perusahaan maupun karyawannya. Sebab kondisi krisis global akan mendorong semua negara di dunia melakukan proteksi terhadap industri di dalam negerinya.
Bahkan Cina diprediksi bakal melakukan dumping terhadap penjualan produknya di mana saja, termasuk di Indonesia. Jika bangsa ini tidak memperkuat pasar domestiknya, nanti akan repot sendiri. Jangan sampai yang berlaku di sini adalah berlangsungnya salah kaprah dan salah kebijakan: ketika negara lain melakukan proteksi, ternyata pemerintah masih terus membuka lebar-lebar keran impor.
Biarpun terlambat, pemerintah tak mau terus-terusan dijajah produk asing. Setidaknya ini bakal dimulai oleh pemerintah sendiri. Menteri Perindustrian mengeluarkan peraturan tentang pedoman teknis penggunaan produk dalam negeri. Ini berlaku untuk departemen, lembaga pemerintah non-departemen, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, badan hukum milik negara, dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Mereka wajib memaksimalkan penggunaan produk dalam negeri. Dalam hal ini, produk dalam negeri itu adalah barang dan jasa, termasuk rancang bangun dan perekayasaan yang diproduksi atau dikerjakan perusahaan yang berinvestasi atau berproduksi di Indonesia.
Kebijakan Dorongan Besar
Krisis global yang dipastikan akan mempengaruhi ekonomi Indonesia tak membuat pemerintah pesimistis. Pemerintah yakin, pertumbuhan ekonomi masih bisa mencapai sekitar 6%. Sedangkan kalangan swasta di Indonesia maupun Bank Dunia hanya optimistis bahwa pertumbuhan itu sekitar 4%.
Toh, apa pun prediksi pertumbuhan itu, agar krisis global tak makin membuat ekonomi Indonesia kepayahan, diperlukan jurus jitu untuk menjinakkan bahaya krisis. Caranya? Pemerintah mesti membuat kebijakan komprehensif. Khususnya kebijakan yang bisa diandalkan dalam memecahkan persoalan krisis dengan cepat. "Karena itu, kita harus masuk dengan sebuah kebijakan yang saya sebut big push policy atau kebijakan dorongan besar," kata Syafruddin Temenggung, mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Big push policy itu, dalam teori ekonomi, diambil dari pemikiran John Maynard Keynes atau keynesianisme. Ini berlawanan dengan teori yang dikembangkan Milton Fiedman, yaitu neoliberalisme alias neokapitalisme.
Big push policy adalah kebijakan yang sifatnya proaktif dan komprehensif. Semua sektor pembangunan harus digerakkan menjadi satu dan dalam waktu yang tepat. Big push policy harus dikemas secara apik dalam Rancangan APBN 2009. Karena big push policy bersifat mendorong pertumbuhan ekonomi, ia tak terikat oleh ketatnya defisit anggaran. Pembelanjaan pemerintah harus ditingkatkan. Jika defisit RAPBN 2009 cuma 1%, pemerintah dan DPR harus berani melunakkan defisit itu menjadi 2%-3%.
Pertanyaan selanjutnya, dengan adanya relaksasi defisit anggaran sebesar itu, dari mana pembiayaannya? Dalam kondisi krisis, dipastikan semua negara akan mengeluarkan surat utang, terutama Amerika Serikat dan Eropa. Jika Pemerintah Indonesia mengeluarkan surat utang, apakah akan laku di pasar? Belum lagi, pemerintah mesti berkompetisi dengan surat utang swasta.
Di sinilah bagian terpenting big push policy, yakni diplomasi ekonomi harus ditingkatkan. Dengan diplomasi ekonomi yang baik, surat utang negara (SUN) bisa dibeli negara lain, misalnya negara di Timur Tengah, Singapura, dan Jepang. Tetapi proses penjualannya tidak lagi melalui pasar (on the market place), melainkan dengan diplomasi door to door.
Pemerintah juga harus melakukan reformasi manajemen pembangunan. Dalam empat tahun terakhir, pembangunan mengalami stagnasi. Akibatnya, dana pembangunan tak bisa terserap secara maksimal. Pada November lalu, misalnya, dana pembangunan hanya terserap 60%. Ke depan, ini tak bisa dibiarkan begitu saja.
Syafruddin menilai, peran Menteri Keuangan sudah cukup efektif sebagai manajer keuangan pemerintah. "Artinya, dia melakukan mobilisasi pendanaan keuangan dan melakukan realokasi penganggaran," katanya. Tapi, pada saat yang sama, peran Bappenas sebagai manajer pembangunan mengalami degradasi dalam beberapa tahun belakangan ini. Peran Bappenas hanya terbatas pada penyusunan rencara jangka menengah dan jangka panjang. Ke depan, Bappenas harus didorong menjadi koordinator implementasi pembangunan atau manajer pembangunan.
Bappenas harus melakukan koordinasi dengan departemen untuk mempercepat penyerapan anggaran. Selain itu, Bappenas juga mesti bisa menjadi koordinator bagi daerah-daerah untuk melaksanakan pembangunan. "Fungsi inilah yang hilang pada beberapa tahun ini," ujar Syafruddin.
Sistem penganggaran pembangunan juga harus diubah. Pada masa sebelum reformasi, penganggaran memakai sistem multiyears. Sejak masa reformasi, penganggaran memakai sistem tahun per tahun. Dampaknya, ada ketidaksinambungan di antara program-program pembangunan.
Misalnya proyek irigasi yang berdurasi tiga tahun. Karena programnya dibuat tahunan, biasanya transisi dari tahun pertama ke tahun kedua tidak nyambung dan cenderung ada pengulangan. Dengan sistem pembangunan multiyears, ada kelonggaran, terutama bagi pimpinan proyek (pimpro). Jika pimpro harus berulang kali melakukan tender untuk pekerjaan yang sama, akan menghabiskan waktu dan energi.
Merelaksasi Pajak Dunia Usaha
Pemerintah harus berani masuk ke sektor riil. Caranya, memberikan bantuan teknis, khususnya kepada korban PHK, dalam bentuk replacement program. Korban PHK diberi insentif untuk memacu mereka masuk kembali ke sistem ekonomi nasional. Bentuknya bisa berupa pemberian kredit murah atau kredit tanpa agunan dengan bunga sangat kecil. Selain itu, dilakukan pula pelatihan kewirausahaan.
Pemerintah pun harus memberikan relaksasi atau kelonggaran pajak bagi dunia usaha di saat krisis. Setidaknya, pemerintah melakukan pembekuan terhadap kenaikan pajak di sektor usaha. Sehingga dunia usaha tidak malah terbebani oleh pajak itu. Dengan demikian, dunia usaha bisa membantu negara ini untuk secepatnya keluar dari krisis. Ini juga bagian dari big push policy, dan pemerintah tidak boleh terpaku serta memaksakan pada aturan-aturan yang ada.
Program lainnya adalah proyek padat karya di bidang infrastruktur, baik jalan maupun irigasi. Di luar itu, masih ada proyek lainnya, misalnya plesterisasi rumah sangat sederhana. Program plesterisasi ini tak membutuhkan dana besar dan akan memberdayakan masyarakat. Dampaknya bisa dilihat dari peningkatan kesehatan penduduk. Proyek padat karya lainnya adalah pembangunan rumah murah yang dilakukan sendiri oleh masyarakat.
Big push policy tak akan bisa berjalan baik jika perekonomian masih dihantui tekanan-tekanan terhadap perbankan. Karena itu, big push policy harus mendapat dukungan dari Bank Indonesia (BI). Selama BI masih konservatif, big push policy tidak akan pernah efektif. BI harus berani menurunkan BI rate secara drastis hingga ke level 7% dari posisi pada saat ini yang 9,25%. Pemangkasan BI rate ini akan menolong dunia usaha.
Irwan Andri Atmanto dan Arif Sujatmiko
[Ekonomi, Gatra Nomor 8 Beredar Kamis, 1 Januari 2009]
http://gatra.com/artikel.php?id=121886


0 komentar:
Posting Komentar