BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Parpol, Pemilu 2009, dan Efektivitas Presidensial

Parpol, Pemilu 2009, dan Efektivitas Presidensial

Written By gusdurian on Senin, 05 Januari 2009 | 12.36

Parpol, Pemilu 2009, dan Efektivitas Presidensial
Oleh Syamsuddin Haris Peneliti LIPI
Kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai adalah realitas politik Indonesia dewasa ini. Apabila kombinasi demikian tetap dipertahankan ke depan, yang diperlukan adalah kemampuan mengelolanya secara cerdas agar terhindar dari konflik dan kebuntuan politik dalam relasi eksekutif legislatif di satu pihak, dan terbentuk pemerintahan yang efektif di pihak lain.D I luar dugaan, jumlah partai politik peserta Pemilu 2009 ternyata jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan Pemilu 2004. Realitas politik yang bersumber dari inkonsistensi para politisi DPR dalam menyusun UU Pemilu ini tidak hanya berdampak pada kompleksitas teknis dan kualitas pemilu legislatif (Pileg), melainkan juga pemilu presiden (Pilpres) dan masa depan presidensialisme.
Seperti diketahui, Pemilu 2009 akan diikuti 38 partai politik nasional dan 6 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam, jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan 24 parpol peserta Pemilu 2004. Desain awal RUU Pileg yang diajukan pemerintah ke DPR sebenarnya adalah penyederhanaan sistem kepartaian melalui pelembagaan mekanisme electoral threshold (ET) 3% untuk pemilu mendatang, sesuai dengan amanat UU Pemilu sebelumnya.
Namun, karena kentalnya kompromi politik di DPR, mekanisme ET pun dianulir dan digantikan mekanisme parliamentary threshold (PT) 2,5% suara DPR. Konsekuensi logisnya, jumlah partai peserta pemilu bukan berkurang, tetapi justru bertambah banyak dengan berbagai dampak teknis dan kualitatifnya.
Dalam konteks Pileg, kompleksitas teknis pemilu berkaitan dengan format surat suara yang besar. Karena harus memuat ratusan nama calon legislatif (caleg) dari 38 partai, selain prosedur penghitungan suara yang lebih rumit dan menyita waktu jika dibandingkan dengan Pemilu 2004.
Dari segi kualitas pemilu, jumlah partai yang terlalu banyak jelas mengurangi kesempatan bagi pemilih untuk mencermati secara teliti para caleg yang akan dipilihnya. Karena itu, peluang terjadinya ‘asal pilih’ atau ‘asal contreng’ cenderung membesar meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengganti mekanisme penetapan caleg terpilih dengan suara terbanyak.

Konstelasi DPR dan DPRD Penerapan PT 2,5% memang dapat mengurangi jumlah partai asumsi hasil Pemilu 2004 hanya sekitar 8 partai yang berpeluang memperoleh minimal 2,5% suara DPR.
Namun, jumlah partai efektif di dewan bisa lebih dari 8 partai jika perolehan suara partaipartai semakin menyebar jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Sebaliknya, jika dukungan rakyat terkonsentrasi pada beberapa partai, jumlah partai efektif di DPR bisa saja kurang dari 8 partai.
Jumlah partai yang lebih sedikit di DPR jelas memberi peluang bagi dewan untuk meningkatkan produktivitasnya di satu pihak, dan mendukung efektivitas presidensialisme di pihak lain. Akan tetapi peluang tersebut hanya dapat terwujud apabila para wakil rakyat terpilih dalam Pemilu 2009 memiliki komitmen dan keberpihakan yang lebih jelas terhadap masa depan bangsa kita jika dibandingkan dengan para legislator sebelumnya.
Berbeda dengan DPR, konstelasi politik di DPRD propinsi dan kabupaten/kota justru semakin terfragmentasi karena mekanisme PT tidak berlaku bagi legislatif lokal.
Realitas politik itu tak hanya berdampak pada meningkatnya politik dagang sapi antarpartai dan pada gilirannya tidak produktif bagi efektivitas pemerintahan daerah. Lebih jauh lagi hal itu memberi peluang bagi partai-partai yang gagal di DPR untuk mempertahankan keberadaan mereka sambil menunggu kesempatan baru pada Pemilu 2014.
Pilpres satu putaran?
Dalam konteks Pilpres, kehadiran begitu banyak partai berdampak pada meningkatnya jumlah calon presiden (capres). Para capres yang merasa memiliki peluang, namun tidak terakomodasi oleh partai besar memanfaatkan partai kecil dan partai-partai baru sebagai kendaraan politik menuju Pilpres 2009.
Akan tetapi, di luar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, sebagian besar capres tampaknya bakal berhenti sebagai ‘penggembira’ belaka ketimbang benar-benar tampil sebagai capres resmi dalam pemilu mendatang.
Persoalannya, UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden hanya memberi peluang bagi partai atau gabungan partai yang memperoleh minimal 20% kursi atau 25% suara DPR yang dapat mengajukan pasangan caprescawapres.

Di satu pihak, ambang batas perolehan kursi/suara yang tinggi tersebut didesain untuk mendorong terbentuknya koalisi besar yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas demokrasi presidensial. Selain itu, koalisi tersebut diperlukan untuk menyiasati problematik yang hampir selalu muncul ketika presidensialisme dikombinasikan sistem multipartai.
Namun, di lain pihak, seperti penulis kemukakan sebelumnya (Koalisi dan Dilema Capres 2009, Media Indonesia, 3/11/2008), persyaratan pencalonan yang begitu berat berdampak pada tiga hal. Pertama, kemungkinan munculnya hanya dua capres, yakni Yudhoyono dan Megawati beserta pasangannya masing-masing. Kedua, sebagai konsekuensi logisnya, Pilpres berlangsung satu putaran. Ketiga, kemungkinan meningkatnya angka golput karena para capres hanya merupakan ‘daur ulang’ dari Pilpres 2004 putaran kedua.
Pilpres 2009 akan berlangsung dua putaran jika muncul capres ketiga. Sementara itu, capres ketiga di luar Yudhoyono dan Megawati berpeluang muncul apabila. (1) Dukungan rakyat terhadap partai-partai dalam Pileg lebih menyebar, dalam pengertian jumlah partai yang memenuhi PT 2,5% lebih dari 8 partai. (2) Gabungan atau koalisi partai pengusung Capres Yudhoyono dan Capres Megawati tidak melebihi 60% kursi/suara DPR.
Agenda ke depan Kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai adalah realitas politik Indonesia dewasa ini. Apabila kombinasi demikian tetap dipertahankan ke depan, yang diperlukan adalah kemampuan mengelolanya secara cerdas kebuntuan politik dalam relasi eksekutif legislatif di satu pihak, dan terbentuk pemerintahan yang efektif di pihak lain.
Dalam kaitan tersebut, ada se jumlah agenda politik yang tak terelakkan. Pertama, penyederhanaan sistem kepartaian secara konsisten.
Apabila mekanisme PT menjadi tumpuan dalam melembagakan sistem multipartai sederhana, hal itu semestinya juga berlaku untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Penyederhanaan sistem kepartaian dalam konteks lokal diperlukan agar format politik di daerah turut mendukung efektivitas sistem presidensial.

Kedua, penataan kembali jadwal penyelenggaraan Pileg dan Pilpres dari format terpisah sekarang ini menjadi simultan dalam waktu bersamaan, seperti berlaku di banyak negara penganut presidensialisme. Penyelenggaraan Pileg dan Pilpres secara simultan berdampak positif pada terjadinya kesejajaran antara pilihan populer terhadap presiden dan pilihan electoral atas partai politik di DPR. Dengan demikian, ambang batas persyaratan pengajuan capres cawapres tidak diperlukan. Apalagi jika persentase PT ditingkatkan lagi pada Pemilu 2014.
Ketiga, melembagakan terbentuknya koalisi partai yang bersifat ‘permanen’ untuk mengurangi distorsi politik dagang sapi dalam relasi internal DPR dan relasi presiden-DPR sehingga peluang terciptanya pemerintahan yang efektif menjadi lebih besar. Selain itu, koalisi permanen diperlukan agar partai-partai pendukung pemerintah tidak justru menolak ke bijakan pemerintah, seperti yang tampak di balik fenomena hak interpelasi dan hak angket DPR selama empat tahun terakhir. Sayang sekali bahwa UU Pilpres yang baru terlalu longgar dalam memfasilitasi hal itu sehingga Pilpres 2009 tetap akan diwarnai koalisi semu, seperti yang berlangsung selama ini.
Keempat, mendesain ulang mekanisme pencalonan presiden yang memungkinkan terpilihnya pasangan presiden-wapres yang berasal dari satu partai agar keduanya terhindar dari relasi pemerintahan presidensial dapat terwujud.
Situasi ketika Presiden Yudhoyono dengan basis politik kecil yang acap kali ‘terpenjara’ oleh Wapres Jusuf Kalla yang berbasis politik besar di DPR harus dihindari di masa depan.
Kelima, menimbang kembali kedudukan politik DPD sebagai suatu kesatuan lembaga parlemen bersama-sama dengan DPR. Itu artinya, jika DPD hendak dipertahankan, lembaga perwakilan daerah ini perlu diperkuat, meskipun cakupan kekuasaannya tidak harus seluas otoritas DPR.
Faktor penting lain yang sangat menentukan efektivitas kombinasi predensialisme dan sistem multipartai adalah kemampuan presiden terpilih mengelola relasi politik dengan DPR agar terbangun format relasi yang lebih konstruktif-institusional ketimbang politik-transaksional, seperti yang berlaku dewasa ini.


http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/01/05/ArticleHtmls/05_01_2009_006_001.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: