Korban Kamp Gitmo Berkoar
Ada hadiah spesial dari Amnesty International buat presiden baru Amerika Serikat, Barack Obama, yang bakal masuk Gedung Putih pada 20 Januari ini. Jumat pekan silam, untuk memperingati tujuh tahun penahanan kelompok pertama tersangka teroris di Penjara Guantanamo, organisasi pembela hak-hak asasi manusia (HAM) mendesak Obama menetapkan waktu penutupan Gitmo --sebutan populer untuk rumah tahanan militer Amerika di Kuba itu.
Organisasi non-pemerintah itu juga mendesak agar Obama mendukung pembentukan komisi independen untuk menyelidiki pelanggaran-pelanggaran HAM atas nama perang melawan teroris yang dilancarkan Pemerintah Amerika Serikat di bawah George W. Bush. "Kami tidak meminta kemungkinannya. Kami menuntut komitmennya untuk menghapus kesalahan yang dilakukan Pemerintah Amerika yang lalu atas nama keamanan nasional," ujar Irene Khan, Sekretaris Jenderal Amnesty.
Dalam pernyataannya di London, seperti dikutip The Earth Times, Irene mengatakan, penutupan Penjara Guantanamo menandai langkah awal penghapusan kebijakan tentang penahanan yang keliru di masa lalu. "Jangan sampai ada lagi yang membangun Guantanamo baru dengan nama dan di lokasi lain," katanya lagi.
Hari peringatan yang digelar Amnesty itu juga tentu dialamatkan kepada seorang warga Pakistan bernama Muhammad Saad Iqbal. Lelaki berusia 31 tahun ini termasuk dalam gerbong pertama tersangka teroris yang ditangkap lalu dijebloskan ke Penjara Guantanamo. Lima tahun lamanya ia mendekam dan mengaku mengalami penyiksaan berat dari para penyidiknya.
Tragisnya, Iqbal ternyata korban salah tangkap. Ia dilepas begitu saja pada akhir Agustus silam tanpa melalui proses peradilan. Celakanya, akibat siksaan-siksaan yang dialaminya selama dalam tahanan tentara Amerika, kini Iqbal mengalami cedera tulang belakang. Cedera itu membuat dia harus berjalan menggunakan alat bantu.
Tidak itu saja. Iqbal juga mengalami cedera telinga sangat parah, yang membuat dia harus bergantung pada obat antibiotik. Ia pun sangat bergantung pada obat antidepresan. Hal ini dikemukakan dokter yang memeriksanya, Mohammad Mujeeb, pakar THT (telinga-hidung-tenggorokan) dari Rumah Sakit Umum Lahore, Pakistan. "Ia mengalami ketergantungan pada sederet obat," ujarnya, seperti dikutip The New York Times.
Dokter Mujeeb menambahkan, hasil pemindaian tulang belakangnya menunjukkan adanya cedera tingkat sedang. Dia menyimpulkan, kesulitan berjalan yang dialami Iqbal diperparah oleh kondisi psikologisnya. "Kesulitannya berjalan sehingga harus ditopang tampak sebagai dampak psikologis, di samping adanya kompresi saraf tulang belakang," katanya.
Dampak psikologis sudah pasti. Sebab penahanan dirinya di penjara paling mengerikan di abad mutakhir ini menjadi mimpi paling buruk bagi Iqbal. Dia tidak ada sangkut-paut dengan aksi terorisme di mana pun, apalagi dalam kasus peledakan gedung kembar World Trade Center di New York pada 11 September 2001.
Dia juga sama sekali tidak mengenal Osama bin Laden berikut jaringan Al-Qaeda-nya. "Aku merasa malu atas perlakuan orang-orang Amerika terhadap diriku dalam kurun waktu itu," katanya ketika pertama kali buka suara tentang kasus yang dialaminya.
Iqbal menuturkan, pada November 2001, dia bertolak ke Indonesia untuk sebuah urusan keluarga. Niatnya, mendatangi ibu tirinya sekaligus mengabari bahwa ayahnya sudah wafat di Lahore karena terserang stroke. Pamannya, Muhammad Farooq Said, memberi dia US$ 1.000 sekaligus tiket bolak-balik Pakistan-Indonesia.
Sampai di Jakarta, dalam pengakuannya kepada penyidik militer pada 2004, dia berjumpa dengan sejumlah anggota Front Pembela Islam. Kepada kawan-kawan barunya ini, dia konon bercerita bahwa dirinya tahu cara membuat bom yang bisa diselipkan di sepatu. Buntutnya, pada 9 Januari 2002, ia ditangkap aparat keamanan Indonesia.
Hanya dua hari ditahan di Indonesia, dia lalu diterbangkan ke Kairo, Mesir. Iqbal mengaku, penyiksaan pertama dialaminya pada saat akan diterbangkan. Ketika itu, tangan dan kakinya dibelenggu dan matanya ditutup. "Seorang intel Mesir menghantam dadaku dan membenturkan tubuhku ke dinding berkali-kali. Mereka juga menelanjangiku. Aku disiksa," tuturnya, sembari menambahkan bahwa ia bisa mengenali petugas itu dari suaranya yang berlogat Mesir.
Sekitar tiga bulan di ruang tahanan rahasia Kairo, dia lalu dipindahkan ke penjara militer Bagram di pinggiran kota Kabul, Afghanistan. Setelah kurang lebih satu tahun di Bagram, Iqbal dipindahkan ke penjara militer Guantanamo pada 23 Maret 2003. Lima tahun mendekam di penjara yang paling menakutkan itu, Iqbal masih terus mengalami penyiksaan pada saat diinterogasi. Dia bahkan dua kali mencoba bunuh diri karena tak tahan atas siksaan itu.
Di kalangan kerabat dan kawan-kawannya, Iqbal dikenal sebagai orang yang ramah dan tak tertarik pada soal politik. Tapi, ini celakanya, dia juga amat dikenal suka sesumbar. Menurut kesaksian Farooq Said, pamannya, Iqbal punya sifat kekanak-kanakan yang gemar sekali melukiskan dirinya sebagai orang penting. "Dia ingin kita percaya bahwa dirinya lebih penting dari apa adanya," katanya.
Sisi baiknya, Iqbal seorang yang hafal Al-Quran. Kemampuannya ini diamalkannya sebagai guru mengaji di kampungnya. Kawan-kawannya tahu persis gaya Iqbal yang suka menonton film-film Barat dan bahkan suka bergaya dengan mengenakan celana jins dan pakaian ala Barat. Malah dia tak suka perempuan yang mengenakan kerudung. "Dia justru mengutuk serangan 11 September itu dengan menegaskan bahwa Nabi Muhammad tidak akan menyetujui aksi tersebut," ujar Sher Ali Khan, seorang sahabatnya.
Namun derita yang dialami Iqbal agaknya bakal terbayar. Kasusnya tengah diangkat ke pengadilan Amerika. Pengacara yang pernah menemuinya ketika di Penjara Guantanamo, Richard L. Cys dari Kantor Hukum Davis Wright Tremaine, sedang menyusun gugatan kepada Pemerintah Amerika.
Inti gugatan itu berkaitan dengan penahanan sewenang-wenang terhadap Iqbal. Sang pengacara akan mengajukan permohonan kepada pengadilan federal untuk mendapatkan rekam medis Iqbal selama dalam tahanan. Ia juga berharap dapat bertemu dengan Iqbal untuk mengonfirmasikan siksaan yang dialaminya di Mesir.
Iqbal bukan satu-satunya korban salah tangkap yang dijebloskan ke Penjara Guantanamo. Menurut data riset Associated Press, setidaknya ada sembilan orang lainnya yang ditangkap secara sewenang-wenang dengan tuduhan terlibat terorisme. Tercatat nama-nama seperti Jamal al-Harith, warga Inggris, Abdul Hakim Bukhary dan Sadiq Turkistani, warga Arab Saudi, lalu Said Amir Jan dan Haji Hamidullah, warga Afghanistan.
Ada juga dua warga Rusia bernama Rasul Kudayev dan Airat Vakhitov. Dua lainnya adalah warga Irak dan Suriah, masing-masing bernama Arkan Mohammad Ghafil al-Karim dan Abdul Rahim Abdul Rassak.
Desakan Amnesty International kepada Obama itu tampaknya sangat masuk akal. Setidaknya, agar tidak ada lagi penangkapan sewenang-wenang atas nama perang melawan teroris. Juga agar tidak ada lagi hak istimewa intel Amerika untuk memeriksa dan menangkap seseorang yang disangka sebagai teroris di negeri lain.
Erwin Y. Salim
[Internasional, Gatra Nomor 10 Beredar Kamis, 15 Januari 2009]
http://gatra.com/artikel.php?id=122315
Korban Kamp Gitmo Berkoar
Written By gusdurian on Jumat, 23 Januari 2009 | 10.53
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar