BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Jangan Rampas Hak Pemilih dengan Affirmative Action

Jangan Rampas Hak Pemilih dengan Affirmative Action

Written By gusdurian on Senin, 26 Januari 2009 | 09.25

Jangan Rampas Hak Pemilih dengan Affirmative Action

Dulu, ketika mekanisme penentuan calon anggota legislatif (caleg) terpilih diserahkan penuh kepada parpol masing-masing melalui mekanisme nomor urut jika caleg tidak memperoleh suara miminal 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP), harus jujur diakui memang ada langgam diskriminasi terhadap keterwakilan perempuan dalam parlemen. Karena itu, dimasukkan apa yang disebut dengan zipper system. Yakni, dalam menyusun nomor urut caleg dalam daftar caleg, parpol diharuskan menyelingi caleg perempuan sampai mencapai jumlah tertentu.

Saat itu ditentukan bahwa setiap ada tiga caleg laki-laki, nomor berikutnya haruslah diselingi caleg perempuan. Inilah yang dikenal dengan affirmative action (tindakan khusus sementara) agar terbuka peluang terpilihnya sebanyak mungkin caleg perempuan menjadi wakil rakyat.

Persoalannya ialah ketika Mahkamah Konstitusi (MK) menggugurkan sistem nomor urut yang kemudian mengganti dengan sistem suara terbanyak, sesungguhnya affirmative action sudah tidak relevan lagi. Mengapa? Sebab, dengan mekanisme suara terbanyak, bagi semua caleg -termasuk caleg perempuan- peluang menjadi wakil rakyat telah dibuka lebar-lebar.

Dalam hal ini tidak ada lagi diskriminasi atas dasar gender dalam proses penentuan caleg terpilih. Terpilih atau tidak seorang caleg tidak lagi bergantung pada nomor urut yang bersifat pilih kasih dari parpolnya, atau jenis kelamin tertentu, melainkan bergantung penuh pada dukungan suara terbesar dari pemilih.

Salah satu ajaran demokrasi ialah mengajarkan persamaan dan kesetaraan dalam berkehendak, termasuk dalam hal ini, kesempatan berkompetisi memperebutkan kekuasaan politik.

Nilai dasar demokrasi dalam politik ialah perolehan suara terbanyak dari rakyat yang memberikan hak pilih untuk mendukung calon tertentu. Begitu kuatnya ajaran ini dijunjung sehingga suara rakyat dalam memberikan dukungan politik disebut sebagai suara Tuhan.

Dengan perspektif dan nilai-nilai demokrasi ini, putusan MK tentang suara terbanyak dalam mementukan caleg terpilih harus dijunjung tinggi oleh semua unsur dan elemen aparat penyelenggara pemilu. Oleh sebab itu, KPU harus segera menghentikan upaya pemaksaan affirmative action dalam penentuan caleg terpilih.

Harus diingat, melindungi dan memberikan kesempatan yang sama, terbuka, fair, dan adil bagi caleg perempuan agar memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam parlemen tidak bisa lagi dengan cara mendepak caleg laki-laki yang sudah dengan susah payah mendapatkan suara terbanyak urutan ketiga. Lalu dengan enteng memasukkan caleg perempuan sekalipun, misalnya, hanya mendapatkan urutan ke-20 suara terbanyak.

Nalar dan logika putusan MK tentang suara terbanyak ialah untuk menghomati putusan pemilih. Yakni, semakin besar perolehan suara caleg berarti merekalah yang diberi amanah oleh pemilih. Ini justru harus dijaga.

Kalau kemudian suara terbanyak harus dianulir KPU hanya karena untuk membuka jalan bagi caleg perempuan, padahal si caleg perempuan dimaksud perolehan suaranya kalah banyak dari caleg lain, justru tindakan itu bertentangan dengan putusan MK.

Bahkan, KPU dengan sengaja merampas hak rakyat yang memberikan amanah kepada caleg yang mereka pilih dalam pemilu.
http://jawapos.com/
Share this article :

0 komentar: