BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kisah Pembongkaran Sistem Pemilu

Kisah Pembongkaran Sistem Pemilu

Written By gusdurian on Senin, 05 Januari 2009 | 12.29

Mohammad Fajrul Falaakh
Delapan hakim, bukan sembilan, bersidang di Mahkamah Konstitusi dan mengubah sistem pemilihan umum DPR/DPRD. Tujuh hakim sependapat, kursi parlemen harus diberikan kepada calon anggota legislatif dengan suara terbanyak dan bukan berdasarkan nomor urut dari partai politik.
Ukuran itu sesuai dengan makna subtantif kedaulatan rakyat dan keadilan, katanya. Namun, MK tidak menunjukkan proporsionalitas-keadilan di antara formula suara terbanyak yang lebih konkret: minoritas terbesar (plurality-majority), mayoritas sederhana, atau mayoritas absolut? MK meyakini, putusannya tidak menyebabkan kekosongan hukum sehingga KPU dapat menetapkan caleg terpilih. Dapatkah KPU menetapkan caleg terpilih hanya berdasarkan satu tanda di kertas suara (untuk caleg atau parpol?), tetapi tanpa ketentuan tentang cara membagi kursi kepada caleg?
Putusan MK No 22 dan 24/ PUU-VI/2008 ”hanya” membatalkan Pasal 214 UU Pemilu 2008, tetapi berimplikasi luas. MK menghapuskan sistem caleg parpol (Pasal 52) dengan ambang batas keterpilihan, menggagalkan tindakan afirmatif bagi caleg perempuan pada ”nomor jadi” (Pasal 55), dan memubazirkan potensi suara kepada parpol (Pasal 153). Berwenangkah MK mengubah sistem pemilu DPR/DPRD dengan cara demikian? Akan diamkah parpol dan kadernya pada ”nomor jadi”?
Cara membagi kursi
Pembagian kursi parlemen perlu dipahami menurut sistem pemilu. Berdasarkan formula pemilihannya, terdapat tiga tipe pemilu: keterwakilan berdasarkan suara terbanyak (majoritarian), proporsional, dan semiproporsional. Ketiga tipe melahirkan sembilan jenis sistem pemilu, masing-masing mengandung unsur berikut: cara pencalonan (misalnya party list, primary), cara memberikan suara (misalnya direct two-round, preferential), teknik menandai kertas suara, batas dan besaran daerah pemilihan, serta formula pemilu untuk mengonversi suara menjadi kursi parlemen (termasuk ada-tidaknya berbagai threshold).

Tipe proporsional dirancang untuk menghindari disparitas hasil pemilu pada tipe majoritarian. Tipe proporsional membagikan kursi kepada parpol atau caleg berdasarkan proporsi suara yang diperoleh. Tujuan ini dicapai melalui desain daerah pemilihan dengan banyak kursi (Pasal 22). Karena peserta pemilu DPR/DPRD adalah parpol, perolehan kursi parpol harus diketahui, diawali dengan menetapkan bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk suatu dapil (sebutlah proporsionalitas ”harga” kursi) yaitu 100 persen BPP. BPP untuk kursi DPR diperoleh dari pembagian jumlah suara semua parpol, yang mencapai ambang batas perolehan suara 2,5 persen dari suara nasional, di suatu dapil dengan jumlah kursi di dapil tersebut.
BPP untuk kursi DPRD diperoleh dari pembagian jumlah suara semua parpol di suatu dapil, termasuk parpol yang tidak mencapai 2,5 persen batas suara nasional. Kemudian perolehan kursi parpol dapat dihitung (Pasal 205-212), untuk dibagikan kepada caleg dalam daftar parpol.
Pasal 214 menentukan cara membagikannya berdasarkan threshold, sebagai variasi terhadap List-PR system. Pertama, caleg yang memperoleh 100 persen BPP akan memperoleh kursi tanpa gangguan (huruf c). Kedua, threshold bagi caleg untuk memperoleh kursi adalah 30 persen BPP (huruf a). Ketiga, kursi dibagi berdasarkan nomor urut jika tidak ada caleg yang mencapai threshold (huruf d, huruf e). Keempat, jika beberapa caleg memperoleh suara sama, kursi diberikan kepada caleg peraih threshold dengan nomor urut kecil (huruf b, huruf c).
Petuah MK
Mahkamah Konstitusi menerapkan standar suara terbanyak tanpa menyebut kategori suara terbanyak yang diinginkannya. Karena dasar penentuan pemenang pada pemilu adalah suara terbanyak, kata MK, maka penentuan caleg terpilih harus berdasarkan suara terbanyak secara berurutan dan bukan berdasarkan nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.
Penggantian logika kolektif menjadi individual tersebut mengabaikan perjuangan kolektif kepartaian karena, menurut MK, ”... Memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak.”

MK berpetuah, kedaulatan rakyat dan keadilan dilanggar jika ada dua calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem, tetapi calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon dengan suara kecil bernomor urut lebih kecil. MK menolak threshold keterpilihan.
MK pun menyamakan pemilu DPR/DPRD dengan DPD. Menjadi adil, lanjutnya, jika pemilihan anggota DPR/DPRD bersifat langsung memilih orang sehingga setiap caleg menjadi anggota legislatif sesuai dengan perolehan suara dalam pemilu. Pendapat MK mendorong List-PR system karena pesertanya parpol, menjadi kompetisi perorangan dalam open List-PR system (MK tak menyebut demikian).
Siasat parpol
Parpol dan kadernya tentu tak tinggal diam. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang disiapkan guna membolehkan dua kali pencontrengan pada surat suara. Cara ini untuk menampung potensi suara kepada parpol meski suara caleg (pendatang baru) yang populer dapat dihitung sendiri.
Caleg atau parpolkah yang akhirnya memperoleh kursi? Mana formula untuk mengonversi suara, kepada parpol maupun kepada caleg, menjadi kursi? Memenangkan caleg dengan 100 persen BPP dan threshold 30 persen BPP, kembali ke UU Pemilu 2003, atau berdasarkan nomor urut belaka? List-PR system yang (mulai) dibuka memang memicu pertentangan antarcaleg dalam parpol dan rekonsiliasinya di ranah legislasi.
Desain sistem pemilu memang bukan wewenang MK.
Mohammad F Falaakh Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta


http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/05/00261464/kisah.pembongkaran.sistem.pemilu
Share this article :

0 komentar: