Iklan Partai Demokrat yang Menyesatkan
MENJELANG Pemilu 2009, partai-partai politik mulai gencar melakukan sosialisasi ke masyarakat. Salah satu bentuknya adalah dengan menayangkan sejumlah iklan politik di media massa.
Di satu sisi, iklan-iklan politik tersebut bermanfaat untuk memberikan informasi politik kepada masyarakat. Tetapi di sisi lain, informasi-informasi itu bisa menyesatkan ketika sejumlah partai politik ternyata gagal membedakan dimensi-dimensi kenegaraan dan dimensi kepartaian.
Contoh paling mutakhir adalah penayangan iklan politik Partai Demokrat yang menjadikan penurunan harga BBM sebagai daya tarik iklan tersebut. Bisa jadi, karena Partai Demokrat -yang merupakan kendaraan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono- mengekspos hal itu, Partai Golkar kemudian menayangkan iklan politik yang juga menunjukkan ''prestasi" Jusuf Kalla dalam mendamaikan sejumlah konflik di Indonesia, seperti Poso dan Aceh.
Iklan-iklan tersebut tentu saja sangat menyesatkan karena mencampuradukkan persoalan-persoalan kenegaraan yang sebenarnya merupakan hasil keputusan bersama di kalangan para penyelenggara negara dengan persoalan-persoalan kepartaian yang partikular. Tindakan itu tidak bisa dibenarkan. Dalam kajian ilmu politik sering dikenal adagium: jika komitmen terhadap negara telah lahir, maka komitmen terhadap partai harus berakhir.
Adagium itu sebenarnya merupakan kerangka etis politis bahwa ketika seseorang berkuasa, maka pada saat itu sebenarnya dia telah mendeklarasikan diri sebagai milik publik yang seluruh tindakan, ucapan, dan keputusan yang dia ambil akan memberikan dampak kepada publik, langsung atau tidak langsung. Terlebih jika seorang pemimpin dipilih secara langsung oleh rakyat, maka tingkat keterikatan kepada publik itu seharusnya lebih besar.
Reduksi
Dalam kaitannya dengan penurunan harga BBM, misalnya. Keputusan Partai Demokrat untuk memasukkan hal itu sebagai salah satu materi iklan politiknya di media massa sebenarnya merupakan tindakan reduksionis dan simplistis. Dengan iklan itu, seolah-olah tindakan dan keputusan politik yang diambil oleh pemerintahan SBY selalu berhubungan dengan partainya.
Padahal, sebuah keputusan politik tidak selalu bermakna keputusan sebuah partai. Penurunan harga BBM sama sekali tidak berhubungan dengan partai.
Penurunan harga BBM bukan semata-mata persoalan keputusan dan kemauan politik. Hal itu berhubungan dengan kondisi pasar objektif di tingkat dunia global.
Dalam situasi seperti itu, justru ketika tidak dilakukan penurunan harga BBM, maka pemerintah sebenarnya telah melakukan pengkhianatan publik. Sebaliknya, penurunan harga BBM itu layak disebut sebagai "prestasi" manakala dilakukan di tengah harga BBM melambung.
Karena itu, sebuah pertanyaan perlu dimunculkan bahwa penurunan harga BBM tersebut sebenarnya secara sadar dimanfaatkan untuk menaikkan citra politik seorang penguasa.
Kita memang harus memberikan apresiasi kepada pemerintah atas kebijakan yang tidak memiliki preseden dalam sejarah politik Indonesia ini. Hanya, perlu diingat bahwa "prestasi" itu adalah prestasi pemerintah, bukan prestasi seorang Susilo Bambang Yudhoyono. Karena itu, sangat wajar jika ada partai-partai lain yang juga merasa berhak untuk mengklaim penurunan harga BBM sebagai prestasinya. Sebab, kebetulan seorang kader partainya menjadi bagian dari pemerintahan SBY-Kalla.
Memang tidak terlalu jelas, apakah tindakan Partai Golkar menampilkan iklan politik yang berisi informasi tentang keputusan-keputusan politik Jusuf Kalla itu dipicu oleh iklan politik Partai Demokrat atau tidak. Tetapi, tindakan tersebut bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Jika jawabannya adalah "ya", maka itu bisa dibaca sebagai protes Partai Golkar bahwa wakil presiden sebenarnya juga memiliki peran penting dalam keputusan penurunan harga BBM tersebut.
Dengan kata lain, Partai Golkar juga memiliki klaim yang sama dengan Partai Demokrat berkaitan dengan penurunan harga BBM itu. Jika jawabannya adalah "tidak", maka Partai Golkar juga terjebak pada kesalahan yang sama sebagaimana Partai Demokrat.
Jika demikian halnya, jangan-jangan hal itu akan memancing partai-partai lain untuk melakukan hal yang sama. Bisa saja suatu ketika Partai Amanat Nasional, misalnya, menayangkan iklan politik dengan menampilkan peningkatan dana bantuan pendidikan. Sebab, kebetulan menteri pendidikan nasional adalah kader partai berlambang matahari tersebut.
Meski demikian, klaim sebuah partai terhadap keputusan politik yang diambil kadernya yang menjadi penguasa masih mungkin dibenarkan jika dalam sebuah negara hanya terdapat dua partai. Sebab, dengan begitu, menjadi jelas bahwa ketika sebuah partai menjadi penguasa (ruling party), maka dengan sendirinya partai lainnya menjadi oposisi. Jika demikian situasinya, tindakan klaim sebuah partai terhadap keputusan penguasa menjadi lebih bisa dirasionalisasikan.
Di Indonesia yang sistem politiknya multipartai, sangat tidak relevan melakukan tindakan itu. Konsekuensi sistem politik multipartai adalah tidak adanya sebuah partai yang benar-benar menjadi oposisi. Itu dengan mudah bisa kita lihat dalam komposisi pemerintahan Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berasal dari Partai Demokrat, Wapres Jusuf Kalla adalah ketua umum Partai Golkar. Kenyataan ini masih ditambah dengan sejumlah menteri yang merupakan representasi dari sejumlah partai.
Karena itu, kita berharap iklan-iklan politik yang ditayangkan melalui sejumlah media massa tersebut tidak semata-mata mempertimbangkan kepentingan politik sesaat suatu golongan tertentu. Tetapi, juga memperhatikan aspek-aspek pencerdasan politik masyarakat. Dan bukan sebaliknya, iklan-iklan itu justru melakukan pembodohan terhadap masyarakat.
*. Pradana Boy ZTF, dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), alumnus Australian National University (ANU), Canberra, Australia
http://jawapos.com/
Iklan Partai Demokrat yang Menyesatkan
Written By gusdurian on Senin, 26 Januari 2009 | 09.38
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar