Mencari Pemimpin, Penguasa, atau Khalifah?
Oleh Ario Djatmiko *
Usaha Dewan Integritas Bangsa (DIB) memberi warna lain pada pemilu ini patut dihargai. Itulah alasan saya bersedia menjadi panelis pada Konvensi Capres versi DIB di Surabaya. Rizal Ramli, Marwah Daud, Bambang Sulistomo, serta Yudi Chrisnandi tampil lugas dan berani. Awal yang baik, berani tampil di hadapan floating mass.
Tapi, berbicara dan berbuat itu dua hal yang berbeda! Ketika saya bertanya kepada Tjuk Sukiadi, panitia konvensi, apa outcome yang diharapkan? Jawabannya, agar masyarakat lebih rasional dalam memilih. Benar, survival bangsa ditentukan oleh kapasitas rasional rakyat menggunakan pemilu sebagai momentum koreksi. Di sini jelas, nasib bangsalah yang seharusnya menjadi napas demokrasi di negeri ini.
Menarik, tentang demokrasi di Asia, Hannah Beech menulis di Time, 12 Januari. Sifat dasar masyarakat Asia adalah kecendrungan memilih orang ''besar'' (baca: yang telanjur ditokohkan). Hal itu membuat akses pendatang baru untuk muncul di arena one man one vote menjadi terbuntu. Apalagi -ikatan emosional dan hubungan paternalistik internal partai- begitu kental. Itulah yang membuat pola munculnya kandidat presiden tak pernah berubah. Lu lagi, lu lagi!
Keliru kalau kita berharap perubahan akan lahir di negeri ini. Jangan pernah berharap kisah Obama hadir selama kultur feodalisme masih mengakar di jiwa bangsa ini.
Bagaimanapun, kita harus memilih pemimpin, si penentu nasib bangsa ini. Masyarakat antusias? So what gitu loh! Sungguh mencemaskan, tampaknya, apatisme kian terasa.
Di Tengah Badai
Menatap 2009, tampak bayangan menakutkan di sana. Lompatan teknologi, liberalisasi, serta globalisasi yang liar membawa perubahan fundamental di semua sisi kehidupan. Catatan sebelumnya menjelaskan negeri ini tidak berdaya. Leher kita semakin terjerat kekuatan asing. Pesawat udara yang bernama ''Republik Indonesia'' tetap harus terbang menerjang dahsyatnya badai. Membawa penumpang (baca: rakyat Indonesia) sampai ke tujuan.
Dua pertanyaan harus dijawab. Pertama, selamatkah kita sampai ke tujuan? Atau, pesawat akan jatuh dan sejarah mencatat satu bangsa telah punah. Kedua, siapa pilot hebat yang mampu menyelamatkan bangsa ini?
Jelas di sini, pemilihan manusia menjadi vital. Kunci penentu kelangsungan hidup bangsa. Tidak bisa mengelak, kita harus mampu menerapkan kriteria objektif manusia unggul, melampaui batas kepentingan partai. Pemimpin yang separo-separo (baca: mediocre) hanya memperpanjang kepedihan negeri ini. Dan pemimpin yang bermental penguasa akan membunuh bangsa ini. Itu pasti!
Uji Nurani
Dalam bukunya, Within Reason, Donald B. Calne menjelaskan, tindakan atau keputusan seseorang dipengaruhi oleh dua hal, reason (nalar) dan mind (nurani). Nalar menyangkut akal. Termasuk ketangkasan berpikir, kedalaman pengetahuan, serta ketajaman analisis. Sedangkan nurani berbeda, menyangkut rasa dan value. Rasa iba, nasionalisme, atau rasa bersalah bukan terletak di nalar, tapi di nurani.
Benedict membedakan kendali nurani atau guilty culture dan shame culture (budaya malu). Kendali nurani, guilty culture, membuat orang tidak berbuat jahat bukan karena sanksi hukum atau malu. Tapi, dia tidak bahagia bila dihakimi oleh nuraninya sendiri atas pelanggaran norma internalnya.
Shame culture (budaya malu) adalah kendali eksternal, seperti norma sosial-hukum. Orang yang dikendalikan oleh shame culture akan jujur sejauh dustanya tidak ketahuan. Misalnya, tukang sapu, yang bersih cuman yang tampak saja. Sedangkan pojok, tempat tersembunyi, semakin kotor. Orang seperti itu kalau tampil philanthropist pasti kalkulatif, menyembunyikan niat busuknya.
Lebih celaka, bila seseorang telah kehilangan rasa malu, rasa bersalah, dan pintar pula, betul-betul berbahaya. Kepintaran, jabatan, dan seterusnya adalah alat semata. Ibarat pistol, dapat dipakai polisi untuk menjaga atau sebaliknya, dipakai penjahat untuk merampok. Nuranilah yang menentukan.
Nah, kalau sekadar tukang sapu, akibatnya kecil, paling-paling cuman kurang bersih. Tapi, kalau presiden, yang otoritasnya begitu besar cacat nurani (baca: kehilangan rasa iba, nasionalisme, bersalah, rasa malu) akibatnya mengerikan. Selama 64 tahun telah berjalan, enam presiden kita lewati, mendung kian gelap menyelimuti. Apakah bukan itu yang menjadi masalah utama negeri ini?
Role Model
Kedatangan Saidun, guru ngaji di kampung, merupakan saat yang selalu saya nantikan. Mengapa? Kepintarannya mendongeng. Dongeng yang paling membekas, kisah perikehidupan Khalifah Rasulullah. Abubakar adalah khalifah terkaya. Contoh sebuah kemuliaan, seluruh hartanya diserahkan untuk umatnya.
Saat menyebut nama Khalifah Umar, mata Saidun berkaca-kaca. Khalifah yang selalu mengutamakan keadilan itu tinggal di gubuk beratap rumbia. Penjabat Syria terkejut saat menerima kedatangan Umar. Orang yang menggetarkan dunia tersebut mengendarai unta dengan pelana yang lusuh dan baju penuh tambalan. Sajian mewah yang datang tak disentuh.
Umar berkata, ''Saya tidak akan pernah menyentuh makanan seperti ini selama rakyat saya masih ada yang lapar.''
Pelajarannya, kebesaran itu akan tampak bila kita telah mampu menomorduakan kepentingan diri sendiri.
Pemilu kembali hadir di negeri ini. Apa yang kita lihat? Banalitas iklan politik kian marak. Semakin jauh dari semangat tahu diri dan rasa malu. Berbicara tentang khalifah, saya teringat kata-kata Voltaire: please define your term before we start talking about anything. Khalifah artinya pengganti. Kisah Saidun menjelaskan bahwa menerima jabatan khalifah artinya menyerahkan hidupnya untuk umat dan Tuhannya.
Sebuah catatan, di tengah derita rakyat yang tak bertara ini, lahir Keppres 081/2004. Jatah rumah Rp 20 miliar untuk presiden pada akhir masa jabatannya. Itulah refleksi rendahnya spirit elite bangsa ini. Tak mampu melihat visi, hanya memikirkan upah! Sungguh suatu kemustahilan berharap sesuatu dari mereka yang spiritnya seperti itu.
Dalam dekade terahir ini, masalah leadership mendapat perhatian paling banyak. Mengutip John P. Kotter, It has nothing to do with charisma or other personality traits. Leadership is about coping with change. It has become so important in recent years is that world become more competitive and more volatile. More change always demands more leadership.
Di tengah dahsyatnya badai perubahan, pilot hebat, pemberani, dan mulia adalah kunci keselamatan bangsa. Siapakah pilot itu? Akal sehat Anda pada pemilu nanti menentukan nasib negeri ini.
* Ario Djatmiko, pengajar di Fakultas Kedokteran Unair
http://jawapos.com/
Mencari Pemimpin, Penguasa, atau Khalifah?
Written By gusdurian on Selasa, 27 Januari 2009 | 10.18
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar